Rabu, 30 Januari 2013

SAAT KALAM MENJADI LENTERA



Tertatih. Itu kalimat pertama yang ingin kuucap saat pertama belajar mengaji. Entahlah ada sebersit penyesalan mendalam, ketika saya merasa harus mengaji, belajar membaca Al Qur’an seorang diri saja, maksudnya tanpa banyak campur tangan orang tua terhadap satu hal ini saat saya masih dalam usia dini. Sekecil itu harus paham bahwa keluarga kami bukan kalangan santri, dan serumah hampir tak ada yang bisa baca Al Qur’an, tentu mengajari aqidah akhlaq, Ibadah, Fiqh, kisah Nabi-nabi Rukun Iman dan Rukun Islam, hampir tak mungkin dilakukan mereka, di era tahun 1979-an saat usiaku menginjak delapan tahun. Kehidupan agamaku terasa sunyi,  seolah tak ada ruh didalamnya.
Bagai tertiup angin, sampailah saya terdampar pada pengajian anak-anak yang digawangi oleh seorang yang sholeh, yang sangat prihatin dan peduli pada perkembangan anak-anak muslim saat itu. Seorang lelaki paruh baya, Pak Warsito namanya. Ia seorang yang sederhana, tidak terlalu sempurna penglihatannya sebelah kiri, namun semangat dan kecintaannya pada anak-anak dan ingin melihatan generasi usia dini ‘melek’ Qur’an, tidak seperti generasi sebelumnya, jauh dari Kalam Illahi.
Tanpa dibayar! Itu keistimewaannya. Bayangkan mengasuh puluhan anak yang berbeda karakter, menghabiskan saat istirahatnya seusai kerja di sebuah Toko Kayu, dilakukan dengan senang hati mengajarkan membaca Alqur’an, Akhidah Akhlaq dengan cara yang menyenangkan. Ia bisa senirupa, menyanyi dan bermain drama. Pak Warsito ingin setiap anak mengerti Qur’an, pandai mengaji dengan hati yang gembira. Menyelipkan kesan khusus tentang moral terpuji tanpa kesan menggurui. Ia seolah tak peduli saat uang pribadinya malah terpakai untuk keperluan memajukan anak-anak Muslim didaerah Kampung Gunung Ketur Pakualaman Yogya. Baginya kebahagian yang tak terkira, bila melihat anak asuhnya yang tak tahu baca tulis huruf Arab, buta huruf bahasa Al Qur’an, tiba-tiba lancar membaca Al qur’an, dan menularkan pada anak-anak lainnya atau pada keluarganya. Bagiku, lelaki paruh baya itu adalah  teladan, dan terkadang terselip dalam doa; semoga Allah menempatkan Pak Warsito di JannahNya, surga memang pantas untuknya.
Namun, ternyata belajar mengaji saya tak tuntas! Saya masih juga terbata-bata dengan huruf sambung pada saat selesai SD dan pindah rumah. Tak jumpa lagi dengan acara mengaji. Sekolah SMP Negeri yang notabene pelajaran agamanya sedikit, membuat peluang saya untuk bisa baca Al Qur’an secara lancar pupus sudah. Apalagi hampir semua temanku juga tak ada yang bisa baca lancar Al Qur’an saat itu. Kok bisa begitu? Aku juga bingung, betapa “jaman gelap” untuk bisa mengerti agama dengan baik, tak banyak mendapat dukungan.
Dan entah mengapa saya juga bisa melanjutkan ke Aliyah. Padahal bekal agamaku dari SMP negeri sangatlah minim. Modal nekad kayaknya. Tapi Alhamdulillah bisa juga saya berprestasi meski untuk beberapa hal masih tersaruk-tersuruk. Dan bisa kuliah di Fakultas Syari’ah dengan belum juga lancar baca Al Qur’an. Kenapa bisa begitu? Sayapun heran, sepertinya factor kebiasaan dan harus intens tiap hari membaca, itu kata kuncinya. Sampai suatu saat saya punya anak ketiga baru bisa baca Al Qur’an dengan lancarnya!. Saya sendiri juga bingung harus menunggu sangat lama untuk bisa lancar, mungkin karena saya kurang percaya diri karena mendapat suami seorang Ustadz dan malu untuk unjuk kebolehan membaca Al Qur’an dengan suara keras. Hingga saya selalu membacanya perlahan, takut ketahuan salah, khawatir diolok-olok bila salah dan tak lancar. Namun saya sangat percaya, bahwa kuasa Illahi untuk umat yang tak berhenti berusaha, selalu buahkan hasil yang manis. Ba’dha subuh dan habis magrib, lembar-lembar menjadi rutinitas kami sekeluarga.
Meski dahulu tak terlalu lancar dalam eja ayat-ayatNya, saya tak henti menjai guru bagi anak-anak saya. Tekad saya satu paling tidak kelas 1 SD harus ‘pegang’ Al Qur’an, dan dapat baca secara fasih. Dan tahukah, bahwa tanpa baca dengan lancarpun saya bisa jadi guru ngaji untuk beberapa orang. Keinginanku hanya sederhana, mereka ibu-ibu atau anak-anak bisa membaca Al Qur’an paling tidak setara dengan saya, dapat mendapat sentuhan akhlaq dengan sebaik-baiknya. Hingga suatu saat bisa jadikan Kalam Illahi ini sebagai lentera yang kelak akan terangi saat melangkah pada titian serambut dibelah tujuh, menuju JannahNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar