“Dhinii…” Panggil
lelaki yang tengah berdiri disebelahku . Aku mendongak sebentar, kaget,lalu
dengan gugup kulanjutkan pekerjaanku menekan-nekan tuts laptop asal saja.
Guncangan kereta api “Sriwedari” jurusan Solo-Yogya beruntun amat terasa,
seguncang hatiku pada titik nadir.
“Ini Dhini khan?”,
Lelaki itu terlihat sangat kepo,
mendesak sangat, kemudian duduk disampingku. Aku mulai jengah. Menatap
sebentar, lalu kembali menatap layar laptop, walau hanya acting. Sok sibuk, sok
tak butuh. Akhirnya kuberanikan diri menjawab dengan penekanan kuat.
“Saya bukan Dhini, Anda
salah orang!” Terkesiap lelaki itu, tak mengira jawabanku seperti itu.
“Tak salah lagi, ini
Dhini. Apa kabar?, Sama sekali tak
menduga bisa bertemu didalam kereta api, duduk berdekatan lagi. Oh My God.
Mimpi apa aku semalam.. Yogya-nya mau ke daerah mana? Wah kalau bisa sejalur
kita bisa bersama-sama lagi nih, asyeeek..” Lelaki itu nerocos terlihat sangat
girang.
Aku sudah tak tahan lagi, ingin menumpahkan
kekesalan hati yang terpendam selama dua
tahun ini. Lelaki didepanku sepertinya bukan manusia, tapi uka-uka, hantu yang bergentayangan, yang tak pernah buat nyaman
rasa.
“Anda siapa? Saya bukan
Dhini, dan tak pernah kenal siapa Dhini. Saya tak pernah berjumpa denganmu.
Jangan ganggu saya dengan pertanyaan-pertanyaanmu yang absurd!” kata-kataku
terlihat juthek. Lelaki itu terlihat speechless.
Mulutnya terlihat membola, matanya terbeliak.
Seorang wanita tua dan
lelaki berdasi yang duduk berhadapan dengan kami yang dari tadi terdiam, sampai memperhatikan kami, mungkin karena
meningginya ucapanku. Tapi aku sudah tak
peduli. Jika mungkin aku malah mau berteriak, biar satu gerbong dengar.
Kemudian sunyi. Suara
decit roda kereta beradu dengan rel saja yang akhirnya terdengar. Kulayangkan
pandangan keluar jendela. Masjid Agung “Al Muttaqun” Prambanan terlihat jelas,
namun entah kenapa kubah emasnya berubah abu-abu, seolah ikut rasakan perih
yang kupendam sejak lama. Jika bisa, akan kutampar lelaki didekatku untuk
menyadarkan apa yang dilakukannya selama ini .
Bayangkan, dengan
seenaknya melambungkan rasa ini
keawang-awang dengan rayuan mautnya, hingga aku sampai pisah dengan kekasih setiaku
hanya terbuai lelaki ini yang berprofesi sebagai seorang editor beranak dua ini , kemudian
mengenggelamkanku ketempat dasar, sepi dan gelap. Sama sekali tak menjawab
WA-ku, Inbox, email bahkan menutup telpon setiap aku mencoba menghubunginya. Lost contact, selama tiga bulan, dan
tiba-tiba ada didekatku?
Tapi mengapa ia seolah tak mengenal wajahku
dengan baik? Sebenarnya bukan hal yang
aneh, meski berhubungan selama dua tahun, itu hanya sebatas dunia maya—tak
nyata, hanya sekali bertemu itu saja dalam kejauhan, karena ada komitmen tak
mendekat. Karena dia punya keluarga dan saya menghormatinya, Itupun sudah
menghabiskan hati!
Lelaki itu tergelepar, sorot matanya tajam tetap
menatapku walau ku tak bergeming dengan tetap sibuk dengan laptop. Ia seolah
kalah telak. Aku dulu yang begitu menghiba-hiba untuk disapa, tiba-tiba
menjelma bak singa betina yang marah.
Uka-uka itu ternyata tak tahu aku sebenarnya.
“Dhini ternyata kau cantik sekali”, Bisiknya mendekat di
telingaku. Baru tahu. Baru tahu? Apakah matanya hanya untuk hiasan selama ini,
bukan untuk melihatku? Janji untuk melamarku dan menceraikan istrinya itu
kemana? Sisa cinta itu tak ada. Hanya sisa kebodohan yang kusesali seumur
hidup. Bodoh,..bodoh..stupid..stupid..
Turun dari kereta dengan buru-buru. Menghindar
pertanyaannya, ogah didekatinya. Entah kenapa rasa sakit
hati ini begitu membuncah. Sambil berlari kuseberangi rel tanpa mempedulikan
teriakannya. Tak peduli juga kumelangkah
dijalur yang salah, bukan untuk penumpang.
Sekali lagi kudengar teriakannya, kali ini lebih keras seperti petir.
“Dhiniii,..jangan lewat situuuuu”
Mengapa saya harus patuh padanya? Seperti kepatuhan untuk
tetap bertahan dan meninggalkan segalanya dengan cinta palsu darinya?. Otakku
penuh dengan luka. Sekejab kemudian telingaku gantian bergemuruh, dan rel
kupijak tiba-tiba bergetar hebat. Sedetik kemudian hanya terlihat lampu sorot kereta api yang
menyilaukan mata, dan teriakan bukan hanya dari lelaki itu, tapi seluruh
penumpang yang berjejer ditepi rel membahana, setelah itu gelap. Ringan.
Tak ada lagi sakit hati,
tak ada benci. Sebelum Kereta api “Argo Lawu” menyambarku, sebelum ujung lokomotif menyentuhku,
sepertinya terdengar penjelasan lirih dari lelaki itu yang entah darimana
datangnya..
“Dhini aku sebenarnya sangat mencintaimu, bahkan sudah menceraikan istriku. Tapi tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengaku kekasihmu datang kerumah dengan sebilah parang. Ia mencengkeram anakku yang paling besar yang ada dalam pengasuhanku. Katanya, jika ingin anakku selamat, jangan dekati kamu. Maafkan aku, Dhini karena harus memilih. Dan kau tahu apa pilihanku?Tentu aku pilih Anakku, walau pernikahanku yang lalu sudah kugadaikan demi kamu, dan sebenarnya hari ini aku beranikan diri menyapamu di email tapi tak kau jawab…”
“Dhini aku sebenarnya sangat mencintaimu, bahkan sudah menceraikan istriku. Tapi tiba-tiba ada seorang lelaki yang mengaku kekasihmu datang kerumah dengan sebilah parang. Ia mencengkeram anakku yang paling besar yang ada dalam pengasuhanku. Katanya, jika ingin anakku selamat, jangan dekati kamu. Maafkan aku, Dhini karena harus memilih. Dan kau tahu apa pilihanku?Tentu aku pilih Anakku, walau pernikahanku yang lalu sudah kugadaikan demi kamu, dan sebenarnya hari ini aku beranikan diri menyapamu di email tapi tak kau jawab…”
Meleleh,
bersama darah yang membasahi seluruh tubuhku. Hangat, setelah tahu, lelaki itu
ternyata sangat mencintaiku. Terlambat, karena kebenaran itu harus kutebus
dengan nyawaku..
haduhh.. Dhini... dhini.... :(
BalasHapusHmm, bisa juga berkhayalkan? Kupikir hanya artikel2 yg bereferensi....
BalasHapus