Sabtu, 22 November 2014

ENGKAULAH IBU HEBAT SEPANJANG HAYAT


            “Buku terbaru apa yang terbit lagi, nduk?” Tanya ibu saya suatu hari. Kupandangi wajah keriputnya. Sisa-sisa kecantikannya masih tergambar dengan jelas. Entah kenapa ibu selalu mempunyai semacam sinyal jika ada buku terbaruku yang akan terbit. Beliau akan sangat sumringah menerimanya. Saya tidak tahu jika sebenarnya ibu selalu saja menceritakan pada kerabat, tetangga kami dulu (sebelum beliau pindah ke rumahnya kakak perempuanku) dan teman-temannya dengan mata penuh binar dan kebanggan meluap tentang apa yang saya kerjakan beberapa tahun terakhir. Padahal apalah saya,..

            Sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara, dimana hanya dua orang saja wanitanya dan sisanya saudara kandung laki-laki, tentu penuh warna perjalanan kehidupanku. Untuk tetap eksis menjalani sekolah sampai sarjana, sepertinya ‘penuh perjuangan’. Bagaimana tidak, saya menjadi yatim sejak usia 7 tahun. Ayah meninggal saat beliau berusia 43 tahun,. Alhamdulillah-nya, ibu menjadi seorang guru pada sebuah sekolah menengah pertama negeri di kotaku, Yogyakarta. Meski tersaruk, bayangkan 7 anak, hampir semuanya menyelesaikan kuliahnya.


Foto bersejarah saat adik bungsu lahir, dalam formasi lengkap

            Ibu seorang yang tangguh. Menggiring 7 anak dengan karakter berbeda, apalagi saat belum ada yang lulus kuliah, beliau sudah akan pensiun. Semua anak hampir berpandangan, menyelesaikan sekolah dengan apa? Entahlah dengan hutang sana-sini, mencukupi kebutuhan sehari-hari dan uang SPP kami, apalagi sebagai single parent. Hanya Allah yang sepertinya membantu kami, ini rahasiaNya, Dia membantu kami dari arah yang tak disangka-sangka, entah depan, belakang, bawah dan tentu dari arah atas…

            Satu kata yang sebenarnya bisa kuungkap dari seorang ibu. Tak pernah marah, sabarnya tak terhingga, sangat jauh dari sifat saya yang sering naik darah dan begitu emosional, yang ternyata sifat ini menurun dari ayah saya. Hanya saja, saya dan ibu kadang dan bahkan sering berbeda pendapat tentang sesuatu,..hmm bahkan banyak hal!

            Ternyata, ada sifat pertahanan diri saya ini  terbentuk semenjak ayah wafat, dan ini tidak saya sadari. Begitu ingin menyembunyikan kesedihan, tak bisa urai dengan siapapun juga termasuk keluarga dan ibu semenjak kecil. Ibu yang ingin tetap menghidupi kami dengan cara apapun asalkan halal hingga kami bertujuh tak kelaparan. Hanya saja terkadang persinggungan dengan teman-teman atau koleganya yang kerjanya bak seperti makelar yang menjual tanah, rumah bahkan kadang benda-benda antic masalalu, membuat saya tidak terlalu suka. Buat saya, sambilan seperti itu tidak bermanfaat, menghabiskan banyak waktu dan tidak membuahkan hasil apapun, bahkan kadang tekor karena sering terkena tipu temannya. Dan anehnya, beliau tak pernah gentar dan surut semangat dengan upaya mencari tambahan rezeki dengan jalan seperti ini, mungkin sudah menjadi hobinya, mungkin. Dan inilah membuat saya sering silang pendapat dengannya.

            Hidup memang berjalan. Tak seharusnya disesali jalan hidup seperti apa yang kadang tak kuingini. Sejak kecil memang kami hidup dengan ‘cara’ kami masing-masing untuk bertahan. Hampir semua kakak-kakakku dan adikku lulus sarjana dengan perjuangan yang penuh warna, kebanyakan dari  mereka bekerja sambil kuliah, sepertinya cara lain untuk mengharap uang turun langsung dari langit memang tak pernah terjadi. Kami seolah paham, memang berbeda dengan anak-anak lain dengan keluarga utuh dan kecukupan. Merengek pada ibu untuk biaya ini –itu tentu sudah tak mungkin kami lakukan, sudah cukup ‘derita’ ibu mengasuh dan membesarkan kami semua.

            Dan akhirnya, hampir semua dari kami ‘jadi’. Kebanyakan memang menjadi dosen disebuah universitas negeri, jika bukan dari kami, pastilah dari pasangan kami. Lalu saya? Hanya bekerja sebentar pada sebuah lembaga pendidikan computer, kemudian tak tahan melihat anak pertama saya yang kala itu masih bayi, tiap hari dititipkan pada tetangga, maklum di Kota Solo, saya dan suami memang bak ‘anak tiri’, tak ada saudara. Maka dengan kesadaran penuh, saya menyatakan saat itu berhenti bekerja diluar rumah, dan focus mengasuh anak-anak yang akhirnya berjumlah 3, dan biarlah suami yang menghidupi kami, sebagai seorang Dosen di PTN di kota Solo.

            Meski sempat merasa tidak berguna, tidak merasa keren dan tak mempunyai penghasilan sendiri, namun tetap niat tetap kuat bulat untuk tak bergeser dan beranjak dari rumah untuk membantu mencari rezeki. Lalu apa tanggapan ibu?
            Sama sekali tidak pernah mengusik keputusan saya sebagai seorang lulusan perguruan tinggi negeri yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Bahkan hanya sekedar bertanya, “Kenapa tidak mencoba pekerjaan lain? “ atau hanya mengingatkan posisi saya, “Ndak malu menjadi sarjana pengangguran saja?”
            Ibu tetap tersenyum, walau mungkin dalam hatinya menginginkan saya mengembangkan potensi yang ada. Beliau menerima saya dan cucu-cucunya bak ‘keluarga istimewa’ saat mengunjunginya di Yogya. Dan hebatnya, dari dulu sampai sekarang selalu menghargai sekecil apapun prestasi yang kami dapatkan, entah hanya ikutan lomba antar RT, RW, Kecamatan, tentu tingkat provinsi. Ohya sampai lupa, kami sebenarnya adalah keluarga seniman. Ada tiga dari keluargaku yang menjadi pengajar di Universitas dalam bidang Seni, entah desain grafis, desain interior,  atau seni patung. Bukan Cuma itu, keluarga besar kami, seperti Pakde dan ponakan-ponakan dari  keturunan nenek saya, bekerja pada bidang yang sama, bisa melukis dan perupa. Yang membanggakan pakde pernah menerima penghargaan tertinggi dari pemerintah atas dedikasinya merancang ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk pertama kalinya!
            Maka jangan heran di buffet ruang tamu keluarga, berjejer puluhan piala dari ratusan lomba melukis dari keluarga kami. Tapi jangan salah, hampir tak ada satupun piala saya. Kok bisa? Ha ha ha sayang sekali bakat itu hampir sama sekali tidak menyentuh saya. Mungkin sedari kecil ketertarikanku dalam bidang lain, berpuisi, ikut kelompok paduan suara dan menari dan membaca-baca karya sastra. Ibu tidak pernah kecewa denganku, sekecil apapun upaya yang kulakukan selalu beliau dukung. “Ayo Candra, kamu pasti bisa!”, sambil memelukku ketika saya akan pentas entah ditelevisi local maupun dalam sebuah acara kecil-kecilan.

            Peluk, cium dan dorongan yang begitu kuat dari Ibu saya selalu mengalir sampai kini. Tidak pernah mengumpat, membanding-bandingkan dengan kakak-kakak lainnya, meski ‘miskin’ prestasi, selalu yang dikatakan,”kau-lah anak kesayangan ibu..”, padahal tiap anak mungkin kalimat itu selalu mengalir dibibirnya.

            Hingga pada satu titik tak terduga dari sebuah penantian panjangku mengenali potensi diri yang tertutup rapat sejak berpuluh tahun. Ya, menulis. Walau saat awal kutunjukan hasil menulisku membuat beliau berbinar-binar ceria, namun keceriaannya tak berkurang saat lebih dari sepuluh buku hasil karya saya kusodorkan pada beliau. “Tahu tidak, temanmu masa remajamu Dewi, juga Mbak Nunik saudara sepupumu , kemudian Gurumu saat SMP, Bu Veronika, teman-temanmu yang lain  selalu menanyakan kamu, setelah kuberitahu jika sekarang kamu menjadi penulis..” Wajah bangganya tak bisa disembunyikan dari seorang Ibu.

Aku dan Ibuku tersayang, ternyata kami 'manis' semua..

            Saya tersenyum. Entahlah, membuat seorang ibu berbangga dan berbahagia itu sebenarnya sederhana. Bukan sodoran harta yang melimpah untuknya. Sikap baik, sopan menghargainya sebagai seorang Ibu dan melejitkan potensi positif akan menyejukkan hatinya. Sebuah buku yang berjudul “Kisah Ibu Hebat Sepanjang Hayat”, beberapa waktu sudah kutulis. Berharap sungguh buku itu terbit tidak terlalu lama lagi. Semoga buku itu hadir pada saat yang tepat, dan masih diberi kesempatan dibaca oleh wanita-wanita yang kukasihi, karena memang kupersembahkan untuk ibu-ibu hebat sepanjang hayat, terutama ibu saya, Ibu Marsilah Sudewo dan ibu mertua, Siti Muthmainah…
           
 Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera http://abdulcholik.com/2014/11/03/kontes-unggulan-hati-ibu-seluas-samudera/







Selasa, 18 November 2014

Gagal Narsis



Piknik bersama keluarga itu menyenangkan, apalagi melihat diorama di Taman Pintar, Yogyakarta, seperti yang dilakukan Tom Gembus dan keluarga yang kebetulan domisili di Solo. Saat  memasuki diorama yang tingkat pencahayaannya rendah, pandangan Cempluk, istrinya tertuju pada sebuah patung seorang tokoh didepan pintu masuk, langsung hobi narsisnya kumat.
“Mas, tolong foto saya bersama patung ini dong..” Pinta Cempluk pada suaminya. Ia langsung ambil posisi tersenyum lebar sambil memeluk patung tokoh itu. Semenit, dua menit berlalu, tak ada reaksi suami menurunkan hapenya seperti posisi motret.
“Sudah belum mas, kok lama sekali sih, ‘selak garing’ mulutku tersenyum” . Protes  Cempluk.
“Hah, ada apa?” kata Tom Gembus dengan posisi sama seperti tadi, Hapenya terangkat keatas.
“Lha dari tadi apa sampeyan ndak motret aku?”. Tom Gembus menggeleng. Dia mengatakan kalau dari tadi SMS temannya, karena pencahayaan pada ruangan diorama itu rendah, maka ia mengangkat hape-nya tinggi-tinggi, agar lebih dekat dengan lampu atas.
“Tiwas, isin mas, dari tadi senyam-senyum sambil peluk patung, dilihatin pengunjung lainnya lagi, jebul..”
“Lha gimana, saya potret sekarang ya?” Hibur Tom Gembus hibur istrinya, karena dari tadi tidak ‘ngeh’ atas permintaaan istrinya.
“Ogaaaah!”, jawab Cempluk menjeb sambil berlalu.

Dimuat di Solopos pada rubrik Ah Tenane tanggal 20 November 2014


Kamis, 13 November 2014

PENGHUNI SURGA: ORANG YANG TAK PERNAH DENGKI


Ada yang bercerita kepadaku tentang seseorang yang menjadi pembicaraan di "komunitas" nya, padahal ia sudah keluar kerja disana, mencoba mencari peruntungan hidup dan kembali menata perekonomiannya dengan dulu teman sejawatnya. Apa yang dilakuannya menjadi pembicaraan heboh, seolah mereka tetap tak terima temannya terpuruk itu berusaha bangkit, apalagi terlihat berkomunikasi dengan teman sejawatnya dulu.
Hidup itu memang aneh.
Penyakit Senang jika melihat temannya susah, dan Susah jika temannya senang, seolah tak mengenal posisi, apa dia orang yang 'paham' agama atau tidak, hati-hati dengan penyakit dengki..
Ada sebuah kisah menarik, yang selalu menjadi referensi saya jika rasa 'dengki' itu menyerang. Rasulullah dalam suatu kesempatan berkata pada para sahabatnya saat dimasjid."Sebentar lagi ada calon penghuni surga yang akan masuk masjid.." Para sahabat menunggu, siapakah seorang yang akan masuk kemasjid berikutnya. mereka menduga sosok yang terlihat perlente, alim, berpenampilan menarik dan lain sebagainya. Namun ternyata seorang yang dengan sosok biasa saja dan sederhana, sedang menjinjing sandalnya dengan air yang masih membasahi wajahnya, karena sehabis berwudhu. Para sahabat diam saja, mereka menegira Nabi SAW salah orang. Namun setelah tiga kali berturut-turut Rasulullah mengatakan hal yang sama dan ternyata orang yang dimaksud adalah orang yang sama, maka salah satu sahabat bernama Abdulah ibn Amr tak tahan untuk menyelidiki orang itu.
Setelah diperbolehkan menginap selama 3 hari dirumah orang itu, dengan alasan sedang ada masalah dengan keluarga, Abdullah bin Amr melakukan penyelidikannya, apa yang akan dilakukan orang itu sampai ia dikatakan oleh Rasulullah sebagai Penghuni Surga..
Ternyata Abdullah bin Amr kecewa. Orang itu dalam kesehariannya seperti orang biasa saja, bahkan bisa dalam sehari orang itu tidak berpuasa sunah atau bahkan tidur nyenyak dimalam hari, tidak melakukan shalat malam! Di pasar, ia melakukan transaksi jual beli seperti biasa saja, normal. lalu mengapa Rasulullah mengatakan demikian.
Hari ketiga, Abdullah bin Amr berpamitan dengan orang itu, dipuncak tidak tahan untuk bertanya ia berkata, "maaf, saya mendengar dari Rasulullah jika Anda-lah yang dimaksud calon penghuni surga, namun setelah beberapa hari saya mengamati ternyata tak ada hal yang istimewa dengan Anda, adakah Anda menyimpan rahasia lainnya?"
Orang itu mengernyitkan dahi. Sambil menghela nafas ia berkata, "Sebenarnya tidak ada istimewa dalam diri saya, apa yang kamu lihat, itulah saya!" katanya mantap. Abdullah bin Amr, benar-benar patah arang. Tapi kemudian orang itu melanjutkan perkataannya. "..tapi ditambah sedkit lagi, saya TIDAK PERNAH MERASA IRI DENGKI dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain, sayapun juga berupaya jujur dalam setiap aktivitas saya, dan mungkin itu maksud Rasulullah".
Abdullah bin Amr tersenyum lega, ia tahu apa yang dimaksud Rasulullah memang benar adanya, Para Penghuni Surga itu salah satunya orang tak tidak pernah dengki..
Belajarlah untuk menata hati, ikut bersyukurlah jika orang lain mendapat kebaikan, kenikmatan, bahkan doakan juga untuk mereka, karena Malaikatpun akan berbisik ikut mengamini dan berkata,"Semoga hal ini akan terjadi pula kepadamu.."
Belajar untuk tidak mendengki bukan hal yang mudah jika itu sudah mendarah daging, tapi bukan berarti tak bisa, apalagi itu akan berupah surga..
***di-sari-kan dalam buku Masuk Surga Walau Belum Pernah Shalat by Candra Nila MD

Senin, 10 November 2014

Teman Ajal


    Tiba-tiba perasaanku tercekat. Berita duka salah seorang pembimbing skripsiku membuatku sangat galau, bagaimana tidak, munaqosah alias pendadaran skripsi sudah didepan mata, dan bukan hanya itu, sosok dosen itu sangat membekas dihati..
    Hmm..jangan berpikir jika ia seorang yang tampan atau bergaya ya, bukan itu maksud saya, beliau adalah sosok yang baik dan suka menolong, terutama pada mahasiswa yang tengah kebingungan dengan skripsinya, Murah senyum dan yang sangat menyolok adalah tangannya yang selalu memegang benda bulat kecil yang selalu diputar-putarnya. Ya, tasbih. Dosen muda itu mengajar dengan berdzikir...
    Hanya bertanya: Jika njenengan berdzikir, dalam kondisi apa? Shalat? sedih? duka? apakah itu cukup?.
    Belajar dari kisah di masalalu soal dosen saya itu membuat saya terhenyak. Mengapa kita begitu pelit melafalkan dzikir, kalimat thayibah, tasbih, tahmid, tahlil, istighfar dan hanya mendengungkannya pada saat-saat tertentu saja. Padahal Dalam surat an Nisa ayat 103 mengataan: Ingatlah Allah pada saat duduk, berdiri atau berbaring. Cara termudah termurah mengingatNya adalah dengan berdzikir.
    Jadi, jangan khawatir Anda terlihat sedang berdzikir walau tengah mengajar, berjalan, duduk mengerjakan sesuatu, menyetir, berbaring sebelum tidur, memasak, memperbaiki sesuatu ngontel (seperti saya), bekerja, sedang berbicara pada teman bahkan sedang..fesbukan! Hingga tak perlu malu dikatakan: sok sucilah, sok agamis-lah, sok sudah sadarlah, lha wong dzikirnya hanya dalam hati, karena memang itu pekerjaan tersembunyi..
    Lalu apa sih untungnya dengan berdzikir? Sangat luar biasa! Bisa menjadi lebih santun, mengerjakan sesuatu dengan dipikir terlebih dahulu, apalagi saat bicara dan menuliskan sesuatu, terhindar dari hasad, iri, dengki, suka melukai orang lain, menjadi lebih syukur dengan pemberianNya. qonaah, terhindar banyak marah, tidak takut atau khawatir tentang sesuatu secara berlebihan,lembut hati, jauh dari rasa sedih dan merasa ditemani, bukan hanya ditemani kerabat, keluarga, rekan tapi Dia Sang Penjaga Hati dan Kehidupan!
    Berdzikirlah sebisanya mulai saat ini juga, jangan khawatir saya tidak bisa melihat Anda sedang berdzikir, jika njenengan malu. Dan percayalah "Ingatlah Allah maka hati akan menjadi tentram" (Ar-Ra'd:28) dan implikasinya, Allah juga akan mengingatmu, mengiringi langkahmu dan berada diseputarmu. Kumpulkanlah dzikirmu, istighfarmu, kalimat thayibahmu, sebagai persembahan meringankan hisabmu diakherat kelak,..dan jika malaikat Izrail mendatangimu dan bersiap menjemputmu, biarlah dzikir itu adalah ucapan terakhir yang njenengan sebut, menjadi teman ajalmu, karena kata-kata itu sudah terbiasa dilafazkan, jadi mudah dan tak gagap terucapkan..
    ***Berdzikirlah mulai sekarang, dalam setiap helaan nafasmu.. (jangan malu karena saya tidak melihatmu)..

Sabtu, 08 November 2014

ANTARA ANDY F NOYA, RAMA DAN SAYA

Graha IAIN Solo begitu sesak pagi itu. Acara yang seharusnya dimulai pukul 8 pagi, ternyata baru dimulai sekitar pukul 9.30. Mengapa mereka tetap antusias menanti, padahal acara Talk show dengan mengusung tema "Membaca Sebagai Gaya Hidup" sepertinya biasa-biasa saja, jika hanya diisi oleh pemateri yang kurang dikenal masyarakat. Lalu, mengapa menjadi sangat istimewa, padahal mereka harus merogoh kocek sekitar 50 ribu-100 ribu, untuk antisipasi mbludaknya peserta, yang tak terbayangkan jika acara tersebut gratis tis, tak bisa tertampung tuh gedungnya. Jawabannya tentu sederhana saja. Mereka ingin melihat presenter "Kick Andy" yang sangat kondang di sebuah Stasiun televisi swasta, dan ternyata beliau sebagai duta menbaca, menjadi magnet ampuh untuk menarik peminat talk show.



Acara yang dihadiri para pustakawan seputar Solo, Yogyakarta, dan kota-kota terdekat lainnya, masyarakat umum dan petinggi kampus ini cukup inspiratif, karena selain menghadirkan Andy F Noya, juga ibu Dra Sri Sularsih, Msi sebagai Kepala Perpustakaan Nasional. salah satu ucapan yang menarik saat ibu Sri Sularsih mengatakan, jika membaca adalah jendela dunia, dimana sebuah rumah yang tak berjendela tentu akan menyulitkan penghuni melihat situasi luar rumah.

Selanjutnya beliau juga mengatakan jika dengan membaca Ir Soekarno bisa melupakan kemiskinan dimasa kecil dan berasa berjumpa dengan tokoh-tokoh dunia. Bapak Rektor IAIN, Imam Sukardi juga memberikan pepatah bagus, jika nilai seseorang itu tergantung pada buku yang dibacanya, kemudian dengan ilmu yang diperolehnya sebaiknya ia dapat menularkan ilmu itu pada lebih banyak orang lagi.

Satu seloroh Bapak Rektor yang cukup menyegarkan suasana adalah,"Pak Andy ini pemikir kelas berat, buktinya sampai kepalanya botak, mirip saya, bedanya dia wagub, yakni wah gundul banget, sedang saya masih ada rambutnya.."


Tibalah saat Andy F Noya beraksi eh tampil didepan untuk menguraikan hal menarik sebagai duta buku. Sebenarnya jika dilihat sepintas gaya bicaranya tak banyak tingkah seperti yang terlihat di televisi, bahkan cenderung lambat-lambat. Memang tipikal dia tak banyak mengumbar kata. Pilahan diksi katanya tepat, dan selalu berisi, mengundang tanya dan terdengar semua yang diucapkan penting. itulah yang membedakan dia dengan presenter lainnya.

"Baru berapa menit saya ketemu sama pak rektor saya dibilang wagub-lah, gundullah,..sebenarnya beliau itu iri dengki pada saya, terbukti setelah saya teliti beliau itu ternyata orang Jombang, sedang saya orang Surabaya. Jadi saya arek kota, beliau orang ndeso, makanya dia iri,.." kalimat pertama keluar dari mulut Andy ini disambut tertawa meriah. Apalagi saat ditanyakan pada audiens:
"Siapa dari kalian yang suka dengan penampilan gundul saya?" beberapa orang tunjuk jari. "Nah kalau saya yang keriting?" Beberapa orangpun tujuk jari. Dan kalimat selanjutnya cukup mengejutkan, "Jika yang tidak setuju saya gundul dan mau saya keriting bin kribo , silahkan keluar ruangan ini segera,..sudah tahu saya gundul kok ndak suka malah disuruh kribo lagi.."
Peserta talk show terbahak-bahak.

Ternyata, Andy tidak bicara sendiri di podium, ia menggandeng seorang tuna netra yang pernah  menggegerkan dumay tempo tahun 2010  lalu saat dia tampil di Kick Andy sebagai Tuna netra dengan segudang prestasi yang sangat pandai menggunakan aplikasi komputer sampai-sampai dia mengaku sebagai pengisi musik pada aplikasi game Jepang, dan ternyata itu hanya pengakuan saja tanpa bisa dibuktikan,  sebenarnya yang membuat orang lain. Namun akhirnya permohonan maaf dan pengakuan yang menggegerkan itu sempat membuatnya terpuruk dan depresi sampai bertahun-tahun, hingga akhirnya ia  mencoba bangkit dan memperbaiki diri dengan berbagai prestasi.



Seorang istimewa itu bernama Eko Ramaditya Adikara seorang Tuna netra sejak lahir yang berupaya mandiri mengalahkan keterbatasannya. Terbukti sekarang ia menjadi Dosen dan motivator, yang sebelumnya lulus dalam Sarjana Administrasi Negara. Dengan tekad bulat diselesaikannya S1 dan S2-nya disekolah normal. Ia sangat menguasai aplikasi komputer yang dimodifikasi dengan perintah suara. Kecepatan mengetik luar biasa, sampai-sampai perintah suara sudah tak berfungsi lagi saking hafalnya dengan kompinya, padahal dia tidak bisa melihat!

Saat ini Rama,  panggilannya, sudah menyelesaikan tiga buah buku yang berupa motivasi dan novel. Buku Pertama: "Mata kedua" dan buku keduanya adalah "Hati kedua" sedang yang akan terbit adalah Cinta itu Tunanetra. Matanya berpindah dengan pemanfaatan optimalisasi telinganya. Dan terkadang referensi atau novel yang ingin dibacanya memang harus dicari versi audio suara, yang kebanyakan berbahasa Inggris, karena buku-buku semacam itu hampir tidak mungkin versi huruf braille. Dan lihatlah saat dia memperlihatkan keahliannya dalam mengetik atau operasionalkan peralatan komputernya. Hmm..membuat decak kagum.



Lalu, Rama juga memperlihatkan bagaimana bisa memainkan alat musik berupa suling dengan belajar otodidak, membaca not dengan caranya sendiri.
Sebuah pelajaran yang menarik buat semuanya. Seolah menjadi malu dengan diri sendiri, dengan melihat sosok Rama. Bagaimana tidak Tuhan menganugrahi pancaindera yang kurang sempurna, namun dia berupaya keras untuk mengatasi kelemahannya menjadi sebuah kekuatan.

Bagaimana dengan saya yang begitu mudahnya mencari buku referensi, membaca tanpa kesulitan dengan gaya apasaja, mau duduk, berdiri, tiduran semua bisa dilakukan dengan gampang, satu tahun hanya bisa membuat beberapa buku dan beberapa tulisan saja.

Ah, mumpung masih sehat, mumpung seluruh pancaindera masih berfungsi, mumpung usia masih diberi, mumpung ada kesempatan sebelum sempit, harusnya esok lebih baik lagi. Mari bertekad kuat, InsyaAllah tahun depan berapa naskah ya yang bisa kutulis? setidaknya lima..cukuplah..aamiin..



Terakhir, nyoba foto bareng selebritis yang satu ini susahnya,..dikerubutin puluhan mahasiswa yang tak mau beranjak memotretnya, dan jadinya seperti ini,..ya sudahlah cuma sebagai bukti saja suatu hari pernah berfoto dengan si gundul berbaju merah, eh Andy F Noya yang legendaris itu,..