Rabu, 20 Maret 2013

SEPENGGAL CERITA INDAHKU UNTUK IIDN




Nyaman,
Salah satu kata yang ingin kuucap menggambarkan IIDN ini. Mungkin banyak yang tahu, kalau saya ini orangnya ‘ramai’, suka komentar sana-sini, sapa sini dan situ. Tapi sebenarnya saya tipikal orang pecinta ‘nyaman’. Bila saya tak nyaman dengan suatu komunitas, yang terjadi adalah saya menjadi pendiam, sama sekali tak komentar, bahkan sekedar ‘like’.
Mengenal Ibu-ibu Doyan Nulis lebih dari dua tahun, adalah berkah buatku.  Saya teramat nyaman di komunitas ini. Terdampar disini karena ‘salah pencet’, saat menelusuri akun suatu produk, maklum saat itu saya giat-giatnya ikut lomba nulis pada beberapa produk.

‘Salah pencet’ ini membuat saya tersenyum. “inilah komunitas yang selama ini saya cari”, batinku. Awalnya dengan malu-malu menyapa ibu-ibu dan mbak-mbak yang ada disitu, lha sama sekali tak ada yang kukenal. Sapaan tentu dengan postingan tulisanku: wow sambutannya luarbiasa. Sekali posting tulisan bisa lebih dari 70 komentar. Semuanya ramah, berpegangan tangan untuk suatu kebaikan. 

Komunitas ini bergerak dinamis, sama sekali tidak statis. Selalu ada yang baru. Ada yang berkisah, berpuisi,bertutur, mengajar dan banyak muridnya, ada yang balas salam, ada yang posting kegiatannya, ada juga yang sedang bahagia karena pencapaian terbesarnya setelah aktif di IIDN, dan ada yang suka-suka. Bila ada pengajar yang berpamitan, selalu saja ada orang baru yang dengan ikhlas menggantikannya.
Hmm..tak ada kata, sok tahu, sok pintar, hebat sendiri dan pelit berbagi. Hampir semua berkarakter sama: rendah hati, ramah, berbagi adalah kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan oleh ibu-ibu disini. Iri dengki? Wow, sangat jauh. Tapi saling mengompori temannya untuk produktif, maju, kreatif : adalah kewajiban! Jika ada terpuruk bersedih, hampir anggotanya bahu membahu meneguhkannya, menyodorkan pundak untuk bersandar. Semuanya sangat indah!

Dan yang sangat kusuka, bila ada teman yang berhasil: tembus media masa, juara menulis, berhasil terbitkan buku, dan segudang prestasi lainnya. Sepertinya saya serasa juga ikut andil didalamnya, entah saat mereka bertanya lewat inbox kepadaku, saat saya meneguhkannya waktu mereka putus asa. Pokoke ge-er yang positif: berbahagialah saat teman peroleh kebahagiaan, karena kebahagiaan itu hembuskan energy positif dalam jiwa, bukakan hati lebar untuk malaikat yang turut mendoakan agar kita bisa sukses, sesukses mereka. Bukan sebaliknya menahan sakit hati karena terkepung iri dengki yang melanda.
Subhanallah Ibu-ibu Doyan Nulis ini sangat hebat: bergerak maju bersama dalam gandengan tangan mesra, seperti ketel uap yang akan meledak setiap saat, setiap waktu: ledakan prestasi tentu saja.

Bicara tentang IIDN, tak lepas dari foundernya yang ramah baik hati lagi jelita. Ya, ibu Indari Mastuti sebagai penggerak, lokomotif komunitas ini tak hentinya mencari terobosan agar ibu-ibu disini dan kaum perempuan pada umumnya tidak hanya berdiam diri dirumah. Berkarya dan maju bersama. Siapa dari ibu-ibu disini yang berawal tak punya karya, kemudian tiba-tiba punya satu, dua, tiga bahkan bisa belasan buku? Dan tiba-tiba pede untuk unjuk gigi ke media massa, majalah, atau malah jago bikin blog?



 Saya yang akan ngacung tinggi-tinggi, dan ini mungkin diikuti puluhan, bahkan ratusan dari anggota IIDN yang berjumlah 6000 orang ini. Ya, yang saya rasakan sekarang ini adalah menjadi manusia baru yang punya cita-cita. Kehidupan ini menjadi sangat berwarna, saat anak, suami keluarga bangga dan memberi satu sebutan saya: “ibu saya adalah seorang penulis,..” kata mereka. Karakter negative saya sedikit terkikis. Dari pemalu tak percaya diri menjadi lebih baik dari itu. ‘karena aku memiliki kemampuan’ bisikku. Padahal sepertinya saya mengawalinya kegiatan menulis ini dengan sangat terlambat, saat usia beranjak sangat-sangat dewasa.

Bertemu dengan bu Indari, adalah kesempatan langka. Berjabat tangan, mendekap, mencium pipinya dan berbincang akrab dengannya seperti sudah kenal dekat, bertahun-tahun yang lalu, padahal hanya bertegur sapa lewat komunitas ini . Kuangsurkan salak dan baju batik kepadanya, dengan malu dan berharap cemas. Mungkinkah ia tak suka dengan pemberian saya? Ooh,..ternyata keliru, siangnya saat bertemu kembali, beliau dengan lahap menikmati salak itu. Dan ternyata baju batikpun katanya masih sering dipakainya. Menghormati teman dengan cara menghargai pemberian, membuatku bahagia.

Dan memiliki teman baik di IIDN ini yang akhirnya menjadi sahabat adalah keberuntungan saya, apalagi sampai ia mengetuk rumah dan berjabat erat dengannya, seperti yang saya alami dengan mbak Andary witjaksono, seolah mimpi saja…

Apalagi saat dia bercerita, setelah beberap minggu bertemu dengan saya.”Mbakyu, suamiku sms katanya  ditempat kerja ia sedang mencetak satu buku, yang katanya sangat familier dengan nama pengarangnya . Judulnya ‘Masuk Surga Walau Belum Pernah Shalat’, katanya pula kapan ia suatu saat mecetak bukuku?”

Hi..hi..hi siapa nyana jika suami mbak Andary yang kerja di bagian percetakan Gramedia http://indscriptcrative.com/ dan saat bertemu di Solo ikut berbincang dengan kami, ternyata diserahi mencetak buku solo pertama saya.

Haru biru saya mendengarnya. Buku dengan tebal 422 halaman, dibuat selama 21 hari, dengan 30 lebih  buku referensi. Terengah, tersuruk, sesak, sakit, bingung mewarnai pembuatannya. Maklum debutan pertama, harus dibuat sedikit idealis, begitu pula dengan proses pembuatannya. Akhirnya bulan November 2012 buku dengan judul cukup ‘membuat kening berkerut’ itupun terbit juga. Legalah selimuti hati, bila bukan karena IIDN, kapan saya bisa berani menulis sebanyak itu?

Disini pula kutemukan mbakyu Raditya Surya yang selalu menyapa, beri semangatdan meneguhkan saya saat derai air mata penuhi pipi ini. Katanya; “Siapa yang berani begitu sama kamu mbakyu, akan saya labraknya…” begitu kira-kira pembelaannya kepadaku. Jarak usia lebih dari 15 tahunpun tak halangi kami menjadi sahabat yang baik. Selalu saja jadi ‘tongkat penyangga’ saat hati mulai lelah.

Begitu pula ada mbak Sri Rahayu, bu guru Arin Murtiyarini, mbak Liza permasih Arjanto selalu saja menceriakan hari-hariku. Ada Mbak Lygia Pecanduhujan yang selalu menginsipirasi, tak luput pula mbak Titik bin Maslih, Etty Abdoel, Rima Farrananda,Lintang Kemukus, Meta Nuci, Yosi Sutrisna semua baik hati kepadaku.

Belajar dari yunior (dari segi usia tentu saja) juga perlu saya lakukan, mbakyu Nunu el fasa, Nunung Nurlela, Imaz karim, Rachmawati, Diah Kusumastuti dan mbak Dewi Laily atas semangat 45 tak kenal menyerah menaklukan sesuatu. Tak lupa juga teman jauhku  Hikmah Fitri, Afifah azzahra, Sri Widyastuti, Hana Sugiharti, Utari Giri… wah  masih banyak lagi.
Apalagi saya suka menyeret teman, ada beberapa namun yang kuingat adalah mbak Chandra Dwi Setyo dan Ummi Nasyi’ah. Merka juga bersemangat belajar menulis untuk mengisi hari-harinya.

Sungguh, separuh lebih pertemanan saya adalah ibu-ibu yang tergabung di IIDN. Suatu ketika, komunitas ini kuinginkan bukan hanya sekedar wadah buat ibu-ibu menyalurkan hobinya menulis dan memfasilitasinya membuat buku, namun juga membuka peluang membuka usaha. Mungkin buka usaha penerbitan, atau punya majalah sendiri, yang tentu tak kesukaran mencari naskah, karena potensi ibu-ibu disini tumpah ruah. Atau buka butik, usaha catering, salon dan bisa jadi minimarket? (hiihih kalau yang terakhir ini mah cita-cita pribadi)

Tak ada yang tak mungkin. Karena semuanya adalah kehendak Tuhan. Seperti saya, yang dahulu mengira habiskan waktu, menunggu toko kecil mungil, mengasuh anak dan menunggu dengan manis suami dirumah. Hanya itu saja. Tapi, ‘kun fa yakun’ Nya lebih berperan dalam kehidupan ini. Beberapa buku Solo, beberapa buku kolaborasi dan Antologi dan seratus lebih artikel sudah saya tulis. Tak ada kata sia-sia dari sebuah usaha.., terimakasih IIDN, karenamu hidupku jadi penuh arti..