Jumat, 31 Oktober 2014

MENUNGGU PATIH GAJAHMADA REINKARNASI KEMBALI


            Tinggal selangkah lagi Indonesia akan memiliki pemimpin baru. Pesta Demokrasi sudah ditabuh. Semua kader, simpatisan, Calon Legislatif, Para petinggi negeri ini sudah bersiap-siap keluarkan semua jurus saktinya. Seperti biasa; penuh janji bombastis, terkadang tidak realistis, kurang menggigit, terlalu normatif, jauh dari inovatif dan satu lagi mulai halalkan segala cara agar menang.
            Psywar, perang urat syaraf dimedia masa sudah tidak terbendung lagi, terkadang malah bersikap tidak apresiatif, menggulung lawan dengan data-data palsu atau bersikap melebih-lebihkan, hingga membuat masyarakat awam muak, apalagi lewat facebook, twiteer yang penggunanya berupaya mempengaruhi pengguna lain dengan cara-cara kurang santun.
 Lalu, sebagian besar masyarakat dalam berbagai kelas bertanya seragam; masih adakah calon pemimpin negeri yang bisa dipercaya untuk menggiring negara besar ini nan multidimensional, multicultural dan multi kepentingan ini ketempat yang lebih baik? Negara yang bermoral dan bermartabat tinggi, sukses memberdayakan seluruh asset didalamnya hanya untuk kesejahteraan rakyat tanpa tergesek oleh berbagai kepentingan pribadi atau golongan?
Pemimpin yang bisa kembalikan lagi kejayaaan seperti masa lalu, jaman kerajaan Majapahit, atau paling tidak pernah mendapat julukan sebagai macan Asia, bukan macan ompong seperti sekarang ini setelah bombardir stigma buruk dan minim prestasi.
 Dicari: Pemimpin bukan Pemimpi
            Sebenarnya hakekat seorang pemimpin itu seperti apa? Apakah dia hanya seorang ala kadarnya yang mendapat dukungan dari banyak pihak? Mempunyai dana yang banyak hingga bisa membeli ‘suara’, atau ia hanya sekedar seorang dihormati oleh kelompoknya, padahal kapasitas untuk memimpin kurang memadai?
            Menurut Young (Kartono, 2003), memberikan pengertian kepemimpinan sebagai suatu bentuk dominasi yang didasari kemampuan pribadi yang akhirnya sanggup dalam mengajak atau mendorong  orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus.
            Dari pendapat ini bisa disimpulkan jika kepimpinan itu merupakan kemampuan dalam hal mempengaruhi orang lain mengenai tingkah laku bawahan atau kelompoknya, dan ia memiliki keahlian khusus dalam berbagai bidang yang diinginkan oleh kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
            Terlepas dari semua itu sebenarnya kemampuan memimpin itu bak sebuah seni seperi yang ungkap oleh Terry (Kartono, 2003) untuk bekerjasama dan membimbing orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kalimat ‘seni’ tentu akan mempunyai presepsi luas menurut penulis, dimana ia tidak kaku untuk meluapkan semua ide-idenya agar terealisai secara berkelas, mempunyai cita rasa tinggi, penuh humanis tak otoriter namun mengena pada semua kalangan. Apalagi seorang pemimpin yang berkenan untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuannya.
            Berbagai gagasan muncul untuk mencari sosok pemimpin negeri katulistiwa ini, salah satunya muncul dari rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid. Ia ingin di Indonesia akhirnya ada seorang pemimpin yang memiliki akseptabilitas dan kapasitas memadai, mempunyai pengalaman birokrasi yang baik dan jujur, tegas, berani, cepat mengambil keputusan dan tidak tersandera oleh persoalan masa lalu, memiliki sifat-sifat negarawan, mengayomo semua kalangan dan miliki kemampuan prima dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang tiada habisnya.
            Beberapa kali ganti pemimpin di negeri ini secara umum kurang memuaskan banyak pihak, seusai mereka menjalankan jabatannya. Meninggalkan banyak Pekerjaan Rumah, kemiskinan, kesemrawutan birokasi dan politik,  hutang dan masalah-masalah yang hampir tak pernah diselesaikan secara tuntas. Hingga bisa dikatakan bangsa ini menjadi krisis kepemimpinan nasional.
            Adanya krisis kepemimpinan ini dikhawatirkan bisa memunculkan chaos yang lebih besar, dan ini akan diprediksi akan meningkatkan golput dalam setiap event pemilu legislative, pemilihan presiden atau Pilkada. Meski ini tidak bisa menjadi acuan secara mutlak, namun tanda-tanda kearah itu mulai nampak menguat.
            Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang tak sekedar pandai  bermimpi terlalu mendesak untuk saat ini. Paling tidak seorang pemimpin yang transformasional, punyai kepribadian matang, kharismatik, inspiratif, partisipatif  tak cenderung pada satu partai saja saat ia berkuasa, cerdas, tegas, jauh dari nepotisme dan money politics, dan tentu pemimpin yang dikenal rakyatnya.
Kapabilitas Gajahmada yang Kredibel sebagai Pemimpin
            Setelah sekian lama mencari tokoh  yang komplit dan mendekati sempurna memimpin sebuah Negara kecil yang akhirnya menjadi luas dan menyatukan seluruh nusantara dan merupakan tokoh dalam negeri yang sangat erat dengan segala filosofinya, maka saya menjatuhkan pilihan pada tokoh panutan di negeri ini pada sosok Gajah Mada. Tokoh yang sering dilupakan saat generasi sekarang sibuk mengais-ngais contoh panutan, padahal ia figur yang mendekati sempurna.
            Paling mudah diingat: dia sosok yang tinggi, besar dan kuat. Hingga tak heran  rakyat sudah merasa nyaman dengan fisiknya, seolah  akan menghadang musuh yang akan mengintai dan merusak wilayahnya, memberi pengayoman dan perlindungan.
“Saya baru akan berhenti berpuasa makan buah palapa, jikalau nusantara sudah takluk dibawah kekuasaan Majapahit” katanya lantang. Dan itu memang dibuktikannya. Ia bahkan disejajarkan dengan para filusuf Yunani Kuno macam Aristoteles, Plato dan Socrates saat pemikirannya yang berbau filsafat mencoba ditengahkannya. Dan Semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah sumbangsihnya dalam persatukan nusantara pada masyarakat yang multi etnis, multikultural dan multi kepentingan.  
Satu pesan moral sang legenda perubahan ini yang patut dicermati, bahwa jika hidup dalam suatu perkumpulan, hanya ada dua pilihan. Jika bukan merupakan pemimpin, maka ia sejatinya seorang yang dipimpin. Pemimimpin yang ideal menurutnya  harus memiliki kapabilitas kemampuan dan pengetahuan (soul sebagai seorang pemimpin) untuk memimpin, dan berani untuk mengorbankan dirinya secara komplit, waktu, tenaga, pikiran bahkan jiwanya untuk tujuan  bersama yang dicapai, bukan sebaliknya mengorbankan anak buah, rakyatnya demi sebuah kepentingan dan tujuan pribadi atau golongannya, dan ia dapat diterima oleh semua kalangan.
Sedang menjadi  rakyat atau anggota harus loyal dan pemimpinnya, ia harus momosisikan diri untuk patuh dan taat dan ikhlas dipimpin. Ia pun harus rela berkorban juga kerja keras ntuk berjuang bersama-sama pemimpinnya untuk mewujudkan negeri yang sejahtera, dan ini sering disebut Setya Bela Bakti Prabu.
Ternyata, ada beberapa pemikiran dari Gajah Mada lain, yang bisa menjadi semacam masterpiece untuk  pemimpin harapan yang sangat layak untuk disimak, dan ditiru karena kenegarawan, kecerdasannya, loyalitasnya,  totalitasnya juga daya juangnya serta kemampuan dalam mengelola hati memang terbukti sukses membawa perubahan yang cukup signifikan bahkan drastis dalam menyejahterakan masyarakatnya.
Purwadi dalam bukunya, ‘Misteri Gajah Mada’ yang diterbitkan pada tahun 2009, atau novel sejarah dari Langit Khrena Harjadi menelaah  ternyata paling tidak ada 18 prinsip-prinsip  kepemimpinan ideal  berdimensi moral, marjinal dan spiritual yang memang harus diterapkan jika sebuah negara ingin menjadi wilayah yang makmur, aman, sentosa dan menjadi daerah yang penuh martabat karena disegani oleh bangsa lain. Ilmu kepermimpin itu adalah:
  1. Mantriwira , yakni merupakan sikap berani dalam penegakan HAM (hak asasi manusia), kebenaran dan keadilan. Sikap ini sepertinya normatif belaka, namun sayang pemimpin negeri ini hampir dikatakan sukar sekali menerapkan hal ini, apalagi pelanggaran itu dilakukan oleh kroni-kroninya.
  2. Sarjawa upasama, adalah sikap jauh dari arogan dan berupaya menjadi pemimpin yang rendah hati. Pemimpin yang bersikap tidak bersahabat dengan rakyat, dilayani bak raja, bukan menjadi ‘abdi masyarakat’, bersikap otoriter, akan sangat dibenci oleh rakyatnya.
  3. Sumantri, yakni sikap jujur, tegas, bersih dan miliki wibawa.
  4. Tan sutrisna atau tidak pilih kasih. Semua rakyat memiliki kesempatan yang sama, kedudukan yang sama, meski mereka kaum papa sekalipun, seharusnya tidak disingkirkan atau disisihkan saat harus berhadapan dengan kaum bangsawan, atau pembesar.
  5.  Nagara gineng pratijna merupakan sikap pemimpin yang penting saat ini karena ia harus mengutamakan kepentingan negera diatas semua kepentingan, yakni kepentingan pribadi, atau golongan.
  6. Masihi  samasta bhuwana yakni sikap yang dicintai seluruh rakyatnya, dihormati dan dibutuhkan.
  7. Natangguan yakni legimitasi dan kepercayaan dari masyarakat. Besar kecil legitimasi seorang pemimpin ini sangat menetukan nasib bangsanya. Apakah akan berjalan eefektif, hanya pengulangan program-program lalu yang basi . Pemimpinan seharusnya kreatif dalam meramu program yang masuk akal, cerdas dan benar-benar bisa dilaksanakan oleh seluruh elemen bangsa.
  8. Satya Bhakti Prabu adalah sikap yang setia pada negara. Setia bukan hanya berarti ia tetap berkutat dan berdiam dinegaranya, namun lebih pada dimensi yang luas.
  9.   Wagmiwag, slogan ‘diam adalah emas’ sangat dihindari untuk seorang pemimpin. Kemampuan berbicara bahkan menduduki porsi utama.
  10. Dhirotsaha merupakan sikap tekun bekerja. Seorang pemimpin diharapkan mampu bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya membentuk negara yang hebat.
  11. Dibyacitta merupakan sikap lapang dada dan mau menerima pendapat oranglain.
  12. Nayaken musuh adalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin yang mampu mengangani musuh dari dalam dan luar dirinya. Yakni hawa nafsu dan agresi dari negara lain yang akan porak porandakan negara ini.
  13.  Ambek paramartha adalah sikap seorang pemimpin yang mampu bermain dalam skala prioritas.
  14. Waspada purwartha merupakan sikap waspada dan selalu intropeksi saat melakukan perbaikan.
  15. Wijaya, berjiwa tenang, diharapkan pemimpin itu mau mententramkan segenap jiwa rakyatnya, bijaksana, tidak panik saat ada persoalan besar negara harus diselesaikan dengan cepat.
  16. Prasaja, adalah sikap pemimpin yang sangat disukai rakyat, yakni sikap yang bersahaja, tidak foya-foya. Ia akan mengajari rakyatnya untuk tidak bersikap hedonisme, menghambur-hamburkan uang rakyat untuk keperluan pribadi yang tak bermanfaat.
  17. Prajna, pemimpin diharapkan punya ilmu pengetahuan tinggi dalam bidang ilmu umum agama, sosial, tahu tentang militer dan kemasyarakatan.
  18. Handayani hanyakra purawa, seorang pemimpin harus bisa memberi semangat bagi kaum mudanya untuk berkarya lebih baik dan hebat lagi dari pada kaum sebelumnya.
Masih ada beberapa lagi wacana dari sang Gajah Mada mengenai pemimpin harapan negara itu. Ia menyampaikan ini bukan hanya sekedar pepesan kosong,namun dibuktikan dengan langkah nyata dan sukses!
            Ayo bangkitlah Indonesia, dulu kita bisa, berarti kita sekarang juga mampu. Rapatkan barisan bulatkan niat dan tekad, memilihlah dengan hati bersih dan cerdas. Memilih karena memang harus memilih, bukan karena tak ada pilihan. Dan kami semua menunggu Pemimpin harapan yang sanggup berreinkarnasi bak Maha Patih Gajah Mada..











Tidak ada komentar:

Posting Komentar