Kamis, 31 Januari 2013

ANDAI SELURUH PEMKOT MELARANG WANITA BONCENG MOTOR MENGANGKANG..



            Beberapa hari ini heboh pemberitaan rencana Pemerintah Kota (PemKot) Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam yang membahas mengenai hal tak lazim; menyoal para pembonceng motor untuk wanita dengan posisi duduk mengangkang! Sontak pro kontra langsung datang bertubi-tubi, maklum pembahasan tak biasa, selalu mengandung ekses luas dkalanan masyarakat.
            Pejabat Lhokseumawe beranggapan posisi duduk mengangkang bagi wanita saat membonceng tidak sesuai dengan budaya Aceh yang sangat sarat dengan aturan syari’at Islam. Namun saat dikonfirmasi pejabat MUI Jakarta, dikatakan bahwa Islam tidak merujuk secara gamblang aturan duduk saat berkendara. Bila pakaian bagi muslimah sudah terpenuhi syari’at Islam, hal itu sudahlah cukup saat ia akan berpergian.
Posisi duduk, tak pernah di sebutkan dalam Islam hukumnya. Jika sudah demikian hukum yang berlaku adalah maslahah, jika yang dilakukan tak menimbulkan dosa,  tak salahi peraturan agama, membuat nyaman pengendara dan pembonceng dan tentu saja aman. Dan itulah jalan pemikiran atau sikap yang diambil.
Atas nama estetika dan norma budaya, apakah harus mengorbankan bentuk lain? Yakni kenyamanan pengendara dan pembonceng, dan yang perlu digaris bawahi dengan memakai tinta tebal adalah factor keselamatan. Bahkan Jusri Pulubuhu seorang Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) mengatakan, duduk menyamping tidak aman dan menjadi tidak ergonomis bagi penumpang, juga bagi pengendara akan sangat kerepotan jika melakukan maneuver atau berbelok, karena kesembangan menjadi berkurang.
Bahkan Jalopnik, media otomotif internasionalpun ikut beri ulasan mengenai peraturan yang sekarang sudah hampir pasti disosialisasikan oleh Walikota Lhokseumawe dalam waktu dekat ini. Jalopnik  mempertanyakan apakah membonceng menyamping dapat memenuhi aspek keselamatan di jalan raya, dan bahkan menyebutkan membonceng yang demikian adalah posisi terburuk bagi dunia pengendara di dunia.
Terlepas dari pendapat para pakar dan ulama dan pro kontra dikalangan masyarakat, pernahkah beri angket pada para wanita posisi mana yang paling nyaman saat membonceng, dan bertanya pada banyak para pengemudi posisi yang bagaimana paling nyaman, dan aman karena pada dasarnya jawaban pengemudi dan pembonceng memiliki dasar tersendiri.
Bagi penulis, beberapa tahun ini mencoba duduk mengangkang saat dibonceng, jangan salah, saya menggunakan gaun gamis dalam berpakaian sehari-hari. Mengapa saya memutuskan hal demikian dalam beberapa tahun terakhir ini bukan dalam berapa puluh tahun yang lalu? Berikut alasannya:
1.      Berpuluh tahun lalu, tak lazim wanita berkerudung memakai baju longdress untuk duduk mengangkang. Mengapa? Karena pada dasarnya mereka  (kami) tak berpikiran untuk menggunakan celana panjang dibalik baju muslimah kami. Walau memakai double ‘rangkapan’ kebanyakan memakainya  yang berbentuk ‘rok’ juga. Jadi kebayang kalau kami duduk mengangkang tentulah aurat akan terbuka.
2.      Saat muslimah berbaju gamis mulai dengan trend memakai celana panjang sebagai rangkapan gaunnya, maka mulailah banyak dari muslimah duduk mengangkang. Mengapa? Selain nyaman karena seimbang kakinya, berat badan wanita yang semakin melambung membuat mereka berpikir dua kali untuk mengambil langkah duduk menyamping, Karena kaki sering kesemutan bahkan  kram. Pinggang terasa sakit apalagi jika  perjalanan itu jarak jauh.
3.      Penulis sudah tiga kali gaun muslimahnya terkena musibah yakni masuk dalam jeruji roda sepeda motor karena duduk menyamping ini, dan pernah terjatuh pula. Dan pernah harus merelakan daster kesayangan karena ada pembonceng wanita mengalami musibah dekat rumah, yang sampai (maaf) hampir terbuka semua bajunya gara-gara gaunnya masuk ke jeruji roda secara ekstrim, karena cara duduk menyamping itu.
Masih kurangkah fakta yang membuat para pembuat keputusan masih tetap saja meneruskan peraturan melarang pembonceng duduk mengangkang? Tak sayangkah pada para istri, anak perempuannya dan wanita? Risau bila mereka duduk dengan pasangan yang bukan muhrimnya? Ini bukan lagi urusan keselamatan jalan raya, namun para pendidik, ulama, umara terutama orangtuanya untuk membatasi anak-anak perempuan lajang mereka untuk tidak dibonceng yang bukan muhrimnya, dan bukan malah membahayakan dan membuat tak nyaman pasangan-pasangan yang sudah menjadi muhrimnya.
Andai  seluruh PemKot menerapkan hal itu tanpa memperhatikan aspek sayang wanita, mungkin saya akan ikutan demo saja, karena teringat sudah masa-masa pahit saat robek baju, terjatuh dari sepeda motor dan sering kaki  di’tabrakan’ becak, karena posisi kaki menyamping saya yang memang banyak menyita jalan. Dan bukankah Aisyah, istri Rasulullah naik kuda dengan posisi mengangkang? Jadi apalagi  yang menjadi persoalan mengenai duduk mengangkang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar