Jumat, 25 Januari 2013

Suatu Saat Di Ramadhanku

Sejengkal lagi Ramadhan akan hadir, Subhanallah beribu rasa seolah berkelebat dalam diri. Bukan hanya sekedar persiapan lahir dan bathin yang harus ditata rapi. Namun, kisah Ramadhanku yang lalu selalu mengiringi berpuluh-puluh Ramadhanku  kedepan, mungkin sampai akhir hayat. Bahkan selalu saja kuhadirkan, bukan semata mengurai kesedihan atau kemazhulan hati saat itu, namun selalu kuiringi dengan lafazku: Gusti-ku berilah kelonggaran selonggar-longgarnya jiwa ini untuk lebih banyak berbagi, karna kusadar hanya dengan berbagi bisa melonggarkan sesuatu yang sempit,..sempit mata hati, sempit pikiran dan segala sempit lainnya yang sungguh menyesak dada..

    "Beli seperempat kilo beras mau ndak.." terdengar ibuku memintaku. Hah? seperempat kilo, kalo dimasak jadi berapa banyak, cukupkah untuk berbuka puasa 4 orang dewasa? belum lagi rasa malu pada penjual warung depan rumah, selain terdengar aneh (nganeh-nganehi malah), apa ndak kasihan beras mereka jadi ndak genap hitungan kilo..dengan halus kutolak. "..lha lalu gimana nih untuk berbuka nanti.." lanjut ibu dengan sedikit raut muka khawatir. Seperti biasa kami langsung memutuskan untuk menyingkirkan rasa malu, untuk pergi kerumah kakak perempuanku. meminta "welas asihnya" untuk berbuka kami berempat {aku, ibu, kakak laki dan adik lakiku) meski kutau saat itu kakak perempuanku juga tak berlebih dana, namun demi buka puasa ini kumantapkan hati menelponnya. Terdengar suara nyaringnya; " ya..boleh kemarilah ", Alhamdulillah aku diberinya  lauk dan sayur dan sedikit uang untuk sahur..(nuwun atas baikmu mbakyuku. semoga Allah membalas kebaikanmu.), dan itu sering kulakukan saat Ramadhan tersulit yang harus dilalui..

    Bagi orang yang tak "longgar" dalam kehidupannya akan sangat terasa sekali saat ramadhan hadir,..lha wong makan cuma 2 kali sehari saja susah, mongko saat berbuka dan sahur adalah "saat upacara" yang paling penting bagi yang berpuasa. Betapa cerianya saat bedug Magrib tiba, dengan ucapan syukur yang cukup keras..Alhamdulillah..lha pas ndak ada yang dimakan, sangat terasaaaa sekali nelangsa-nya, "bak dhuafa" yang ada diemperan masjid layaknya.
"Bu, minyak tanah habis,.gimana mau njerang air?" kataku sambil membawa jirigen minyak tanah, siap untuk beli minyak, yang saat itu satu liternya cuma 350 rupiah..Ibu terlihat menggeleng, "ndak ada uang nduk..mungkin kita bisa pakai ranting itu.. " tunjuknya di pohon jambu bangkok samping rumah. Hah? pakai ranting jambu? seumur-umur kitanya ndak pernah membuat perapian untuk masak dengan ranting. Dengan patuh kuseret ranting jambu yang kelihatan kering menuju perapian yang disiapkan ibu (yang biasanya khan masak pake kompor minyak). Bedug maghrib sejam lagi berbunyi,..MasyaAllah perapian ini ndak jadi-jadi juga, lha gimana mau jadi ternyata ranting itu juga masih basah..Sungguh bagai sebuah ironi yang harus dijalani, tak terasa buliran air mata ini menetes.. Melihat kami yang sibuk, kakak iparku  yang rumahnya berdampingan dengan rumah kami, mengansurkan jirigen minyak tanahnya yang tinggal setengah liter kepadaku,..maklumlah keluarga kakakku itu juga sedang "berjuang" kala itu, hingga masalah keuangan juga belum longgar. Akhirnya saat bedhug magrib,..kami bisa berbuka..(Makasih kakak iparku. Moga Allah membalas dengan berlipat.)

     Hari berikutnya, masalah juga sama..bila ndak sungkan, kami bisa tiap hari sekeluarga berbuka dimasjid, kalau perlu pas sahur (ihik,..sahur bersama kala itu belum populer), tapi kok ya rada aneh, wong biasanya cuma perwakilan saja, satu apa dua orang serumah untuk berbuka dimasjid, sambil mendengarkan Kultum.Makanya kusiasati, meminta pada panitia untuk beberapa hari memasakkan makanan berbuka untuk masjid, padahal kuakui aku tak terlalu pandai masak, apalagi masak masal untuk seratusan orang, bukan perkara mudah, dan uangnya memang sudah dari sumbangan masyarakat. Kadang hasilnya ndak maksimal, nasi gosong atau lauk yang ndak sesuai, lha gimana lagi wong ndak pengalaman, sebenarnya niatanku hanya bisa menyambung nafas keluarga agar bisa berbuka atau bahkan sahur dengan sisa nasi dan lauk yang sengaja kulebihkan.

    Bila sudah sungkan meminta mbakyuku, juga jadwal dari masjid untuk memasakkan berbuka dah habis, maka satu jurus lagi yang dilakukan dan ini inisiatif adik lelakiku, meminta bantuan mantan pengasuhnya saat kecil, yang waktu itu berjualan sayur, nasi dan lauk. Subhanallah, ada opor, pecel, gudeg, telur pedas juga rendang daging sapi, juga gorengan lainnya dengan ikhlas diberikan secara cuma-cuma pada kami lewat adikku yang sengaja berkunjung kerumahnya. Dan lucunya, karena rumahnya agak jauh, jadi harus naik bis kota, untuk ongkos bispun yang saat itu hanya seratus rupiahpun (beneran nih) ndak didapat,..dan hap..kami berlomba-lomba mencari dikolong ranjang dengan berharap ada ratusan logam yang menggelinding disitu,..dan ternyata ada!!. Untuk 2 hari kami bisa "berpesta" dengan pemberian itu,tentu di panaskan kembali makanan itu,.. Duh Nuwun yang tulus untuk Mantan pengasuh adikku..Semoga Allah melimpahkan kekuatan pada keluargamu..

     Dan Saat Ramadhan akan berakhir,..Kami kembali sedih,.bukan cuma harus berpisah dengan bulan mulia ini, namun terbayang saat lebaran tak bisa menanak nasi.(Ya Allah, aku sangat malu..ingin kututup wajahku dengan dua belah tanganku bila mengingat ini). Aku memberanikan diri sebagai Amil Zakat. Padahal aku tidak tercantum dalam susunan pengurus sebagai Amil. Ada niat ganda saat itu. Membantu panitia zakat (yang kesemuanya laki-laki), tapi yang terpenting aku mendapat jatah Amil, dua setengah kilo beras, bukan jumlah yang sedikit untuk menyambung "hidup"beberapa hari, yang kebanyakan para Amil ini tidak mengambil, dan dikembalikan ke panitia untuk di bagi sama dhuafa lagi. Aku nekat membantu sampai jauh malam, karena khawatir..TIDAK TERCATAT SEBAGAI AMIL!!! Dan akupun satu-satunya perempuan yang "yanggong" sampai malam. Kusembunyikan rasa malu ini, kutepis rasa "dremis" ini demi dua setengah kilo beras..

      Kuakhiri cerita ini dengan perasaan tercekat; begitu Allah sangat sayang padaku. Rejeki dilimpahkan tanpa henti, walau tak berlebih, tapi kusyukuri sebgai pemberiannya yang tak terkira. Ramadhanku sekarang kusambut dan InsyaAllah kulalui dengan riang hati. Aku dan garwaku berupaya keras untuk membebaskan tangan kami yang terbelenggu kebelakang, untuk di "mudah"kan kedepan, memberi sebisa, semampu mungkin. Sedekah yang tak berhenti. dan melebihkan mengasah hati untuk melihat sekeliling terhadap orang yang sebenarnya tak mampu, tapi malu untuk meminta. Dan sebenarnya bila orang sadar, bahwa dengan memberi, Allah akan melipat gandakanya pahala dan rezeki yang berlipat, juga menjauhkan dari gundah, Sakit, Malapetaka dan segala kekurangan. Allah Maha Baik, Maha Kaya..semoga kita bisa meniru kebaikanNya, juga kekayaan yang kita miliki  dimudahkan Untuk berbagi kepada yang lain..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar