Jumat, 25 Januari 2013

Tinggalkan Jual Beli, Ikatlah Untamu.."

    Pada siang yang berangin ini, saya menjemput si bungsu di TK-nya. Saat ku genjot sepedaku terdengar sayup-sayup adzan Dzuhur. Didepan TK ada penjual wedhang Asle, itu lho sejenis minuman hangat yang bersantan yang berisi ketan putih, agar-agar dan roti. Kata orang minuman ini  khas Solo. Maksud hati membelinya untuk sekedar menghangatkan badan dan hati, di siang yang berhias angin kencang. Namun niatan kutunda sementara, setelah menjemput anak beres dulu. Namun apa yang terjadi,  setelah anak “kudapatkan”?..

          Penjual wedhang Asle “raib” meninggalkan dagangannya. Sebelahnya penjual bakso ikut-ikutan “hilang”, disusul tukang sol sepatu, penjual mie ayam, tukang tambal ban,juga penjual ayam bakar. Toko yang menjual alat-alat tulispun terlihat tutup. Yang tertinggal penjaga counter pulsa dan Tukang rujak es cream. Saya langsung paham. Niat disaat yang tak tepat, saat sholat dzuhur
.
          Ditengah masghul, Saya tetap bersyukur. Bersyukur hidup ditengah lingkungan yang agamis. Dimana masjid tak pernah sepi dari jamaah, walau “kegalauan” tengah disitir banyak ulama, karena banyak dibangun mesjid megah, tapi minus jamaah. Dikampung kami ada tiga masjid cukup megah, yang Alhamdulillah bila saat sholat tiba, sangat banyak sandal para jamahpun berjejer dengan rapinya diberanda masjid, masjid yang makmur
.
            Jamaah masjid didominasi laki-laki dalam berbagai profesi. Kebanyakan mereka yang bekerja diseputar kampung, ada penjual yang saya sebutkan tadi juga ada beberapa ustadz. Memang citra agamis tak terbentuk begitu saja. Ini karena “pengaruh” pesantren yang begitu dominan. Ohya bukan sembarang pesantren lho,karena pesantren yang ditakuti oleh Amerika. Atau mau lihat suasana “ketika cinta bertasbih” yang pemerannya bercadar? Nah dikampungku ini banyak yang dijumpai yang demikian, tak usah jauh-jauh pergi ke Kairo.

            Yang menjadi catatan saya adalah, mereka dengan ‘suka cita’ , ikhlas diri meninggalkan jualan mereka. Meski dengan berbagai resiko. Resiko paling awal kehilangan beberapa pelanggan yang ingin membeli pada saat itu juga. Resiko yang kedua tentu bisa ditebak, kehilangan beberapa barang dagangan yang tak dijaga itu, diembat oleh beberapa oknum yang tak bertanggung jawab yang tak takut dosa.

             Saya jadi teringat, kisah seorang jamaah pada masa Nabi Muhammad saw, yang seusai sholat dimasjid celingukan mencari untanya yang raib entah kemana. Ia mengadukan pada Nabi tentang kehilangan miliknya yang sekaligus tunggangannya yang sangat berharga. Ia merasa dengan sholat berjamah dimasjid, menghadap keharibaanNya adalah salah satu yang bukti  ketertundukan, kepasrahannya kepada Illahi akan menolongnya membantu segalanya, terutama menjaga miliknya.

            Nabipun tersenyum. Bagaimana mungkin menyuruhNya sebagai penjaga unta? Sangat-sangat menunjukkan pribadi yang ngawur. Hingga Beliau bersabda agar bila sedang beribadah ke masjid, jangan lupa untuk “mengikat unta”. Maksudnya tentu menjaga barang-barangnya dan ditempatkan pada posisi yang aman. Sepeda motor. Sepeda onthel sebaiknya dikunci. Sepatu ditempatkan pada rak atau dimasukkan kresek dan dibawa kedalam masjid. Bila itu jualan makanan, ya sebaiknya ditutup yang rapat. Bila khawatir dengan sandal bagus yang mudah diambil manusia yang tak bertanggung jawab, ada baiknya pakai sandai yang tak terlalu bagus, atau beda warna sekalian,.tak apa yang penting perlindungan terhadap miliknya sendiri itu perlu.

           Tentu antisipasi macam ini bukan sekedar isapan jempol belaka, terbukti belum lama  penjual buah-buahan, tetanggaku, harus rela kehilangan empat buah duriannya sekaligus, saat ditinggal berjamaah. Ngawur sungguh sang pengambilnya. Satu durian yang hanya laba sekitar dua sampai tiga ribu rupiah, maka Ia harus kehilangan sekitar 80 ribu lebih. Meski merasa kasihan, tapi disini terdapat pelajaran yang sangat berharga, yakni bila benda-benda ditinggal berjamaah tak disimpan atau diantisipasi keamanannya dengan baik, ya harus lega, lila, ikhlas lahir batin bila harus berpindah tangan pada jiwa-jiwa yang berhobi penyolongan (emang sebutannya apa ya, bukan kleptomania lagi lha wong sing dibawa banyak, besar berduri lagi)..

             Hari ini saat saya berkesempatan membeli wedhang Asle lagi (dan kali ini berjalan dengan sukses, soalnya hari jum’at, si bungsu pulangnya pagi), saya utarakan niat saya kemarin yang tak berhasil membawa pulang wedhang Asle yang hangat karena kebentur saat dzuhur. Penjual yang sudah kukenal dengan baik itu tersenyum; “Berarti kali ini rezeki saya dong bu,..”. Jawaban yang bersahaja, tak menunjuk penyesalannya karena kehilangan pelanggan kemarin, karena nyatanya Allah menggantinya dengan hari ini. Sebuah ketertudukan yang tak sia-sia. Berani tinggalkan jual-beli untuk cintanya yang tak tertepi pada GustiNya. Memang ia tak harus gembok gerobak wedhang Aslenya, karena hampir “mustahil” seseorang mengambil dan mendorong gerobaknya (nganeh-anehi dan kurang kerjaan). Namun saran Nabi memang harus kita patuhi untuk tetap “mengikat unta” disaat meninggalkan jual beli waktu jamaah tiba,..

Sukoharjo, 30 Januari 2012
Sulitnya buat tulisan sederhana ini,
“tangan dan pikiranku kali ini kompak : tumpul"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar