Jumat, 25 Januari 2013

Antara Rambutan dan Salak Pondok= semua semanis senyumku!


Capek! hari terakhir liburan, rasanya mau langsung 'klekaran' di ranjang tempat mertua, di Muntilan setelah anjangsanga dirumah kakak Ipar. Eh sebelumnya kuceritakan dulu ya jika kami sempat berhenti di pinggir jalan desa, setelah melihat ada bapak-bapak yang nangkring diatas pohon rambutan. Secara kebiasaan, saya dan suami selalu saja tergerak hatinya untuk membeli sesuatu yang langsung dari sumbernya. Rambutan dari pohonnya, kacang panjang dari sawah, atau jambu air yang segar-segar lengkap dengan penjoloknya."Berapa pak sekilo?""Lima ribu.."Suami diam sejenak, pikirnya kalau beli dari pohon, biasanya lebih murah. Akhirnya Ia setuju dan disuruh membawa ketepi jalan. Sepertinya harganya paling dua puluh ribu, karena cuma sedikit.

Penjual ngotot bilang dua puluh lima ribu karena lihat kami (ternyata) naik apa (emang naik apa?)."Apa ada lima kilo pak?" tanya suami sangsi lihat rambutan segitu, tapi memang banyak daun dan rantingnya."Weeeh, enam kilopun ada!" katanya yakin dengan ajian kira-kira..." Dan  opo nggak kasihan saya naik pohon dengan kerubutan semut"Hah? ndak salah kami disuruh kasihan sama tukang panjat rambutan yang  dikerubutin semut? Bukankah tanpa kita beli pun dia juga tetap naik di situ khan?  Bukankah itu sudah resikonya? Dan siapa suruh naek pohon rambutan yang bersemut, bukankah dari tadi dia juga sudah nangkring disitu? Dan kami jadi tak yakin dengan timbangan kira-kiranya, lha ranting dan daunnya sangat banyak..Akhirnya suami tetap membayar yang diminta, katanya bijak:"Jual beli itu harus 'antarodhin', saling rela". hihihii walau rela di dia, belum tentu di kita, biarlah etung-etung sedekah. Tujokno rambutan itu se-Manis bu Candra, dan kesat! Coba kalau tidak..Namun sepanjang perjalanan menuju rumah Muntilan, tak henti-hentinya kami bicarakan rambutan itu (bukan gak rela, cuma masih tetap penasaran dengan beratnya).

"Sudahlah tak usah dibahas lagi.."Suami mengingatkan. Saya pun jadi terdiam, tapi tak lama setelah itu suami bicarakan lagi,..qiqiiqi kubilang padanya,"hihiih..mau apapun juga kita ini sudah sejiwa sehati, apa yang ada dibenak:sama. Jadi mbokya mau tak terbahaskan juga nantinya muncul lagi,.."Sesampai di rumah mertua, mau beristirahat menjelang kepulangan yang direncanakan habis Asar, ternyata menjadi teringat Advis Kakak ipar yang saat dirumahnya kami disuguhi salak pondoh . "Ini salak pondoh yang kupetik dikebun dekat rumah Muntilan, cobalah tengok kebun sana, soalnya bapak tak lagi bisa urusi salak itu semenjak sakit. eman-eman okeh sing gogrok padahal sudah masak dan sangat manis..".

Karenanya, sesampai dirumah langsung saja kami bernegoisasi untuk memetiknya, ah tak jauh dari rumah, sekitar 200 meter saja pikir kami. Suami langsung bawa arit dan ember. Ibu wanti-wanti:"Ganti bajumu dengan lengan panjang.." katanya pada suami.Siip. Kami berangkat berdua saja, anak-anak tak boleh ikut, selain medannya cukup berat (weh kayak opo wae, lha harus naik kesawah, lalu 'hap' lompat aliran air sawah dan: banyak duri!). Sesampai disana (tentu dengan mesra, karena kalau ndak digandeng langsung njebur parit). Kami jadi gamang ditepi kebun salak. Udah pernah memetik dikebun salak yang berumur kurang dari 5 tahun? tentu berbeda dengan berumur lebih dari itu. Soalnya lebih rendah pohonnya, bisa dibayangkan, perasaan saya persis seperti mau 'berkomunikasi denganNya'. Mengapa? harus menunduk, tunduk dan tawadhu', tak boleh tergesa apalagi berlari...Kami benar-benar ragu harus mulai dari mana. hihihi pohon salaknya 'rungkut' alisas rimbun, dan kami harus benar-benar menunduk rendah; bukan merangkak.

Durinya: alamaak! seluruhnya berduri tajam. Langkah pertama langsung kaki tertusuk duri, soalnya ternyata daun berdurinya bila sudah tak terpakai direbahkan ditanah. uuff untung pakai kaos  kaki, berkerudung, baju panjang; semua aman terkendali!seumur-umur baru kali ini masuk kebun salak, dan langsung menjerit,"Masss,..ituu salaknya pada berjatuhan!, itu ada sana juga,.itu besar-besar disana jugaaaaa!" sangat ribut dan historis,..eh histeris.Salaknya bapak mertua ini, batangnya tingginya cuma sekitar 20-40 cm, tapi daunnya menjualang sampai 1-1.5 M. Satu 'janjang' salak berisi variiasi. Antara 5-20-an buah. yang berisi lima buah, hampir pasti besar-besar, jumbo (seperti berat badanku qiqii) karena yang lain pada jatuh ketanah. Nah yang berjumlah banyak tentu kecil-kecil. Untuk mengamati mana yang masak atau belum mudah.

Tinggal disentil dikit, hampir pasti jatuh. Apalagi dari warnanya, sudah berubah kuning kecoklatan (kayak warna kulit bu Candra) dan sudah tak berbuluh duri halus-halus, nah dipastikan salak pondoh itu dah masak. Suami bergerak cepat, memilih salak yang besar-besar saja dengan arit-nya. saya tak mau kalah dengan tangan telanjang coba mengambilnya. Tertusuk-tusuk? Mestilah, tapi sensasi petik salak dikebun sendiri sangatlah ruaaar biasa. Bila lupa habis jongkok langsung berdiri, hampir dipastikan kepala dan bahu tertusuk duri.Bukan main salak sang bapak mertua ini, saking tak ada yang mengurusnya semenjak beliau sakit, hampir semuanya salaknya masak dan besar-besar! Saya tak henti-hentinya menjerit panggil suami, beritahu salak mana yang harus dipetik, dan banyak yang berjatuhan! Huwaa….Sampai-sampai ember tak muat bawa salak kami.

Gimane nih? Niat hati Cuma masuk sebentar, ambil seperlunya, langsung pulang. Lha kalo ngliet sana-sana dan saanaaaa lagi lihat salak nan ranum sampai jauuh kepucuk kebun. Benar-benar eman-eman, kenapa tadi gak bawa katong beras sekalian? Sesal kami, soalnya besok-besok salak ini sudah busuk pastinya.“Piye kie, udah penuh je..”keluh suami sambil terus menumpuk salaknya. “Gimana kalo sampeyan buka baju saja disini” Usulku. Suami sudah mendelik. “Ojo ngeres sik alias jangan praduga yang iya-iya dulu. Maksudku bajumu itu nanti untuk bawa salak-salak yang tak keangkut di ember” kataku sambil melirik salak-salak  yang tergeletak ditanah.

Saking bingungnya, kami sampai mau merajut daun salak untuk dibuat wadah, atau ambil daun pisang yang ada disela pohon salak, jika mungkin bisa digunakan untuk angkut salak ini. Menyesel tujuh turunan kenapa bawanya Cuma ember sedang ini. Tiba-tiba kulihat karung kotor yang tergeletak disela pohon salak.“Udah dipake saja pak, paling tidak angkut yang  ini”Ternyata keluar dengan barang bawaan berat sambil terus menunduk dan hindari duri ditanah yang terkadang berair bukan perkara mudah. Suami terus menerus gandeng tanganku sambil berkata,”Lho sekarang tangannya kok jadi  kasar?” qiqiiqi jiwitan keras mampir dipinggangnya.

Sampai dirumah, langsung kami bergantian cerita heboh sama bapak dan ibu.“Nyuruh orang saja pak, bu untuk petik salaknya. Bukan Cuma sedikit soalnya, lumayan..”Kata kami. Walau Sleman-Magelang baru panen raya, dan harga salak turun drastis, namun membiarkan kebun salak berbuah lebat tanpa tersentuh,.eman-eman.”kata kami.Tak jadi klekaran walau capek mendera. Namun liburan kali ini ditutup dengan kesan mendalam. Bertemu dengan sangat banyak  keluarga, saat ada  pernikahan, syukuran rumah baru saudara, anjangsana kerumah-rumah saudara, piknik bersama ibu dan keluarga adik, oleh-oleh berjibun ada tas, roti, slondok, belut, alen-alen, tape ketan, keripik tahu, salak, rambutan…oh seolah mau meledak kendaraan ini. Belum lagi kami tergesa harus sampai dirumah, karena esok paginya anak perempuan mau pikik dengan rekan sekolahnya, pagi-pagi benar, hingga harus persiapan lebih baik, dan arus jalanan Muntilan-Solo yang menggila macetnya? Woow…Alhamdulillah atas doa orang tua dan kami, akhirnya perjalanan hanya 3 jam saja. Rekor ditengah macet. Masuk rumah. Langsung nimbang rambutannya. Ihik tahu ternyata berapa kilo akhirnya, ajian kira-kira si pemetik rambutan? Mau tahu? Kasih tau ndak ya,..mending gak usah aja aaah,..Solo, 26 Desember 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar