Jumat, 31 Oktober 2014

KAPABILITAS PEREMPUAN DALAM POLITIK 2014


            Amanat perempuan harus terakomodasi 30 persen dalam kepengurusan dan rekrutmen kader partai politik dalam undang-undang no.2 tahun 2011 pasal 29 ayat 1a tentang politik, memang sudah menggelitikkan para perempuan untuk terjun ke ranah panas politik 2014 mendatang. Posisi tawar menawar perempuan yang potensial dalam segala bidangpun mulai riuh terlihat. Para kader partai yang  didominasi laki-laki inipun mulai gencar mencari kader dari  perempuan sebagai ‘penggenap’ kuota, tanpa terlalu perhatikan kualitas terbaik mereka.
Mengapa perempuan harus didorong-dorong untuk berpolitik? Ternyata ada beberapa sebab yang menghalangi mereka tak tertarik dengan politik, meski isyarat dan lenggak lenggok perempuan dalam kancah politik tahun 2009 lalu sudah terlihat ramai. Namun  ternyata hanya terpenuhi 18 persen saja para perempuan duduk pada Dewan Perwakilan Rakyat dari 560 orang, sangat-sangat jauh kuota 30 persen. Padahal seperti diketahui separuh lebih penduduk Indonesia adalah perempuan. Maka perlu perhatian ekstra perempuan terwakilkan suaranya dalam berpolitik.
Undang-undang yang berpihak pada kaum perempuan dan anak-anak, ternyata masih sangat-sangat minim. Keberpihakan hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial pada  wanita dan anak masih jauh dari perhatian yang maksimal, padahal mereka adalah pihak yang rentan dan rapuh dalam banyak hal.
Alasan apa sebenarnya yang paling spesifik membuat kaum perempuan enggan berpolitik dibanding dengan laki-laki? Kebanyakan genderlah yang menjadi masalah utama. Cengkraman kuat dalam pola pikir jika seorang perempuan yang sebatas pada lingkup mengurus rumah, anak dan lingkungan saja tanpa mau berjibaku dengan para lelaki mengerahkan daya mengurus dan memikirkan dengan keras untuk kesejahteraan dan mengelola negara. Dan hal itu merupakan pekerjaan berat bagi kaum perempuan. Karena rata-rata mereka sadar panasnya suhu politik bisa menyengat  hingga melengkapi keengganan mereka dalam mendekat ke ranah politik. Karena mengira yang kuatlah untuk menanggung beban seberat itu, dan hal yang demikian itu paling cocok untuk pekerjaan lelaki.
Selain itu ternyata kebanyakan para perempuan menganggap jika nilai-nilai budaya bahkan agama merupakan hambatan terbesar buat mereka untuk berpolitik. Hal ini dikutip dari pernyataan Sri Wahyuni Ketua LSM daerah Anambas (Kepri). Disana menciptakan atau sudah terbiasa dengan kultur jika kaum laki-lakilah yang berhak dan terbiasa untuk memimpin, bukan sebaliknya. Dan pendapat kelompok demikian sukses mendikotomi pemikiran para perempuan untuk kritis menyuarakan aspirasi meraka dan nyaman terbelenggu dengan nilai-nilai budaya negative yang mereka anut.
Namun hal ini juga diperparah dengan anggota legistalif dikalangan perempuan yang sudah terpilih untuk tidak aktif menggalang, mengarahkan dan berdialog bahkan berusaha dengan aktif untuk berpihak secara kritis terhadap masalah-masalah perempuan. Mereka malah nyaman dengan planning atau draf yang di sampaikan oleh kaum laki-laki, tanpa banyak berusaha kreatif untuk temukan celah yang terbaik untuk perempuan.
Anggota DPR dari kalangan perempuan yang demikian itu jadi pertanyaan besar dari masyarakat. Jika mereka hanya mengikuti alur yang berlaku, tanpa banyak menghasilkan undang-undang untuk membela hak kaum wanita dan anak-anak, lalu apa gunanya membangkitkan dan mengejar 30 persen kuota jika tak banyak berubahan yang membangun untuk kaum perempuan?
Menurut hemat saya, angka dan kouta itu tak terlalu penting. Kapabilitas dan kualitas para perempuan yang terjun ke ranah politiklah yang perlu dikejar, diperbaiki, diusahakan dan ditingkatkan. Belajar dari sejarah, tak perlu banyak orang yang tak berkualitas memimpin negeri ini, cukup beri satu, dua atau tiga saja pemimpin yang berkualitas, amanah, mau bekerja keras dan tulus ikhlas merubah negeri kearah kesejahteraan yang lebih baiklah yang diutamakan.
Untuk itu perempuan perlu diberi pengetahuan yang mumpuni sesuai dengan bidangnya, tak hanya sekedar berani untuk tampil dan merasakan panasnya kursi anggota dewan. Lantang menyuarakan kebenaran, mau bekerja blusukan, turun kebawah atau apapun namanya untuk benar-benar mendengar aspirasi kaumnya dan kemudian membuat draf yang bisa dijadikan undang-undang untuk perbaikan perempuan itu sendiri.
Permasalahan klasik yang belum bisa ditemukan jalan keluarnya sejak dahulu, yakni TKI yang menyumbang devisa cukup tinggi, tak pernah mendapatkan penyelesaian serius dari pemerintah. Terus saja ada masalah dengan mereka. Dari persoalan gaji, kesehatan, keselamatan dan keadilan belum juga tersentuh dengan baik. Belum lagi banyak sekali para TKI perempuan yang bermasalah hukum hampir tak pernah mendapat perhatian serius dari anggota DPR perempuan kita. Ratusan TKI di Timur tengah yang terlantar dipinggir jalan, di bawah jembatan dan itu sangat menyolok mata, dan sudah ditangkap kamera dan dipublishpun seolah menjadi hal yang biasa saja. Sangat miris.
Kesehatan reproduksi, dimana ibu hamil dan melahirkan di Indonesia mempunyai angka cukup tinggi dalam hal kematian, begitu pula bayi yang baru dilahirkan, menjadi sebuah ironi. Mengapa hal demikian kurang dapat sorotan optimal dari kaum perempuan yang duduk di kursi DPR. Belum lagi masalah pelecehan kaum wanita, bullying  yang dilakukan kepala keluarga kepD iatri dan anak-anak, keselamatan para wanita terhadap kehormatannya ditempat umum, pemerkosaan, pencabulan dilakukan oleh orang terdekat dan orang-orang yang tak dikenal, sampai perdagangan manusia untuk transaksi seksual sungguh sudah sangat memprihatinkan.
Belum lagi kemiskinan yang didera kaum wanita karena pendidikannya tidak tinggi hingga membuat mereka banyak yang berpikir pendek untuk melakukan pekerjaan rendah dengan gaji yang tak memadai,  sehingga mereka mudah sekali  terjerumus hal-hal yang negative. Pekerjaan rumah yang sangat banyak bagi calon legislative perempuan yang ingin maju tahun 2014 mendatang perlu mendapat perhatian serius.
Kemampuan wanita untuk lantang menyuarakan, membuat prestasi yang berarti dikancah politik itulah yang seharusnya mulai dikejar. Hal yang terbaik dilakukan sepertinya menyeleksi  kaum perempuan sebelum duduk dikursi dewan, atau saat berjuang dipartainya masing-masing untuk didbekali ilmu yang mumpuni, attitude yang memadai, loyalitas bukan hanya kepada partai yang mengusungnya, namun lebih kepada memperjuangkan hak-hak perempuan dengan lebih serius. Kecerdasan untuk mengelola pikir dan jiwa perlu juga diasah. Tunjukkan jika wanita bisa berbuat nyata untuk kaumnya pada khususnya dan negeri ini pada umumnya, bukan hanya sekedar gincu pemanis dalam politik dan kejar target kuota 30 persen itu.


Termuat dalam majalah Potret Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar