Jumat, 11 September 2015

4 KIAT MENGUBAH DERITA MENJADI KEKUATAN


Sedih, galau dan berduka adalah beberapa kata untuk menunjukkan betapa rapuhnya sebenarnya manusia itu  pada titik tertentu. Sejak manusia dihadirkan kemuka bumi, kesedihan, malapetaka dan derita seolah sudah menjadi teman akrab yang senantiasa mengikuti kehidupan manusia. Dan jika manusia itu senantiasa berkeluh kesah lupa dengan Ayat-ayatNya, maka tak ayal lagi apapun dari masalah yang hinggap akan ditanggapi dengan keluh kesah dan penderitaan tiada akhir.
Sahabat Ummi, ada beberapa kiat positif yang bisa dilakukan seseorang saat berkeinginan mengubah derita yang dialaminya menjadi kekuatan, agar tidak menjadi rapuh, diantaranya dengan cara:
1.      Selalu Berbaik Sangka kepada Allah
Bila derita silih berganti mendatangi. Jangan sampai kita berburuk sangka kepada Allah dan merasa bahwa Allah tak sayang lagi pada hamba-Nya. Semua ujian itu merupakan proses seseorang yang diuji pada hal dan keadaan lebih baik lagi. Kebahagiaan berlipat akan didapatkan setelah seorang hamba lulus dalam menjalani rangkaian skenario Tuhan. Sesungguhnya apabila Allah memberi suatu musibah, sebenarnya Dia mencintai hamba-Nya.
“(Maka) jika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, (Aku adalah) penglihatannya yang digunakan untuk melihat, (Aku adalah) tangannya yang digunakan untuk berbuat, (Aku adalah) kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan jika dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya.” (HR. Bukhari)
Dengan berbaik sangka kepada Allah dan mencintai-Nya, Insya Allah Dia akan membalas segala amal baik hamba dengan balasan setimpal, langsung di dunia, akhirat, atau keduanya.
2.      Mengubah sudut pandang
Memang, hal ini tak mudah bila seseorang memiliki pemikiran yang pakem terhadap suatu hal. Apalagi mengubah image derita yang erat dengan kesedihan menjadi hal yang sudah menjadi kehendak-Nya lalu mengubahnya menjadi kekuatan. Padahal penderitaan selalu erat dengan keterpurukan. Itulah tantangannya, bila kita tak bisa mengubah sudut pandang secara revolusioner, tentu kita bisa mulai mencoba secara evolusi, perlahan-lahan. Hal yang paling mungkin adalah keinginan kuat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan memasrahkan seluruh kehidupan.
Mengubah sudut pandang bisa dengan belajar mengambil hikmah dari pengalaman kehidupan. Orang bijak dan cerdas selalu ingin tak mau terjebak dalam kesalahan yang sama, dan selalu menjadikan kemalangan masa lalu sebagai “guru terbaik” dari kehidupan
Ternyata dengan mengubah sudut pandang, derita hanya persoalan waktu saja yang silih berganti datang, jadi bukanlah suatu yang patut diratapi tanpa henti, namun harus dihadapi.  Menukarnya dengan kekuatan dan berbaik sangka pada Allah adalah kata kunci yang terbaik dalam kehidupan.
3.      Menanti kebahagiaan
Jika seorang hamba dirundung duka, sebaiknya dia posisikan dalam beberapa keadaan. Yakni jika ia dalam keadaan sabar dalam menghadapinya, maka berharap Allah akan beri jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi atau memberikan upah atas kesabaran dan keikhlasannya dengan pahala.
Bila tak jua bertemu solusi terbaik dari kemalangan yang dihadapi, maka harapan untuk balasan di akhirat pun tetap diharapkan saat kita sudah ikhlas dan sabar menjalani pemberian-Nya.
Allah swt. Mahalembut terhadap semua hamba-Nya. Salah satu bukti kelembutan-Nya adalah ditempatkannya seorang hamba pada berbagai ujian. Kemudian memasukkan ke dalam hati seorang hamba  rasa gembira dan rida terhadap ketetapan-Nya serta yakin terhadap pahala dan balasan di sisi-Nya.
Menanti kebahagiaan memang harus selalu ditananamkan. Apa yang kita lakukan saat sabar bukanlah suatu yang sia-sia. Ada tujuan akhir dan itu suatu yang pasti, yakni pahala Allah dan insya Allah merasakan nikmatnya surga.
4.      Anggap ringan ujian Allah
Caranya tentu dengan berupaya tidak selalu memandang ujian yang menimpanya sebagai ujian berat yang ditimpakan Allah kepadanya. Selalu pasang mata bahwa kejadian di sekitar, dibelahan dunia yang lain, atau bahkan orang-orang terdahulu pada masa Rasulullah saw., jauh lebih berat berlipat-lipat kali dari yang dialami.
Rasulullah saw. pernah mengalami masa sedih yang berkepanjangan. Satu per satu penopang jiwanya yang selalu membela di garis terdepan pada masa awal dakwah telah pergi. Khadijah, istri yang sangat dicintainya. Abu Thalib, paman yang sangat disayanginya. Belum lagi tekanan kaum musyirikin yang selalu tak henti. Terlebih umat Rasulullah saw. yang kala itu masih sedikit.
Penderitaan tersebut membuat Allah menurunkan beberapa surah untuk menghiburnya, di antaranya surah Al-Insyiraah, Adh-Dhuhaa, dan juga surah Yaasiin. Semua surah tersebut turun sebagai penguat Rasulullah saw. dan umatnya untuk tidak putus asa dengan segala sesuatu yang menimpa mereka. Keyakinan dan ketakwaan tinggi dari kaum muslimin saat itu sangat teruji. Bagaimana tidak, segala sesuatu masih absurd, belum tampak masa depan Agama samawi ini akan menolong mereka di akhirat kelak.
Keteguhan hati Rasulullah saw. dan umatnya kala itu, Allah hadiahi dengan berbagai kabar gembira. Kemenangan demi kemenangan Islam yang diraih dalam jangka waktu lama, semakin meneguhkan keimanan umat Islam bahwa mereka punya tujuan pasti untuk cita-cita kehidupan menuju akhirat dan jannah-Nya.
Ujian kita sekarang ini jadi terlihat kecil dibanding umat terdahulu. Untuk itu, mengapa kita harus berkeluh kesah dan terpuruk dalam watu yang lama? Sedang Rasulullah saw. dan umatnya dengan ujian seberat itu, mereka berdiri tegak dan selalu siap menghadapi derita dengan mengubahnya menjadi kekuatan untuk hidup yang lebih baik lagi.
Referensi:

Al-Mishri Mahmud. 2010. Selamat Tinggal Kesedihan. Solo: Pustaka Arafah.
Candra Nila Murti Dewojati, Ayat-ayat Tolak Derita, GPU, Jakarta 2013
Tulisan ini sudah saya share di Ummi Online









Tidak ada komentar:

Posting Komentar