Sahabat Ummi, dalam perkara berhias,
semakin hari selalu ada saja yang ingin dipercantik wanita. Mulai dari ujung
rambut sampai ujung kuku. Namun tak semua aktivitas berhias para wanita
diperbolehkan dalam Islam, alias haram. Salah satunya adalah mencabut bulu alis
atau menipiskan bulu alis.
Mengapa para wanita tak pernah puas
dengan pemberian Allah ini? Dengan mencabut atau menipiskan, malah terkadang
menjadi malapetaka sendiri jika wanita mengetahuinya. Selain tidak
diperbolehkan, dalam segi kesehatanpun bisa mengalami masalah.
Lalu sebenarnya apa hukum para
wanita yang mencabut bulu alis dan membuangnya serta merta diganti dengan bulu
alis buatan yang berwarna? Hukumnya adalah haram karena termasuk mengubah
ciptaan Allah.
Khalid al Husain menyebutkan ketidak
bolehan ini termasuk digunting atau dicukur alis mata ini karena termasuk
‘namsh’ (mencabut bulu) yang dilaknat Rasulullah bagi yang melakukannya dan
termasuk perbuatan dosa. Ingat ya sahabat Ummi, hal ini adalah perbuatan yang
terlaknat.
Bagaimana dengan mencabut bulu
tangan, betis atau kumis dan jenggot bagi wanita, karena ada pula sebagian
kecil wanita yang tumbuh bulu di atas bibirnya? Jawabannya adalah boleh.
Salah satu kajian kedokteran
menyebutkan mencabut atau menghilangkan bulu alis dan kemudian menggambarnya
dengan pensil atau make up kulit bisa menimbulkan dampak yang buruk, karena
bahan-bahan itu bisa berbahaya bagi kulit alis.
Lalu, jika hanya mewarnai bulu alis
mata, bagaimana hukumnya? Syaikh Ibnu Jibrin melarangnya, namun Syaikh Ibnu
Mani’ membolehkannya. Apabila wanita hanya ingin merapikannya, dengan memotong
sedikit yang menganggu? Maka jawabannya boleh.
Pertanyaan yang cukup menggelitik
menyebutkan, jika wanita ingin menipiskan bulu alisas karena merasa terlalu
tebal hanya sebagai hiasan untuk suaminya, bukan niatan memamerkan untuk orang
lain apakah hal tersebut diperkenankan? Ternyata jawabannya tidak boleh, karena
hal itu tetap dianggap namsh dan Rasulullah melaknatnya.
Maka berhati-hatinya para wanita
saat ingin memutuskan berhias, walaupun hanya untuk kepentingan suami saja,
fikih wanita memang harus dipahami agar wanita yang ingin cantik malah tersesat
dalam lembah dosa.
Referensi:
-Khalid
al-Husain, Fikih Wanita, Darul Haq, Jakarta, 2011
-Candra
Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghirah, Jakarta, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar