Selasa, 22 Januari 2013

SLILIT SANG TETANGGA

Siang ini aktivitas ngubek-ngubek ayam tetangga kembali terjadi.

Ayam kecil putih itu memulai aktivitas kegemarannya, masuk toko mungilku yang berada diberanda rumah, tanpa cuci kaki, apalagi memakai pampers langsung injak-injak dengan riangnya apa saja barang yang ada distu. Tanpa rasa dosa memakan beras yang kusediakan untuk para pelanggan tokoku, dan masuk dalam etalase yang berisi alat tulis, entah apa yang dipikirkannya.

Bukan cuma sekali, dua, tapi sudah mencapai angka puluhan kali, sehari bisa sampai lima kali, uuuh melebihi dosis aturan minum obat! pernah suatu kali kuikat kakinya dengan seutas tali, setelah jengkelku memuncak. Anak perempuan bungsuku menghiba; "Ibu, jangan diikat ayamnya kasihan,.."katanya dengan mimik yang sendu dan sangat serius. Aku kaget, merasa tak enak hati, dan merasa bagai seorang ibu yang kejam pada binatang. kutanya hati-hati kepadanya, :"trus harus diapakan ayam kecil nan nyebelin ini nak,..?" jawabnya lantang :"ya disembelih to bu,.." huwalah sama saja itu namanya nduk,..

Ayam putih kecil itu "rumahnya" tak terlalu jauh dari rumah kami, cuma beberapa meter saja, maklum tetangga dekat, dan rumah kami berbentuk kopel, jadi apapun yang terjadi di "sebelah". misalnya, ayam yang jalan-jalan tanpa diberi nasehat oleh pemiliknya, ya tentu saja bisa kemana-mana, juga dengan bebas tanpa banyak birokrasi yang berbelit langsung kerumah dan toko mungilku yang penuh dengan aneka barang, juga makanan kesukaannya; beras. Bukan cuma itu saja bila sudah nyaman di situ, Ia akan meninggalkan tokoku ini setelah ku uber-uber dengan sedikit tanda mata: kotorannya. Grrrrrhh,..bila ada yang jual yang namanya sabar, tiap hari Aku akan nyanggong di warungnya, kuborong semua kesabaran itu untuk persediaan hari berikutnya..

Pemilik ayam itu, hanya adem ayem saja lihat kekesalku tentang ayamnya. Cuma komentar pendek; "wow masuk toko ya,..mbok ya ditutup itu pintunya biar ayam ndak masuk,.."
Sebuah advis tak masuk akal, orang jualan kok disuruh nutup pintunya, trus lihat ada pembeli atau tidak terlihat darimana? lha wong ayamnya bisa terbang dan nerobos sesukanya, bisa lewat depan, samping dan entahlah darimana lagi Ia mau. Disini suruh menghadang ayam masuk, sedang Ia enak-enak saja dirumah dengan pintu terbuka lebar.

Akupun tercenung, ada apa dengan tetanggaku ini?. Seorang umat yang tergolong papa, kurang mampu dengan 8 anak, tanpa pekerjaan yang tentu, tak ada semangat "bertarung bak prajurit" laiknya laki-laki yang notabene nahkodanya keluarga, seolah menempatkan kata Qona'ah dalam porsi yang salah. Sepertinya "miskin" itu adalah takdir. Meski Ia tergolong hamba yang rajin beribadah ke Masjid, juga keluarganya, Namun "Miskin" itu tetaplah lekat padanya. "Miskin tepa-selira" - maksudnya miskin mengasah perasaannya pada tetangga atau orang lain, selain juga tak berkecukupan dari arti yang sesungguhnya.

Tapi, tahukah Ia, mungkin salah satu ke-engganan si Pemilik langit dan Bumi menurunkan buliran rejeki kepadanya, adalah tak punya tepa-selira pada tetangganya? kemarahan, kejengkelan dan berjuta rasa yang mengendap pada orang lain, tetangganya ditanggapi dengan enteng, tanpa beban, padahal suer, darah tinggiku bisa naik beberapa strip beberapa hari ini. Aku khawatir suatu saat Ia akan mengadapi saat-saat bak "slilit sang Kyai-nya" Emha Ainun Najib, dibukunya yang cukup menghebohkan saat itu. Dimana diceritakan seorang Kyai yang sholeh, tiba-tiba tertolak masuk surga, gara-gara ada hal kecil sebagai pengganjalnya. Ya, Kyai ini ketika didunia, menyepelekan satu hal : ridho-nya tetangga, walau hal yang terlihat sangat remeh. Kyai ini mengambil sedikit potongan bambu di pagar milik tetangganya untuk membersihkan kotoran gigi (slilit) yang menempel erat, ketika Ia tak temukan tusuk gigi dirumahnya. Kyai ini tak minta izin mengambil potongan bambu ini, karena sungguh tak mengira bahwa hal sepele membuatnya tertunda tuk masuk surga.

Hal ini juga mungkin akan terjadi pada siapa saja,bila tak pernah mengasah hati dan selalu menyepelekan hak kecil. Juga menganggap enteng ketika bongkahan hati lain terluka, mengendap marah dengan alih-alih, "lha ini sudah jadi watakku je,..suka atau tidak mau ataupun enggan, beginilah aku.." Memangnya Surga nan Agung itu bisa terima saja alasan pembenar kengawuran kita? Titian serambut dibelah tujuh itu akan kuat kita lewati menuju sirathal mustaqim, dengan buncahan kesombongan, keangkuhan dan tamakan hati seorang hamba? Makanya hati-hati agar perjalanan masuk surga tak terhambat dengan "slilit"nya kita. Bisa jadi juga, slilit ini menyulitkan Kita saat masih didunia, seperti  kesehatan kita tak kunjung membaik, rejeki sangat sulit didapat ataupun komunikasi dengan orang lain tak pernah akur dan rukun. Untuk itu, mulai saat ini belajar hati-hati menghadapi kehidupan. Carilah Ridho Allah, Ridho suami, anak, orangtua, oranglain juga tetangga sebanyak-banyaknya. Karena itu mungkin akan menyelamatan kehidupan kita diakherat nanti. Dan semoga Slilit sang tetangga ini tak akan menimpa kita,..Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar