Rabu, 16 September 2015

AKHIR EPISODE DHINI

“Dhinii…” Panggil lelaki yang tengah berdiri disebelahku . Aku mendongak sebentar, kaget,lalu dengan gugup kulanjutkan pekerjaanku menekan-nekan tuts laptop asal saja. Guncangan kereta api “Sriwedari” jurusan Solo-Yogya beruntun amat terasa, seguncang hatiku pada titik nadir.
“Ini Dhini khan?”, Lelaki itu terlihat sangat kepo, mendesak sangat, kemudian duduk disampingku. Aku mulai jengah. Menatap sebentar, lalu kembali menatap layar laptop, walau hanya acting. Sok sibuk, sok tak butuh. Akhirnya kuberanikan diri menjawab dengan penekanan kuat.
“Saya bukan Dhini, Anda salah orang!” Terkesiap lelaki itu, tak mengira jawabanku seperti itu.
“Tak salah lagi, ini Dhini. Apa kabar?,  Sama sekali tak menduga bisa bertemu didalam kereta api, duduk berdekatan lagi. Oh My God. Mimpi apa aku semalam.. Yogya-nya mau ke daerah mana? Wah kalau bisa sejalur kita bisa bersama-sama lagi nih, asyeeek..” Lelaki itu nerocos terlihat sangat girang.
 Aku sudah tak tahan lagi, ingin menumpahkan kekesalan hati yang  terpendam selama dua tahun ini. Lelaki didepanku sepertinya  bukan manusia, tapi uka-uka, hantu yang bergentayangan, yang tak pernah buat nyaman rasa.
“Anda siapa? Saya bukan Dhini, dan tak pernah kenal siapa Dhini. Saya tak pernah berjumpa denganmu. Jangan ganggu saya dengan pertanyaan-pertanyaanmu yang absurd!” kata-kataku terlihat juthek. Lelaki itu terlihat speechless. Mulutnya terlihat membola, matanya terbeliak.
Seorang wanita tua dan lelaki berdasi yang duduk berhadapan dengan kami yang dari tadi terdiam,  sampai memperhatikan kami, mungkin karena meningginya  ucapanku. Tapi aku sudah tak peduli. Jika mungkin aku malah mau berteriak, biar satu gerbong dengar.
Kemudian sunyi. Suara decit roda kereta beradu dengan rel saja yang akhirnya terdengar. Kulayangkan pandangan keluar jendela. Masjid Agung “Al Muttaqun” Prambanan terlihat jelas, namun entah kenapa kubah emasnya berubah abu-abu, seolah ikut rasakan perih yang kupendam sejak lama. Jika bisa, akan kutampar lelaki didekatku untuk menyadarkan apa yang dilakukannya selama ini .
Bayangkan, dengan seenaknya  melambungkan rasa ini keawang-awang dengan rayuan mautnya,  hingga aku sampai pisah dengan kekasih setiaku hanya terbuai lelaki ini yang berprofesi sebagai  seorang editor beranak dua ini , kemudian mengenggelamkanku ketempat dasar, sepi dan gelap. Sama sekali tak menjawab WA-ku, Inbox, email bahkan menutup telpon setiap aku mencoba menghubunginya. Lost contact, selama tiga bulan, dan tiba-tiba ada didekatku?
 Tapi mengapa ia seolah tak mengenal wajahku dengan baik? Sebenarnya  bukan hal yang aneh, meski berhubungan selama dua tahun, itu hanya sebatas dunia maya—tak nyata, hanya sekali bertemu itu saja dalam kejauhan, karena ada komitmen tak mendekat. Karena dia punya keluarga dan saya menghormatinya, Itupun sudah menghabiskan hati!
            Lelaki itu tergelepar, sorot matanya tajam tetap menatapku walau ku tak bergeming dengan tetap sibuk dengan laptop. Ia seolah kalah telak. Aku dulu yang begitu menghiba-hiba untuk disapa, tiba-tiba menjelma bak singa betina yang marah. Uka-uka itu ternyata tak tahu aku sebenarnya.
            “Dhini ternyata kau cantik sekali”, Bisiknya mendekat di telingaku. Baru tahu. Baru tahu? Apakah matanya hanya untuk hiasan selama ini, bukan untuk melihatku? Janji untuk melamarku dan menceraikan istrinya itu kemana? Sisa cinta itu tak ada. Hanya sisa kebodohan yang kusesali seumur hidup. Bodoh,..bodoh..stupid..stupid..
            Turun dari kereta dengan buru-buru. Menghindar pertanyaannya,  ogah didekatinya. Entah kenapa rasa sakit hati ini begitu membuncah. Sambil berlari kuseberangi rel tanpa mempedulikan teriakannya.  Tak peduli juga kumelangkah dijalur yang salah, bukan untuk penumpang.  Sekali lagi kudengar teriakannya, kali ini lebih keras seperti petir.
            “Dhiniii,..jangan lewat situuuuu”
            Mengapa saya harus patuh padanya? Seperti kepatuhan untuk tetap bertahan dan meninggalkan segalanya dengan cinta palsu darinya?. Otakku penuh dengan luka. Sekejab kemudian telingaku gantian bergemuruh, dan rel kupijak tiba-tiba bergetar hebat. Sedetik kemudian  hanya terlihat lampu sorot kereta api yang menyilaukan mata, dan teriakan bukan hanya dari lelaki itu, tapi seluruh penumpang yang berjejer ditepi rel membahana, setelah itu gelap. Ringan.
Tak ada lagi sakit hati, tak ada benci. Sebelum Kereta api “Argo Lawu” menyambarku,  sebelum ujung lokomotif menyentuhku, sepertinya terdengar penjelasan lirih dari lelaki itu yang entah darimana datangnya..
“Dhini aku sebenarnya sangat mencintaimu, bahkan  sudah menceraikan istriku. Tapi tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengaku kekasihmu datang kerumah dengan sebilah parang. Ia mencengkeram anakku yang paling besar yang ada dalam pengasuhanku. Katanya, jika ingin anakku selamat, jangan dekati kamu. Maafkan aku, Dhini karena harus memilih. Dan kau tahu apa pilihanku?Tentu aku pilih Anakku, walau pernikahanku yang lalu sudah kugadaikan demi kamu, dan sebenarnya hari ini aku beranikan diri menyapamu di email tapi tak kau jawab…”
Meleleh, bersama darah yang membasahi seluruh tubuhku. Hangat, setelah tahu, lelaki itu ternyata sangat mencintaiku. Terlambat, karena kebenaran itu harus kutebus dengan nyawaku..


 IIDN SOLO TIADA HENTI BERPRESTASI


2 komentar: