Jumat, 11 September 2015

AJAL YANG SEMPURNA: HATI-HATI MENGHUKUMI ORANG DENGAN SU’UL KHATIMAH


 

Saya iri, saat melihat atau mendengar seseorang wafat dalam sebentuk kematian yang saya sukai: mendekap Al Qu’an, sedang melakukan shalat, julurkan tangan  bersedekah, memberi tausiyah atau sedang mengimani jamaah, atau sebentuk fisikal jika ia orang yang bakal diterima jasad dan ruhnya Sungguh iri,..sepertinya kematian seperti itu langsung saja naik ke langit ketujuh, diiringi senyum dalam wajahnya, khusnul khatimah.
Namun tiba-tiba saya tersentak, suatu saat mendengar berita; seseorang meninggal dalam musibah letusan sang gunung, dalam posisi tersujud! Sebenarnya posisi itu adalah sebentuk fisik, selayaknya orang khusnul khatimah (seperti pikiran saya sebelumnya); padahal beberapa saat sebelum kematiannya ia tetap menjalankan keagamaannya namun berpadu dengan kesyirikannya sungguh perpaduan yang tak manis, jauhkan dari jannah-Nya.
Saya langung men-set ulang pemikiran terhadap posisi, sebentuk kematian yang khusnul khatimah itu; apa sudah benar pemikiranku selama ini? Ternyata tanda-tanda kematian sempurnapun tak sedangkal pemikiran saya, masih seabrek. Mati dalam musibah terbakar, tenggelam, tanah longsor, menegakkan Asma Allah, pertahankan diri dari perampok, dalam keadaan kena sakit mewabah, mati menyebut AsmaNya juga dalam keadaan dahi masih berkeringat, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Banyak sedikit pelayat; sungguh tak jadi ukuran. Karena ada seorang sahabat Rasul yang mati dalam kesunyian, di belantara gurun sahara, tanpa ditemani sanak saudara, bukan dikasur yang empuk dan mungkin dalam keadaan tak tersenyum. Bahkan ia harus ditemukan jasadnya oleh sahabat yang lain, tanpa banyak cakap, apalagi upacara.
Bagaimana dengan kematian badan bersih rapih? Oww bukan jadi jaminan ia dipanggil dalam khusnul khatimah. Beberapa sahabat Rasul, malah mati dalam keadaan tak lengkap pakaiannya karena tercabik-cabik pedang musuh, bahkan dalam keadaan usus terburai! Dan wajah yang susah dikenali,..
Kematian yang indah, kematian yang sempurna adalah rahasiaNya, bila kita dapati seorang meninggal dalam keadaan terbunuh, terbakar, tersia-sia, belum tentu ia mati dalam keadaan yang tak diterima, karena  tak adil bila kita harus diskripsikan “sebentuk indah” dalam kematian itu. Saya teringat dua tahun yang lalu saat saya melayat seorang teman yang suaminya meninggal dalam keadaan kaku, terpeleset air menggenang dekat kulkas, dengan posisi tangan yang menjulur diatas kepalanya, dan harus butuhkan setengah hari sampai ditemukan keluarganya. Istrinya terisak saat temui keadaannya yang demikian; tak meninggal pada dipembaringan yang nyaman, ditemani keluarga dan dalam keadaan tersenyum. Dalam mulutnya terlontar penyesalan yang luar biasa: takut posisi yang demikian suaminya tak khusnul khatimah dalam menghadapNya.
Bagaimana buat orang yang “berjihad” menurut diskripsinya sendiri? Hati-hati sungguh dengannya. Saya malah kasihan kepada orang yang ter dogma oleh pemahaman salah terhadap jihad yang agung milikNya., kasihan saat dangkal cara berpikirnya tak menghasilkan apa-apa, sedang para Malaikat siap dengan pertanyaan yang sudutkannya: kenapa kau sia-sia kehidupan? Menginginkan surgaNya padahal dapatkan kerak neraka?
Kemudian apa yang bisa kita capai mencapai khusnul khatimah? Menanti saat tua tiba, setelah sakit sekian lama? Kenapa harus menunggu sampai uzur menanti untuk persiapan kematian yang sempurna itu. Perbaiki dari sekarang apa yang masih kurang, tambahi amal perbuatan bila itu masih minim, benahi mulai hari pola pikir kita, ibadah kita yang masih amburadul. Stop melukai dan menyakiti orang lain demi materi dan  Isi segenap kehidupan kita dengan hal-hal berguna dan manfaat.
Sediakan jawaban cerdas, saat malaikat izrail datang menghampiri: agar tak tergagap dan mencari-cari alasan serta ngeles untuk bilang tak siap menerima hadirnya, apalagi menyesal kenapa tak rencanakan dengan matang masalah  khusnul khatimah saat tubuh masih tegap dan otak masih bisa berpikir dengan jernih. Memang masalah kematian yang sempurna, kematian yang indah itu wilayah hak prerogratifNya, namun perkara memohon: juga hak kita. Untuk itu pergunakan hak dengan sebaik-baiknya sembari berusaha dan berharap kita dalam barisan orang-orang yang dicintaiNya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar