Kamis, 31 Januari 2013

ANDAI SELURUH PEMKOT MELARANG WANITA BONCENG MOTOR MENGANGKANG..



            Beberapa hari ini heboh pemberitaan rencana Pemerintah Kota (PemKot) Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam yang membahas mengenai hal tak lazim; menyoal para pembonceng motor untuk wanita dengan posisi duduk mengangkang! Sontak pro kontra langsung datang bertubi-tubi, maklum pembahasan tak biasa, selalu mengandung ekses luas dkalanan masyarakat.
            Pejabat Lhokseumawe beranggapan posisi duduk mengangkang bagi wanita saat membonceng tidak sesuai dengan budaya Aceh yang sangat sarat dengan aturan syari’at Islam. Namun saat dikonfirmasi pejabat MUI Jakarta, dikatakan bahwa Islam tidak merujuk secara gamblang aturan duduk saat berkendara. Bila pakaian bagi muslimah sudah terpenuhi syari’at Islam, hal itu sudahlah cukup saat ia akan berpergian.
Posisi duduk, tak pernah di sebutkan dalam Islam hukumnya. Jika sudah demikian hukum yang berlaku adalah maslahah, jika yang dilakukan tak menimbulkan dosa,  tak salahi peraturan agama, membuat nyaman pengendara dan pembonceng dan tentu saja aman. Dan itulah jalan pemikiran atau sikap yang diambil.
Atas nama estetika dan norma budaya, apakah harus mengorbankan bentuk lain? Yakni kenyamanan pengendara dan pembonceng, dan yang perlu digaris bawahi dengan memakai tinta tebal adalah factor keselamatan. Bahkan Jusri Pulubuhu seorang Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) mengatakan, duduk menyamping tidak aman dan menjadi tidak ergonomis bagi penumpang, juga bagi pengendara akan sangat kerepotan jika melakukan maneuver atau berbelok, karena kesembangan menjadi berkurang.
Bahkan Jalopnik, media otomotif internasionalpun ikut beri ulasan mengenai peraturan yang sekarang sudah hampir pasti disosialisasikan oleh Walikota Lhokseumawe dalam waktu dekat ini. Jalopnik  mempertanyakan apakah membonceng menyamping dapat memenuhi aspek keselamatan di jalan raya, dan bahkan menyebutkan membonceng yang demikian adalah posisi terburuk bagi dunia pengendara di dunia.
Terlepas dari pendapat para pakar dan ulama dan pro kontra dikalangan masyarakat, pernahkah beri angket pada para wanita posisi mana yang paling nyaman saat membonceng, dan bertanya pada banyak para pengemudi posisi yang bagaimana paling nyaman, dan aman karena pada dasarnya jawaban pengemudi dan pembonceng memiliki dasar tersendiri.
Bagi penulis, beberapa tahun ini mencoba duduk mengangkang saat dibonceng, jangan salah, saya menggunakan gaun gamis dalam berpakaian sehari-hari. Mengapa saya memutuskan hal demikian dalam beberapa tahun terakhir ini bukan dalam berapa puluh tahun yang lalu? Berikut alasannya:
1.      Berpuluh tahun lalu, tak lazim wanita berkerudung memakai baju longdress untuk duduk mengangkang. Mengapa? Karena pada dasarnya mereka  (kami) tak berpikiran untuk menggunakan celana panjang dibalik baju muslimah kami. Walau memakai double ‘rangkapan’ kebanyakan memakainya  yang berbentuk ‘rok’ juga. Jadi kebayang kalau kami duduk mengangkang tentulah aurat akan terbuka.
2.      Saat muslimah berbaju gamis mulai dengan trend memakai celana panjang sebagai rangkapan gaunnya, maka mulailah banyak dari muslimah duduk mengangkang. Mengapa? Selain nyaman karena seimbang kakinya, berat badan wanita yang semakin melambung membuat mereka berpikir dua kali untuk mengambil langkah duduk menyamping, Karena kaki sering kesemutan bahkan  kram. Pinggang terasa sakit apalagi jika  perjalanan itu jarak jauh.
3.      Penulis sudah tiga kali gaun muslimahnya terkena musibah yakni masuk dalam jeruji roda sepeda motor karena duduk menyamping ini, dan pernah terjatuh pula. Dan pernah harus merelakan daster kesayangan karena ada pembonceng wanita mengalami musibah dekat rumah, yang sampai (maaf) hampir terbuka semua bajunya gara-gara gaunnya masuk ke jeruji roda secara ekstrim, karena cara duduk menyamping itu.
Masih kurangkah fakta yang membuat para pembuat keputusan masih tetap saja meneruskan peraturan melarang pembonceng duduk mengangkang? Tak sayangkah pada para istri, anak perempuannya dan wanita? Risau bila mereka duduk dengan pasangan yang bukan muhrimnya? Ini bukan lagi urusan keselamatan jalan raya, namun para pendidik, ulama, umara terutama orangtuanya untuk membatasi anak-anak perempuan lajang mereka untuk tidak dibonceng yang bukan muhrimnya, dan bukan malah membahayakan dan membuat tak nyaman pasangan-pasangan yang sudah menjadi muhrimnya.
Andai  seluruh PemKot menerapkan hal itu tanpa memperhatikan aspek sayang wanita, mungkin saya akan ikutan demo saja, karena teringat sudah masa-masa pahit saat robek baju, terjatuh dari sepeda motor dan sering kaki  di’tabrakan’ becak, karena posisi kaki menyamping saya yang memang banyak menyita jalan. Dan bukankah Aisyah, istri Rasulullah naik kuda dengan posisi mengangkang? Jadi apalagi  yang menjadi persoalan mengenai duduk mengangkang?

Rabu, 30 Januari 2013

SEKEPING DIRHAM PANAS




            Dahlan Iskan Marah besar, ditendangnya kursi pada loket pintu Tol. Gubrak!!!.    ”Kenapa loket ini tak ada yang jaga? Tahu tidak dari sejak subuh, pengguna tol sudah berpacu dengan waktu. Mereka mengantri mengular, buka Cuma banyaknya volume kendaraan, tapi diperparah dengan ketidakdisiplinan petugas loket. Saya saja sebagai Mentri sudah disiplin untuk segera pergi kekantor..”
            Mentri BUMN itu benar-benar murka. Jasa Marga sebagai salah satu bidang jahahannya, telah torehkan ‘perih’ didadanya. Sedang Ia berkali-kali sebagai tameng untuk jawab pertanyaan rakyat ketika tarif tol akan naik, begitu naik tak diimbangi servis yang sempurna  Seperti ia mendesah, saat amanah diusung, saat itu juga sebenarnya beban berat telah disangga. Ia sangat paham.
            Sebenarnya, saya bukan penggemarnya menteri yang low profile ini. Soalnya berjibun pejabat; polanya sama, banyak tak amanah, bikin bête, pekerjaan yang tak benar, tak melayani rakyat, malah sebaliknya suka banget dilayani. Namun beberapa saat yang lalu banyak ‘tingkahnya’ memaksa untuk dilirik. Naik ojek, ketika jalanan ibulota macet. Tiba-tiba ada diatas kereta api, Bus Trans-Jakarta, bikin kelimpungan para pejabat setempat yang sungguh tak siap dengan kedatangannya mendadak.
            Suatu hari suami cerita, saat hari Jum’at ada serombongan staf dari kementrian Hukum dan HAM bertandang ke Pesantren. Karena tak ada konfirmasi, mereka di sambut ala kadarnya oleh ustadz yang kebetulan tidak liburan, dan terkaget-kaget ada yang mendadak ahadir dipesantren. Suamiku yang cuma melongok pondok ditarik-tarik suruh menemani bicara ustadz yang saat itu kebetulan juga sedang tengok pondok. Salah sendiri, jum’at datang, saat pesantren libur dan tak ada konfirmasi, alhasil cuma air dalam kemasan disuguhkan kepada tamu yang sebenarnya penting itu. Saat ada kesempatan suami langsung ngibrit pulang, “Lha aku disuruh ngapain, soalnya cuma ban serep, daripada cuma bengong aja”.
            Sebenarnya suamiku mungkin agak menyesal, karena tak sabar ada satu “kejutan” satu lagi saat ia pulang dan memutuskan shalat jum’at dirumah. Soalnya saat masuk Shalat jum’at ada tamu penting yang datang diam-diam. Tanpa pengawalan, hanya dengan asistennya. Berwudhu bersama santri, shalat khusuk diantara mereka. Tak ada sesuatu yang istimewa. Ia didaulat naik mimbar, beri tausiyah seusai shalat jum’at, karena direktur pesantren dibisiki, ternyata ada tamu ikut shalat, dan dia bukan wali santri. Ia seorang mentri. Ya, ia adalah Dahlan Iskan. Ia bisa menjelma dimana saja, dipelosok negeri ini. Saya mungkin akan pingsan saat ia tiba-tiba membeli permen diwarung mungilku. He..he.. khayalan yang ngawur saja.
            Saya bayangkan dia bak Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah daulah Abbasiyah yang begitu saya kagumi. Dua setengah tahun berkuasa. Bersihkan kotoran negerinya. Ia ubah “sampah” jadi berlian. Mencoba ciptakan surga sungguhnya saat negara berada diujung tanduk. Dua-setengah-tahun: Ayo siapa yang bilang tak mungkin ubah negara yang kacau balau? Umar bisa buktikan! Ia adah seorang yang zuhud tak gila kuasa dan harta. Sebagian besar harta milik keluarganya diberikan pada negara. Ia bisa menangis dengan keras-keras, ketika melihat rakyatnya menderita. Ia sangat berani bersebrangan dengan pejabat atau lawan politnya yang kontra, apalagi kalau ia anggap benar. Semua bidang diperbaikinya, social,politik, budaya, ilmu, militer, kesehatan dan semua hal asal itu untuk sejahtera rakyat. Ada seorang ulama yang sampai bilang, “Seorang penggembala berkata padaku, ini negara siapa gerangan? Sampai srigalapun tak berani makan kambing-kambing itu, karena saking damai dan tentram negeri ini. Dan petugas zakatpun kebingungan mencari para fakir miskin, karena semuanya jadi muzaki. Semua rakyat sejahtera.
Apa Umar dengan mudahnya mengubah negerinya dengan waktu singkat dengan sim salabim? Oh tidak, dengan seluruh jiwa raganya. Ia ingin persembahkan jabatannya hanya untuk Illahi yang janjikan surga padanya, bila jadi pemimpin yang amanah. Ia sangat takut dengan neraka, bahkan bisa pingsan dalam shalatnya ketika harus membaca surat Alqur’an yang berhubungan dengan neraka. Ia sangat berhati-hati jaga negerinya, amanahnya, seperti berhati-hati agar tak masuk ke ranah jahanam.
Terus,..terus,..bagaimana dengan negeri yang semakin tak tentu arah ini? Jangan bilang lagi belum cukup waktu untuk memimpin jadikan negeri ini sentosa. Umar hanya diberi waktu dua-setengah-tahun, dibawah ancaman pembunuhan padanya yang selalu mengintai, saat itu. Bila semua pemimpin takut neraka. Menjadikan jabatan sebagi amanah untuk merengkuh surga, dengan niat untuk perbaiki rakyatnya, tentu bukan hal mustahil era Umar akan kembali terjadi. Saya salut sama Dahlan Iskan sudah memulainya, tanpa kamera, tanpa banyak ucap, ia banyak keliling untuk mencoba perbaiki dengan apa yang bisa dilakukan. Mungkin sesuatu yang sederhana, namun semoga bisa jadi kontribusi tuk perbaiki negeri ini. Paling tidak, sikapnya bak oase ditengah gurun gersang negeri ini.
Akhirnya, ada satu kisah yang bisa jadikan inspirasi. Saat sang Bibi Umar datang untuk minta tambahan uang belanjanya yang sudah ditetapkan negara, saat Umar sedang makan dirumah dengan makanan yang sangat sederhana, seperti yang dimakan rakyat jelata. “Sebentar ya bibi”, kata umar sambil mengambil uang sekeping dirham perak yang kemudian dibakarnya diatas bara api. Lalu dibungkusnya dengan kain, dan diberi pada bibinya.
“Panas….”, teriak bibinya sambil membuang uang itu, dan mengelus tangannya yang melempuh. Dengan santun Umar berkata,”Seperti itulah gambaran bila uang negara yang tak digunakan tidak pada tempatnya. Itu hanya panas api didunia. Saya tidak mau mengajak keluargaku dan kerabatku untuk merasakan api neraka, gara-gara saya selewengkan uang negara..” Semoga yang disana bisa ter “tampar” dengan ucapan Umar,..

SAAT KALAM MENJADI LENTERA



Tertatih. Itu kalimat pertama yang ingin kuucap saat pertama belajar mengaji. Entahlah ada sebersit penyesalan mendalam, ketika saya merasa harus mengaji, belajar membaca Al Qur’an seorang diri saja, maksudnya tanpa banyak campur tangan orang tua terhadap satu hal ini saat saya masih dalam usia dini. Sekecil itu harus paham bahwa keluarga kami bukan kalangan santri, dan serumah hampir tak ada yang bisa baca Al Qur’an, tentu mengajari aqidah akhlaq, Ibadah, Fiqh, kisah Nabi-nabi Rukun Iman dan Rukun Islam, hampir tak mungkin dilakukan mereka, di era tahun 1979-an saat usiaku menginjak delapan tahun. Kehidupan agamaku terasa sunyi,  seolah tak ada ruh didalamnya.
Bagai tertiup angin, sampailah saya terdampar pada pengajian anak-anak yang digawangi oleh seorang yang sholeh, yang sangat prihatin dan peduli pada perkembangan anak-anak muslim saat itu. Seorang lelaki paruh baya, Pak Warsito namanya. Ia seorang yang sederhana, tidak terlalu sempurna penglihatannya sebelah kiri, namun semangat dan kecintaannya pada anak-anak dan ingin melihatan generasi usia dini ‘melek’ Qur’an, tidak seperti generasi sebelumnya, jauh dari Kalam Illahi.
Tanpa dibayar! Itu keistimewaannya. Bayangkan mengasuh puluhan anak yang berbeda karakter, menghabiskan saat istirahatnya seusai kerja di sebuah Toko Kayu, dilakukan dengan senang hati mengajarkan membaca Alqur’an, Akhidah Akhlaq dengan cara yang menyenangkan. Ia bisa senirupa, menyanyi dan bermain drama. Pak Warsito ingin setiap anak mengerti Qur’an, pandai mengaji dengan hati yang gembira. Menyelipkan kesan khusus tentang moral terpuji tanpa kesan menggurui. Ia seolah tak peduli saat uang pribadinya malah terpakai untuk keperluan memajukan anak-anak Muslim didaerah Kampung Gunung Ketur Pakualaman Yogya. Baginya kebahagian yang tak terkira, bila melihat anak asuhnya yang tak tahu baca tulis huruf Arab, buta huruf bahasa Al Qur’an, tiba-tiba lancar membaca Al qur’an, dan menularkan pada anak-anak lainnya atau pada keluarganya. Bagiku, lelaki paruh baya itu adalah  teladan, dan terkadang terselip dalam doa; semoga Allah menempatkan Pak Warsito di JannahNya, surga memang pantas untuknya.
Namun, ternyata belajar mengaji saya tak tuntas! Saya masih juga terbata-bata dengan huruf sambung pada saat selesai SD dan pindah rumah. Tak jumpa lagi dengan acara mengaji. Sekolah SMP Negeri yang notabene pelajaran agamanya sedikit, membuat peluang saya untuk bisa baca Al Qur’an secara lancar pupus sudah. Apalagi hampir semua temanku juga tak ada yang bisa baca lancar Al Qur’an saat itu. Kok bisa begitu? Aku juga bingung, betapa “jaman gelap” untuk bisa mengerti agama dengan baik, tak banyak mendapat dukungan.
Dan entah mengapa saya juga bisa melanjutkan ke Aliyah. Padahal bekal agamaku dari SMP negeri sangatlah minim. Modal nekad kayaknya. Tapi Alhamdulillah bisa juga saya berprestasi meski untuk beberapa hal masih tersaruk-tersuruk. Dan bisa kuliah di Fakultas Syari’ah dengan belum juga lancar baca Al Qur’an. Kenapa bisa begitu? Sayapun heran, sepertinya factor kebiasaan dan harus intens tiap hari membaca, itu kata kuncinya. Sampai suatu saat saya punya anak ketiga baru bisa baca Al Qur’an dengan lancarnya!. Saya sendiri juga bingung harus menunggu sangat lama untuk bisa lancar, mungkin karena saya kurang percaya diri karena mendapat suami seorang Ustadz dan malu untuk unjuk kebolehan membaca Al Qur’an dengan suara keras. Hingga saya selalu membacanya perlahan, takut ketahuan salah, khawatir diolok-olok bila salah dan tak lancar. Namun saya sangat percaya, bahwa kuasa Illahi untuk umat yang tak berhenti berusaha, selalu buahkan hasil yang manis. Ba’dha subuh dan habis magrib, lembar-lembar menjadi rutinitas kami sekeluarga.
Meski dahulu tak terlalu lancar dalam eja ayat-ayatNya, saya tak henti menjai guru bagi anak-anak saya. Tekad saya satu paling tidak kelas 1 SD harus ‘pegang’ Al Qur’an, dan dapat baca secara fasih. Dan tahukah, bahwa tanpa baca dengan lancarpun saya bisa jadi guru ngaji untuk beberapa orang. Keinginanku hanya sederhana, mereka ibu-ibu atau anak-anak bisa membaca Al Qur’an paling tidak setara dengan saya, dapat mendapat sentuhan akhlaq dengan sebaik-baiknya. Hingga suatu saat bisa jadikan Kalam Illahi ini sebagai lentera yang kelak akan terangi saat melangkah pada titian serambut dibelah tujuh, menuju JannahNya.

FILOSOFI IMANI MENAKJUBKAN DARI SERANGGA (SEMUT DAN LEBAH)




Seringkali kita terjebak pada pemahaman atas satu sisi. Seperti satu bidang tertentu hanya dikotomi oleh lingkar yang pakem. Misalnya ketika kita membahas mengenai serangga, kadang terjebak pada jenis, tempat hidup, pola makan, fungsi dan seterusnya. Padahal ternyata membahas serangga bisa ditinjau dari banyak aspek. Salah satunya dari segi pemahaman agama yang punya makna filosofi yang tinggi dan dapat diambil manfaat dan hikmah yang terbesar untuk kehidupan manusia.

            Ada binatang secara fisik kecil namun sangat penting. Karena nama mereka tertoreh dalam surat di Alqur’anul karim yakni, Al-Naml (semut), Al-Nahl (lebah). Keduanya adalah serangga yang bisa dengan mudahnya ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, diseputar rumah, dikebun, diareal persawahan atau dimanapun berada didunia ini.

            Bila bicara tentang binatang kecil dan sangat familier untuk singgah dirumah siapa saja, dan bisa membuat kalang kabut penghuni rumah karena “aksi koloninya” yang merepotkan, yaitu semut. Ciri khas si “merah atau hitam” ini selalu rukun dengan koloninya. Hampir tak pernah hidup menyendiri. Selalu patuh tanpa suka “mendemo” pimpinannya, berjalan beriringan tanpa kenal lelah. Cuma mereka bukan pencari jejak yang baik. Jika dikacaukan jejak iringannya, yang terjadi adalah bubar, kebingungan, saling tubruk. Namun bisa masuk dalam barisan berderet lagi, setelah tenang dan temukan jejak yang terhapus tadi. Ya, Saya sering mengacaukan jejak si Semut untuk lihat reksinya, jika sedang rukun jalan didinding. Mereka adalah potret binatang yang rajin bekerja untuk mencari makanan koloninya. Dan ini sebuah fenomena menarik.

            Namun dibalik itu, ada sifat tak positif dari diri semut. Semut itu menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa henti-hentinya, bagai orang rakus yang khawatir kelaparan. Konon binatang kecil ini dapat menghimpun dan menyimpan untuk persediaan bertahun-tahun sedang usia mereka tergolong sangat singkat, tidak lebih dari satu tahun. Ketekunan si Semut ini malah membuat tanda tanya besar. Pekerjaan yang dilakukan dengan tekun dan sungguh-sungguh untuk hasilkan sesuatu yang besar, tidaklah bisa dinikmati dirinya sendiri sepanjang hidupnya. Terkadang memikul beban yang sangat berat, untuk hal sia-sia. Karena bahan makanan itu bisa busuk, tak bisa efektif dimakan.

            Namun siapa nyana. Makhluk yang kecil mungil ini bila bersatu akan menghasilkan sesuatu yang besar dan hebat? Terbayang gunungan tanah yang tingginya sampai dua meter lebih, dihutan Papua itu ternyata hasil karya koloni semut yang dilakukan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dan oleh masyarakat Papua, konon ada yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau obat  dari koloni semut muda itu. Koloni besar ini terdapat semut betina tanpa sayap (mandul) yang membuat kasta pekerja dan tentara, begitu pula koloni semut jantan. Dan semut Jantan subur disebut “dron” sedang betina subur disebut “ratu”. Mereka juga menciptakan system pembagian kerja, meski digambarkan sebagai satu superorganisme, karena semut-semut ini saling bekerjasama.

            Berbeda halnya dengan lebah. Ia gambaran makhluk yang paling berdaya guna untuk manusia. Bagai pohon kelapa yang sejengkal tubuhnya tidak ada yang sia-sia. Begitu pula sang lebah. Lebah mencari gunung dan pohon yang tinggi sebagai tempat sarangnya. Sebuah insting yang cerdik, untuk menghindari gangguan dari hewan lainnya. Kata Al Qur’an (QS 16 :68). Dan sarangnya dibuat segi enam bukan segi lima atau empat, untuk menghindari pemborosan dalam lokasi. Yang dimakannya adalah sari bunga yang manis. Lebah berbeda dengan semut yang selalu menumpuk-numpuk makanannya, karena lebah mengolah makanan itu menjadi lebih bermanfaat, apalagi buat manusia. Hasil olahannya adalah semacam lilin untuk penerangan, madu, dipergunakan untuk makanan dan minuman yang lezat, juga bisa untuk menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan sengatannyapun berguna untuk obat, bila dipergunakan secara tepat oleh manusia. Lebahpun tak akan menganggu, jika ia tak diganggu terlebih dahulu. Sarangnyapun untuk sebagian orang dipergunakan dan diolah untuk makanan lauk.

            Ternyata terdapat lebih dari 20.000 spesies lebah yang tersebar diseluruh dunia, kecuali di Artantika. Lebah juga mempunyai pembagian kerja yang sistematis. Ada lebah ratu yang fungsinya hanya bertelur saja. Untuk lebah betina yang produktif bisa menghasilkan 2000 telur dalam sehari ! luar biasa. Dan masa hidupnyapun ternyata lebih panjang dari lebah pekerja atau jantan yang hanya 3 bulan saja, Ia bisa hidup selama 3 tahun.. Lebah pekerja inipun ada yang dari kalangan lebah betina yang tak produktif, dan hebatnya lebih betina itu bisa berfungsi sebagai pembersih sarang dari barang-barang atau sesuatu yang dipandang tak berguna. Fenomena yang luarbiasa, seperti manusia saja layaknya.

            Sikap-sikap hidup dari prilaku dari hewan, kadang mewakili watak dari manusia. Ada manusia yang berbudidaya seperti semut. Suka menumpuk harta (tanpa mengolahnya), juga menumpuk ilmu tanpa dibagikan kepada orang lain juga materi tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya. Budaya semut yang “menumpuk” ini bisa disuburkan dengan budaya mumpung. Tidak sedikit masyarakat menganut budaya ini. Pemborosan juga nampak pada filosofi gaya hidup semut, bagaimana tidak, mereka menghadirkan barang-barang baru setiap harinya dan membuang barang-barang lama yang sebenarnya masih berguna. Meski sebenarnya kelompok semut adalah termasuk golongan makhluk yang rajin bekerja, patuh pada pimpinan dan tak suka hidup menyerah. Dan bila sudah bersatu akan menghasilkan karya yang sangat hebat, kadang karyanya melebihi perkiraan manusia. Mereka juga tak segan menyerang, ketika merasa terancam baik secara individu maupun kelompok.

            Namun dalam kehidupan, akan sangat lengkap dan bijak, bila kita bisa memilih lebah, sebagai cerminan bertindak manusia. Nabi Muhammad saw bahkan mngingatkan bila kaum mukmin bisa bertindak bagai lebah, sesuatu yang tidak merusak tidak pula menyakitkan dan selalu berdaya guna, memberi manfaat bagi sekitarnya. “tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan, kecuali yang bermanfaat, dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya..”

            Itulah filosofi imani yang ternyata sangat menajubkan dari serangga, terwakili dari semut,  juga lebah. Tak disangka dari ketiga jenis makhluk serangga itu, kita bisa mengambil hikmah yang terbesar untuk kehidupan manusia. Selayaknya kita manusia seharusnya lebih baik dari yang telah tersuguhkan dari mereka. Semoga hal ini menjadi inspirasi kita dalam bertindak kelak.

Sumber : “Lentera Al Qur’an” Kisah dan Hikmah Kehidupan, karangan M. Quraish Shihab. Penerbit Mizan, bandung 2008. Dan ms.wikipedia.org/wiki/lebah. Juga ms.wikipedia.org/wiki/semut