Nyaman,
Salah
satu kata yang ingin kuucap menggambarkan IIDN ini. Mungkin banyak yang tahu,
kalau saya ini orangnya ‘ramai’, suka komentar sana-sini, sapa sini dan situ.
Tapi sebenarnya saya tipikal orang pecinta ‘nyaman’. Bila saya tak nyaman
dengan suatu komunitas, yang terjadi adalah saya menjadi pendiam, sama sekali
tak komentar, bahkan sekedar ‘like’.
Mengenal
Ibu-ibu Doyan Nulis lebih dari dua tahun, adalah berkah buatku. Saya teramat nyaman di komunitas ini. Terdampar
disini karena ‘salah pencet’, saat menelusuri akun suatu produk, maklum saat
itu saya giat-giatnya ikut lomba nulis pada beberapa produk.
‘Salah
pencet’ ini membuat saya tersenyum. “inilah komunitas yang selama ini saya
cari”, batinku. Awalnya dengan malu-malu menyapa ibu-ibu dan mbak-mbak yang ada
disitu, lha sama sekali tak ada yang kukenal. Sapaan tentu dengan postingan
tulisanku: wow sambutannya luarbiasa. Sekali posting tulisan bisa lebih dari 70
komentar. Semuanya ramah, berpegangan tangan untuk suatu kebaikan.
Komunitas
ini bergerak dinamis, sama sekali tidak statis. Selalu ada yang baru. Ada yang
berkisah, berpuisi,bertutur, mengajar dan banyak muridnya, ada yang balas
salam, ada yang posting kegiatannya, ada juga yang sedang bahagia karena pencapaian
terbesarnya setelah aktif di IIDN, dan ada yang suka-suka. Bila ada pengajar
yang berpamitan, selalu saja ada orang baru yang dengan ikhlas menggantikannya.
Hmm..tak
ada kata, sok tahu, sok pintar, hebat sendiri dan pelit berbagi. Hampir semua
berkarakter sama: rendah hati, ramah, berbagi adalah kebahagiaan yang tak bisa
disembunyikan oleh ibu-ibu disini. Iri dengki? Wow, sangat jauh. Tapi saling
mengompori temannya untuk produktif, maju, kreatif : adalah kewajiban! Jika ada
terpuruk bersedih, hampir anggotanya bahu membahu meneguhkannya, menyodorkan
pundak untuk bersandar. Semuanya sangat indah!
Dan
yang sangat kusuka, bila ada teman yang berhasil: tembus media masa, juara
menulis, berhasil terbitkan buku, dan segudang prestasi lainnya. Sepertinya
saya serasa juga ikut andil didalamnya, entah saat mereka bertanya lewat inbox
kepadaku, saat saya meneguhkannya waktu mereka putus asa. Pokoke ge-er yang
positif: berbahagialah saat teman peroleh kebahagiaan, karena kebahagiaan itu
hembuskan energy positif dalam jiwa, bukakan hati lebar untuk malaikat yang
turut mendoakan agar kita bisa sukses, sesukses mereka. Bukan sebaliknya
menahan sakit hati karena terkepung iri dengki yang melanda.
Subhanallah
Ibu-ibu Doyan Nulis ini sangat hebat: bergerak maju bersama dalam gandengan
tangan mesra, seperti ketel uap yang akan meledak setiap saat, setiap waktu:
ledakan prestasi tentu saja.
Bicara
tentang IIDN, tak lepas dari foundernya yang ramah baik hati lagi jelita. Ya,
ibu Indari Mastuti sebagai penggerak, lokomotif komunitas ini tak hentinya
mencari terobosan agar ibu-ibu disini dan kaum perempuan pada umumnya tidak
hanya berdiam diri dirumah. Berkarya dan maju bersama. Siapa dari ibu-ibu
disini yang berawal tak punya karya, kemudian tiba-tiba punya satu, dua, tiga
bahkan bisa belasan buku? Dan tiba-tiba pede untuk unjuk gigi ke media massa,
majalah, atau malah jago bikin blog?
Saya yang akan ngacung tinggi-tinggi, dan ini
mungkin diikuti puluhan, bahkan ratusan dari anggota IIDN yang berjumlah 6000
orang ini. Ya, yang saya rasakan sekarang ini adalah menjadi manusia baru yang
punya cita-cita. Kehidupan ini menjadi sangat berwarna, saat anak, suami
keluarga bangga dan memberi satu sebutan saya: “ibu saya adalah seorang
penulis,..” kata mereka. Karakter negative saya sedikit terkikis. Dari pemalu
tak percaya diri menjadi lebih baik dari itu. ‘karena aku memiliki kemampuan’
bisikku. Padahal sepertinya saya mengawalinya kegiatan menulis ini dengan
sangat terlambat, saat usia beranjak sangat-sangat dewasa.
Bertemu
dengan bu Indari, adalah kesempatan langka. Berjabat tangan, mendekap, mencium
pipinya dan berbincang akrab dengannya seperti sudah kenal dekat,
bertahun-tahun yang lalu, padahal hanya bertegur sapa lewat komunitas ini .
Kuangsurkan salak dan baju batik kepadanya, dengan malu dan berharap cemas.
Mungkinkah ia tak suka dengan pemberian saya? Ooh,..ternyata keliru, siangnya
saat bertemu kembali, beliau dengan lahap menikmati salak itu. Dan ternyata
baju batikpun katanya masih sering dipakainya. Menghormati teman dengan cara
menghargai pemberian, membuatku bahagia.
Dan
memiliki teman baik di IIDN ini yang akhirnya menjadi sahabat adalah
keberuntungan saya, apalagi sampai ia mengetuk rumah dan berjabat erat
dengannya, seperti yang saya alami dengan mbak Andary witjaksono, seolah mimpi
saja…
Apalagi
saat dia bercerita, setelah beberap minggu bertemu dengan saya.”Mbakyu, suamiku
sms katanya ditempat kerja ia sedang
mencetak satu buku, yang katanya sangat familier dengan nama pengarangnya .
Judulnya ‘Masuk Surga Walau Belum Pernah Shalat’, katanya pula kapan ia suatu
saat mecetak bukuku?”
Hi..hi..hi
siapa nyana jika suami mbak Andary yang kerja di bagian percetakan Gramedia http://indscriptcrative.com/ dan saat bertemu di Solo ikut berbincang
dengan kami, ternyata diserahi mencetak buku solo pertama saya.
Haru
biru saya mendengarnya. Buku dengan tebal 422 halaman, dibuat selama 21 hari,
dengan 30 lebih buku referensi.
Terengah, tersuruk, sesak, sakit, bingung mewarnai pembuatannya. Maklum debutan
pertama, harus dibuat sedikit idealis, begitu pula dengan proses pembuatannya.
Akhirnya bulan November 2012 buku dengan judul cukup ‘membuat kening berkerut’
itupun terbit juga. Legalah selimuti hati, bila bukan karena IIDN, kapan saya
bisa berani menulis sebanyak itu?
Disini
pula kutemukan mbakyu Raditya Surya yang selalu menyapa, beri semangatdan
meneguhkan saya saat derai air mata penuhi pipi ini. Katanya; “Siapa yang
berani begitu sama kamu mbakyu, akan saya labraknya…” begitu kira-kira
pembelaannya kepadaku. Jarak usia lebih dari 15 tahunpun tak halangi kami
menjadi sahabat yang baik. Selalu saja jadi ‘tongkat penyangga’ saat hati mulai
lelah.
Begitu
pula ada mbak Sri Rahayu, bu guru Arin Murtiyarini, mbak Liza permasih Arjanto
selalu saja menceriakan hari-hariku. Ada Mbak Lygia Pecanduhujan yang selalu
menginsipirasi, tak luput pula mbak Titik bin Maslih, Etty Abdoel, Rima
Farrananda,Lintang Kemukus, Meta Nuci, Yosi Sutrisna semua baik hati kepadaku.
Belajar
dari yunior (dari segi usia tentu saja) juga perlu saya lakukan, mbakyu Nunu el
fasa, Nunung Nurlela, Imaz karim, Rachmawati, Diah Kusumastuti dan mbak Dewi
Laily atas semangat 45 tak kenal menyerah menaklukan sesuatu. Tak lupa juga
teman jauhku Hikmah Fitri, Afifah
azzahra, Sri Widyastuti, Hana Sugiharti, Utari Giri… wah masih banyak lagi.
Apalagi
saya suka menyeret teman, ada beberapa namun yang kuingat adalah mbak Chandra
Dwi Setyo dan Ummi Nasyi’ah. Merka juga bersemangat belajar menulis untuk
mengisi hari-harinya.
Sungguh,
separuh lebih pertemanan saya adalah ibu-ibu yang tergabung di IIDN. Suatu
ketika, komunitas ini kuinginkan bukan hanya sekedar wadah buat ibu-ibu
menyalurkan hobinya menulis dan memfasilitasinya membuat buku, namun juga
membuka peluang membuka usaha. Mungkin buka usaha penerbitan, atau punya
majalah sendiri, yang tentu tak kesukaran mencari naskah, karena potensi
ibu-ibu disini tumpah ruah. Atau buka butik, usaha catering, salon dan bisa
jadi minimarket? (hiihih kalau yang terakhir ini mah cita-cita pribadi)
Tak
ada yang tak mungkin. Karena semuanya adalah kehendak Tuhan. Seperti saya, yang
dahulu mengira habiskan waktu, menunggu toko kecil mungil, mengasuh anak dan
menunggu dengan manis suami dirumah. Hanya itu saja. Tapi, ‘kun fa yakun’ Nya lebih
berperan dalam kehidupan ini. Beberapa buku Solo, beberapa buku kolaborasi dan
Antologi dan seratus lebih artikel sudah saya tulis. Tak ada kata sia-sia dari
sebuah usaha.., terimakasih IIDN, karenamu hidupku jadi penuh arti..