Sahabat Ummi,
ada curhatan seorang teman mengenai masalah rumahtangga adiknya yang seolah
diujung tanduk . Sang suami bukan tipikal seorang lelaki yang tahan banting
menghadapi kehidupan terutama untuk kewajibannya memberi nafkah kepada anak
istrinya, padahal hal tersebut merupakan
hal yang paling urgent dalam kehidupan sehari-hari.
Memang seperti
ini menjadi dilema para istri, apalagi dlam pernikahan mereka sudah ada buah
hati dan ini merupakan hal yang terberat untuk memutuskan akan diteruskan tidak
ikatan pernikahan mereka. Dan sedihnya, hal ini bukan hanya kisah tunggal,
maksudnya banyak sami-suami berbuat serupa.
Pertanggungjawaban untuk memberi nafkah yang
selayaknya tak terlalu digubris, para suami yang ‘tak menyenangkan’ ini malah
asyek dengan hobinya yang tak ketahuan juntrungnya, bersikap loyo tak
bersemangat mengejar rezeki Allah yang baik, bahkan lelaki pemalas ini malah
banyak ongkang-ongkang dengan teman-temannya. Hal ini juga diperparah dengan
menggantungkan istri, saat istrinya punya pekerjaan. Dunia yang terbalik.
Selayaknya
rumahtangga dibangun atas dasar pemenuhan hak-hak dan kewajiban suami-istri
agar menjadi rumahtangga yang sakinah mawaddah warohmah dan inilah yang
menjadikan idaman setiap keluarga. Dan ingat memberi nafkah lahir batin itu
bukan hanya sekedarnya tapi sudah menjadi kewajiban suami, sementara istri
punya kewajiban untuk taat kepada suami.
Allah Ta’ala berfirman, “...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS Al Baqarah: 233). Rasulullah saw juga bersabda, “Kewajiban kalian (suami) atas mereka (istri) memberikan makanan dan pakaian dengan baik.”
Nah apabila suami ‘ingkar’ untuk
memberikan kewajibannya dengan baik pada keluarganya, maka apa yang mesti
dilakukan? Bolehkan istri menuntut bercerai pada suaminya kepengadilan Agama. Jawabannya
boleh. Gugatan ke Pengadilan Agama disebut tafriq qadha’i (perceraian
melalui pengadilan agama). Hal ini sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq
yang dibacakan atau diikrarkan oleh suami saat akad nikah berlangsung.
Dalam ucapan ikrar itu terdapat
poin-poin yang harus dipahami oleh suami istri saat menjalani kehidupan
berumahtangga yakni apabila seorang suami:
- Meninggalkan istri selama dua
tahun berturut-turut.
- Atau tidak memberi nafkah wajib
kepadanya selama tiga bulan lamanya.
- Atau menyakiti badan/jasmani
istri.
- Atau membiarkan (tidak
memedulikan) istri selama enam bulan.
Jika
suami melakukan salah satu dari keempat poin tersebut dan istri tidak ridha,
maka istri dapat
mengadukannya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduannya bisa dibenarkan
serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri membayar uang
pengganti atau ‘iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan
dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya. Begitulah bunyi shighat
ta’liq. Dan ini bukan hanya saja tertera di buku nikah, namun bisa menjadi
acuan bagi istri untuk bisa mencari keadilannya jika suami tidak memberikan nafkah yang seharusnya ia
terima selama 3 bulan berturut-turut atau bahkan bertahun-tahun.
Maka untuk para suami,
jangan lalaikan kewajiban pokok untuk menafkahi anak istri dan memberikannya
secara patut, jangan pelit pada mereka jika sebenarnya bisa memberikan uang
lebih dari yang diberi saat keadaan sangat membutuhkan. Kehidupan rumahtangga
yang beragam ini jangan dijadikan duri dalam daging yang membuat istri selalu
tertekan untuk membicarakan atau melakukan suatu upaya hukum ke pengadilan
Agama, saat suami sudah tidak memperdulikan lagi keadaan istri dan keluarga.
Referensi: berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar