Rabu, 21 Oktober 2015

APAKAH SAH MUSLIMAH SHALAT DENGAN PUNGGUNG TANGAN TERLIHAT?


            Seringkali kita ragu-ragu saat ingin menjalankan shalat dengan memakai kerudung yang kita pakai dan hanya memakai kaos kaki, jadi tidak menggunakan mukena. Saat kerudung terjulur tidak terlalu panjang, hingga punggung tangan muslimah itu terlihat saat shalat., apakah shalatnya itu sah, karena auratnya terlihat?
            Para ulama mayoritas bersepakat  dengan dalil jami’u badaniha illa al-wajha wal kaffaini (seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan), menyatakan jika batas-batas aurat seorang wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali memang wajah dan dua telapak tangan. Nah dari sini timbul pertanyaan, yang dimaksud telapak tangan itu apakah telapak tangan sebelah dalam atau luar?
            Titik terang dalam perbedaan cara pandang mengenai maksud ‘telapak tangan’ ini menjadi jelas, saat memang ada perbedaan istilah “telapak tangan”. Jika dalam bahasa Indonesia kata ‘al kaffaini’ diterjemahkan sebagai ‘telapak tangan’, sebenarnya bukan terjemahan yang tepat, karena sebenarnya yang dimaksud dengan al kaffaini adalah telapak tangan yang mencakup bagian dalam (bathinul kaff) juga bagian luar atau punggung tangan (zhahirul-kaff).
Jika menerjemahkan hanya bagian dalam saja maka kurang tepat karena ‘al kaffaini’ ini mencakup bagian dalam dan luar telapak tangan, hingga batas mulainya aurat adalah pada pergelangan  tangannya saja (ar-risghu).
            Dari sinilah sahabat ummi bisa disimpulkan jika shalat dengan terlihat punggung tangannya, ini bukan termasuk terlihat auratnya, karena punggung tangan bukan termasuk aurat, dan ini boleh untuk dilihat. Hal ini bisa diqiyaskan dengan hal demikian, saat wanita akan dilamar diperbolehkan untuk dilihat wajah dan kedua telapak tangannya, hal ini juga termasuk punggung tangan, sebab memang punggung tangan bukan termasuk aurat.
            Beberapa pendapat ulama mengenai batasan aurat wanita dalam shalat:
a.       Mazhab Hanafiyah
Mazhab ini mengatakan jika aurat wanita ini menyangkut seluruh tubuhnya kecuali bagian dalam telapak tangan dan bagian luar telapak kaki, maka shalat dengan terlihat bagian dalam tapak tangan hukumnya boleh, sebagaimana bolehnya terlihat kedua telapak kaki bagian luar hingga batas mata kaki.
b.      Mazhab Malikiyah
Ulama ini membagi aurat menjadi dua yakni mughalladzah (berat/besar) dan mukhaffafah (ringan atau kecil). Aurat yang dianggap termasuk besar batasnya antara pusat dan lutut, sedang yang ringan termasuk seluruh tubuh kecuali wajah dan dan kedua telapak tangan luar dan dalam.
Mengapa ulama Malikiyah membagi aurat dalam dua kategori? Hal ini dikaitkan dengan hukum batalnya shalat jika terbuka masing-masing jenis aurat ini. Apabila yang terbuka aurat yang sifatnya berat, maka shalatnya batal dan harus diulangi lagi dari awal, jika seandainya dia mampu menutupinya tapi ia membiarkan saja.
Bagaimana jika yang terbuka aurat yang sifatnya ringan atau kecil? Maka shalatnya tidak  tidak batal, meskipun membiarkannya hukumnya menjadi haram atau makruh. Hukumnya jika aurat yang ini terbuka maka tidak harus mengulang shalat, hukumnya sebatas mustahab (dianjurkan) untuk mengulangi shalat seandainya waktunya masih tersisa.
c.       Mazhab Asy-Syafi’i
Batas aurat wanita menurut mazhab ini adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik dibagian dalam dan luar. Maka saat shalat terlihat wajah dan kedua telapak tangan dalam ataupun punggung tangan hukumnya adalah boleh, karena menurut mazhab ini bukan merupakan aurat.
d.      Mazhab Hanbali
Ulama pada mazhab ini memiliki pemikiran yang berbeda jika batas aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali hanya wajahnya saja. Sedang mengenai kedua telapak tangan baik itu bagian dalam atau punggung tangan, pada mazhab ini merupakan aurat dan wajib ditutup, jika terlihat maka shalatnya tidak sah.


                Demikian sahabat Ummi, perdebatan mengenai apakah punggung tangan yang terlihat itu dapat membatalkan shalat atau tidak, atau membuat shalatnya sah atau tidak, tergantung kemantapan masing-masing pribadi dalam menyikapinya. Beberapa ulama dan mazhab sudah berpendapat, maka lakukan apa yang diyakini dan janganlah bertaqlid buta, yakni mengikuti tanpa tahu dasarnya. Dan janganlah langsung ‘menghakimi’ keyakinan seseorang yang berbeda keyakinan mengenai hal ini, karena hanya Allah sajalah yang paling mengetahui mana yang paling benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar