Jumat, 25 Januari 2013

Berbeda? Kadang Menyesakkan, tapi Sebenarnya Indah

  Saya teringat, beberapa masa kebelakang, saat masih mengerjakan soal ujian ilmu falak. Bagi yang terlalu pandai matematika mengerjakan materi menghitung kapan  hari besar Islam berlangsung, tahun depan, dua puluh tahu bahkan seratus tahun kemudian, akan merasa sangat kesulitan. Namun bagi yang jago, angka-angka itu dilahapnya dengan mudah, dan “hap”, jadilah hitungan benar dan manis; apakah menghitung awal puasa tahun depan, depannya lagi bahkan jauh kebelakang, atau hari raya lebaran dan hari-hari besar Islam lainnya.
            Tak terbayang, jika tukang hitung hisab awal puasa dan akhir Ramadhan, orang yang tak jago seperti saya, karena taruhannya bukan Cuma ‘salah’ dan bisa segera dihapus, namun lebih dari itu; jerumuskan umat dan dipertanggungjawabkan dihadapanNya. Makanya Ahli hisab, adalah orang yang cerdas, bijak, terlepas dari kepentingan golongan atau mahzab, seorang hamba yang sangat mencintaiNya.
            Ahli menginceng bulan? Wow itu suatu rahmat. Si “Hilal”, bulan muda ini adalah yang si tampan yang dicari oleh ahli rukyat, dimanapun didunia ini. Semua berkeruyuk, berkumpul untuk pastikan kedatangannya, bahkan saking inginnya beberapa orang atas hadirnya, beberapa orang mengibaratkan kalau si ‘Hilal’ adalah  bak seorang perempuan cantik, Zaenab. Saking inginnya bertemu Zaenab, hanya melihat sekelebat selendangnya saja, mengira ia telah datang. Itu perumpaan begitu sangat inginnya, seorang muslim menghadapi puasa, hingga bulan yang ‘semu’, bisa terlihat nyata. Dan ahli rukyat ini memang diharapkan benar-benar  prefect, tak boleh ditunggangi aspirasi golongan, kelompok tertentu, yang harus dipas-pas-kan hari ini dan itu awal puasa. Disumpah? Tentu saja. Hisab dan pe-rukyat sama-sama disumpah untuk lakukan pekerjaan terbaiknya atas nama..Allah tentu saja.
            Lalu, mana yang benar saat ngikuti puasa hari ini atau hari itu? Menghitung cara hisab, rukyah, kedua-duanya atau bagaimana nih? Bingung,..hihihi sam-ma. Apalagi mendengar langsung dari telivisi sidang isbath, yang masing-masing kelompok boleh ajukan pendapatnya. “Semriwing” rasanya saat awal puasa tak sama.  Apalagi dengerin pendapat dosenku masa lalu yang lumayan diskriditkan perbedaan, saat ajukan pendapatnya disidang itu,..duh pak dosenku, telingaku rada memerah je,..hihiih Lalu? Ya bingung sedikit,..trus menanti aba-aba dari sang imam, tentukan sikap dan bismillah,…
            Puasa hari yang satu dan satunya lagi tak masalah lagi. Ternyata memang cara hitung yang dibenarkan oleh Islam sudah ditempuh semuanya, disumpah atas namaNya. Trus pripun nih yang salah mana? Yang salah sudah sangat jelas: yang tidak menjalankan puasa sebulan penuh dengan alasan yang tak jelas, tak sholat 5 waktu, tak zakat walau mampu, juga tak haji walau uangnya melimpah (nunggu panggilan,..walau sing manggil kencengpun pura-pura gak dengar).
            Dalam Islam berbeda itu rahmat. Jangankan berbeda madzab, golongan, Allah saja ciptakan bentuk manusia dengan jutaan bentuk wajah, warna rambut, kelakuan, jalan pemikiran. Warna laut saja beraneka warna, bunga, warna langit, macam musim dan lain sebagainya. Hampir tak ada yang sama,sesimetris,sebanding. Semuanya itu rahmatNya. Untuk siapa? Tentu untuk kaum bijak, cerdas nan mau berpikir jernih. Sikapi perbedaan dengan hati terbuka dan tak terluka, itu memberi rahmat pada semua orang. Karena ia sebagai makhluk yang telah ‘naik kelas’, pandai mengelola hatinya, pancarkan kebesaran diri, rangkul perbedaan untuk bila tak  mungkin dipersamakan, biarkan begitu. Allah saja tak ‘marah’ dengan perbedaan, selagi masih dijalurNya, ada ilmu dan dasarnya. Mengapa manusia selalu ributkan yang berbeda itu.
            Ada kisah (selalu bu Candra begitu ya,..) masa lalu tentang perbedaan itu. Saat memutuskan nasib tawanan, dua kubu besar berbeda cara pikirnya. Kubu Abu bakar  yang terkenal lemah lembut, saat diberi waktu nyatakan pendapatnya oleh Rasulullah, ia mengatakan biarkan tawanan bebas, dan keluarganya mengambil tawanan itu dengan uang jaminan. Dan uang itu diharapkan untuk perjuangan Islam yang masih belum kuat dari segi dana. Saat ditanya Umar bin Khattab yang terkenal tegas, keras dan kuat, ia mengatakan tawanan dibunuh semua saja, karena sudah ingkar, mungkar pada dakwah Rasulullah dan petunjuk Allah. Apalagi mereka gemar intimidasi orang muslim, secara fisik dan mental, bahkan mengancam jiwa Rasulullah dan membunuhi kaum muslimin.
            “Mana, tawanan dari kalangan keluargaku, aku akan eksekusi dengan tanganku sendiri,..”Kata Umar dengan lantang. Ia memang dikenal tak kompromi dengan sikap dan pemikiran tegasnya, dan ini juga didukung oleh banyak orang pendapatnya. Rasulullah kemudian menengahi perbedaan itu. Bagaimana caranya? Beliau adalah pribadi yang santun, lembut namun tegas. Segala ucapannya bukan asal bunyi, namun ada dasarnya.
            Lalu, Rasul saat akan putuskan, Beliau terlebih dulu memuji kedua sahabatnya tersebut. Sangat arif, tak ada berat sebelah, tak terlihat keberpihakan. Apalagi  bersikap “minor”. Karena Rasul tahu kedua sahabat ini bukan “asbun”, asal bunyi. Mereka berpendapat  dengan pemikiran dan karakter masing-masing. Pada akhirnya pendapat Abu Bakar yang diambil dengan alasan kemanusiaan dan butuh dana perjuangan Islam. Umarpun, legawa tak banyak protes, karena tahu sang Rasul adalah orang terbijak yang pernah hadir dimuka bumi. Tak seperti pada kita hujan interupsi saat pendapat oranglain tak sama dengan kita, kalau perlu ngotot. Debat kusir bin gontok-gontokan diluar sidang. Sikap Umar ternyata buahkan hasil. Karena pada akhirnya Rasul dapat “teguran” dari Allah atas keputusannya, karena meski Umat Islam dalam keadaan kekurangan biaya jihad fi sabililah, namun tegakkan harga diri terhadap musuh Allah itu sangat diperlukan, karena sebenarnya pendapat Umarlah seharusnya dipakai.
            Sama-sama menyesal salah ambil keputusan? Tentu tidak, karena belum ada rambu-rambu yang jelas mengenai hal tawanan perang. Itu menunjukan Rasulullah masih seorang hamba, yang ada salah dan khilaf saat berijtihad, namun segi perbaikan selalu dilakukan. Tak malu akui salah, kemudian mohon maaf dan langsung jalani yang terbenar.
                Islam, sebenarnya tak menyukai debat walau dia dalam keadaan yang benar. Kenapa demikian? Karena dikhawatirkan jauh dari kata maslahah. Hampir dipastikan banyak pihak yang merasa tak puas dengan perdebatan saat merasa “kalah” bersikap tak legawa, akan menyimpan perasaan tak suka, marah, benci bahkan lebih dari itu, menebar permusuhan. Orang yang menghindari perdebatan, walau benar dalam Islam mendapatkan bonus “pahala”. Hingga sayapun heran saat di telivisi ada acara yang bertajuk “Debat”. Padahal jelas-jelas dalam Islam ada ayat anjuran tak berdebat, walau benar. Bila berdiskusi, bertukar pikiran atau bermusyawarah itu memang oke-oke saja. Mungkin karena saya bak Abu Bakar yang lembut (maunya), bila ada acara debat ditelivisi, hampir dipastikan tak bisa kutonton lama (karena penasaran dengan nara sumbernya), selalu kuganti saluran, karena tak tega telinga saya mendengarkan orang berdebat, karena seperti melihat orang yang akan berkelahi atau ter’bantai’ lawannya yang pandai berkoar.
            Usahakan bila bertukar pikiran sudah mengarah dalam perdebatan itu seperti debatnya Asy Syafi’i, karena beliau selalu perhatikan etika dan tak bermaksud menjatuhkan pribadi pendebat lawannya. Yusuf bin Abdul A’la seorang faqih asal mesir sampai hormat dan tak merasa sakit hati saat ‘dikalahkan’ oleh beliau. Bahkan Yusuf terkagum-kagum, saat Asy Syafi.i menemui lagi  setelah acara perdebatan itu, sesaat seusai berpisah dengannya, katanya;” Ia menggandeng tanganku dan berucap, lebih baik kita berteman, walau tak sepakat dalam satu masalah..”.
            Ya berteman, walau tak sependapat, tetap bersahabat walau tak sepakat dalam satu masalah, alangkah indahnya kalimat itu. Sejenak saya menghela nafas, saat melihat orang yang berbeda dengan saya dalam cara berpakaian. Diseputar saya, lumayan beragam, ada yang berjilbab jilkies, jilbab menjulur besar, tak berhijab, berpakaian mini, sampai yang memakai cadar. Itulah kita, memang berbeda. Yang tak berhijab ‘dipaksa pakai’ ya tak mau, yang jilkies dipaksa pake jilbab besar dan berjubah ya ogah, yang cadaran disuruh buka, ya tentu tak berkenan. Yang berjilbab ‘besar’ disuruh cadaran ya ogah. Kita memang punya cara pandang berbeda-beda tentang sesuatu, bila ‘dipaksa’ menuruti satu pihak, satu golongan ya tak mau, karena merasa punya alasan dan ‘dalil’ tersendiri, pun dengan mau pilih puasa yang mana, mahzab apa, asalkan tak bertentangan dengan kaidah hukum Islam yang ada, sebenarnya tak masalah.
            Untuk itu bila kita memang harus berbeda, tak sependapat, sampaikan dengan cara yang baik dan santun. Ingatlah, surga-neraka tak sebatas ibadah ritual semata, namun juga meliputi semua perilaku didunia. Bila bisa sampaikan dengan tak menyakiti, kenapa tidak. Bila kata-kata bermanfaat, maka ucapkanlah, bila tidak; diamlah! (meski teman bilang, diampun salah ya,..hihiihih). Proses ‘menahan diri’ memang tak sepenuhnya mudah, namun seringkali kita harus belajar melakukannya. Memang untukku  berbeda itu kadang menyesakkan, tapi sebenarnya Indah! Karena sangat mewarnai kehidupan, hingga tak membosankan. Belajar sikapi segalanya dengan bijak, karena semua orang tahu, tak bisa kita memaksa melati menjadi ungu, hujan datang di musim panas, ataupun air laut berwarna kuning..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar