Rabu, 21 Oktober 2015

NIFAS DALAM ISLAM YANG WAJIB DIKETAHUI MUSLIMAH


Sahabat ummi, beberapa orang bertanya mengenai nifas, dikarenakan sebenarnya pengetahuan mereka mengenai hal ini yang dihubungan dengan fikih Islam memang terbatas. Apa sebenarnya nifas itu?  Nifas menurut Syaikh ibnu Utsaimin adalah Darah nifas adalah darah yang keluar dari rahim setelah kondisi melahirkan, atau sesudahnya bisa juga  sebelumnya sekitar dua hari atau tiga hari sebelum melahirkan yang keluar disertai rasa sakit.
Lalu, bagaimana hukumnya wanita dalam kondisi nifas? Jika darah nifas berhenti sebelum 40 hari (setelah melahirkan), dan setelah itu tidak keluar lagi. Hukumnya kapan saja darah nifas itu berhenti, maka ia wajib mandi, shalat dan berpuasa .
Namun, apabila terseling, sebelum 40 hari terhenti dan keluar lagi sebelum 40 hari, maka hukumnya saat wanita melihat terhentinya darah nifas, maka ia wajib mandi, shalat dan puasa. Namun jika sempurna 40 hari masa nifasnya, maka selama hari itu tidak wajib puasa, shalat dan hal ini dilakukan setelah mandi besar sesaat darah  nifas berhenti.
Nifas yang terseling ini terkadang membuat wanita ragu, apakah dihukumi sebagai darah haid, atau darah istihadah? Hal ini bisa dipahami sebagai berikut:
-          Pertama, apabila keluarnya itu bertepatan dengan masa kebiasaan haid (tanggal yang teratur), maka saat darah itu keluar, ia tidak boleh puasa dan shalat.
-          Kedua, jika masa keluarnya tidak bertepatan dengan kebiasaan haid setelah 40 hari itu, maka bukan dihukumi sebagai darah haid (tapi istihadah), dan wanita yang mengalaminyawajib mandi serta tetap jalankan shalat dan puasa.
Ada pertanyaan menggelitik, saat wanita dalam kondisi bedah Caesar, hukum nifasnya bagaimana? Dan inilah jawabannya:
Menurut keterangan Al-Lajnah as-Daimah, hukum bagi wanita seusai bedah Caesar, maka hukumnya  sama dengan wanita yang mengalami nifas karena persalinan normal. Jika melihat keluarnya darah dari kemaluannya, maka ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Apabila tak melihat lagi keluarnya darah, maka ia harus mandi, shalat dan puasa seperti halnya wanita-wanita suci lainnya.
            Keraguan wanita akam muncul setelah mengetahui darah yang keluar berubah dari merah kekuning-kuningan atau bahkan cokelat. Bagaimana fikih wanita menghukumi ini?
Menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, tidak ada ketentuan mengenai warna darah wanita setelah nifas, apakah merah, kuning atau keruh, jika masih keluar pada waktu 40 hari, maka tetap dihukumi darah nifas, sebelum benar-benar bersih. Sedang darah yang keluar setelahnya, jika darah biasa tak diselingi dengan berhenti maka darah itu darah nifas, jika selainnya maka dihukumi darah istihadhah.
Al-Lajnah ad-Da’imah menyatakan bila  ragu dengan cairan (lendir) yang keluar saat masa nifas, karena perubahan warnanya, hingga tanda-tanda suci tak bisa dilihat dengan jelas, maka hukum cairan itu diikutkan pada ketentuan darah nifas, sehingga wanita dalam keadaan itu tidak wajib mandi sehingga terlihat keadaan suci yang jelas.
Lalu, adakah sebenarnya batas minimal mengenai darah nifas ini? Syaikh Ibnu Baz mengatakan tidak ada batasan minimal (ayat-ayat yang menyebutkan demikian) dari wanita  yang suci dari masa nifas. Ada yang 10 hari setelah melahirkan, atau malah kurang dari itu, ataupun lebih dari itu, maka jika ia sudah kedapat bersih dan suci, maka diberlakukan kepadanya ketentuan hukum wanita dalam keadaan suci. 
Kemudian ada pertanyaan yang menggelitik, sebenarnya bolehkah wanita dalam keadaan nifas itu ditalak oleh suaminya? Ternyata Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab sebagai berikut:
“Mentalak Hukumnya tidak boleh, bahkan talak itu hukumnya terasuk talak bid’ah, sebagaimana mentalak wanita yang sedang haid.”
            Demikianlah sahabat Ummi, semoga yang disampaikan menjadi sebuah ilmu fikih wanita, hingga tak ragu-ragu memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah (shalat, puasa, membaca Al Qur’an atau talak dan sebagainya) saat wanita dalam keadaan nifas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar