Sedih,
galau dan berduka adalah beberapa kata untuk menunjukkan betapa rapuhnya
sebenarnya manusia itu pada titik
tertentu. Sejak manusia dihadirkan kemuka bumi, kesedihan, malapetaka dan
derita seolah sudah menjadi teman akrab yang senantiasa mengikuti kehidupan
manusia. Dan jika manusia itu senantiasa berkeluh kesah lupa dengan
Ayat-ayatNya, maka tak ayal lagi apapun dari masalah yang hinggap akan
ditanggapi dengan keluh kesah dan penderitaan tiada akhir.
Sahabat
Ummi, ada beberapa kiat positif yang bisa dilakukan seseorang saat berkeinginan
mengubah derita yang dialaminya menjadi kekuatan, agar tidak menjadi rapuh,
diantaranya dengan cara:
1.
Selalu
Berbaik Sangka kepada Allah
Bila
derita silih berganti mendatangi. Jangan sampai kita berburuk sangka kepada
Allah dan merasa bahwa Allah tak sayang lagi pada hamba-Nya. Semua ujian itu
merupakan proses seseorang yang diuji pada hal dan keadaan lebih baik lagi.
Kebahagiaan berlipat akan didapatkan setelah seorang hamba lulus dalam
menjalani rangkaian skenario Tuhan. Sesungguhnya apabila Allah memberi suatu
musibah, sebenarnya Dia mencintai hamba-Nya.
“(Maka) jika Aku mencintainya, Aku
adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, (Aku adalah)
penglihatannya yang digunakan untuk melihat, (Aku adalah) tangannya yang
digunakan untuk berbuat, (Aku adalah) kakinya yang digunakan untuk berjalan.
Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan jika dia berlindung
kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya.” (HR. Bukhari)
Dengan
berbaik sangka kepada Allah dan mencintai-Nya, Insya Allah Dia akan membalas
segala amal baik hamba dengan balasan setimpal, langsung di dunia, akhirat,
atau keduanya.
2.
Mengubah
sudut pandang
Memang,
hal ini tak mudah bila seseorang memiliki pemikiran yang pakem terhadap suatu
hal. Apalagi mengubah image derita
yang erat dengan kesedihan menjadi hal yang sudah menjadi kehendak-Nya lalu
mengubahnya menjadi kekuatan. Padahal penderitaan selalu erat dengan
keterpurukan. Itulah tantangannya, bila kita tak bisa mengubah sudut pandang
secara revolusioner, tentu kita bisa mulai mencoba secara evolusi,
perlahan-lahan. Hal yang paling mungkin adalah keinginan kuat untuk selalu
mendekatkan diri kepada Allah dengan memasrahkan seluruh kehidupan.
Mengubah
sudut pandang bisa dengan belajar mengambil hikmah dari pengalaman kehidupan.
Orang bijak dan cerdas selalu ingin tak mau terjebak dalam kesalahan yang sama,
dan selalu menjadikan kemalangan masa lalu sebagai “guru terbaik” dari
kehidupan
Ternyata dengan mengubah sudut pandang, derita hanya
persoalan waktu saja yang silih berganti datang, jadi bukanlah suatu yang patut
diratapi tanpa henti, namun harus dihadapi.
Menukarnya dengan kekuatan dan berbaik sangka pada Allah adalah kata
kunci yang terbaik dalam kehidupan.
3.
Menanti
kebahagiaan
Jika
seorang hamba dirundung duka, sebaiknya dia posisikan dalam beberapa keadaan.
Yakni jika ia dalam keadaan sabar dalam menghadapinya, maka berharap Allah akan
beri jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi atau memberikan upah atas
kesabaran dan keikhlasannya dengan pahala.
Bila
tak jua bertemu solusi terbaik dari kemalangan yang dihadapi, maka harapan
untuk balasan di akhirat pun tetap diharapkan saat kita sudah ikhlas dan sabar
menjalani pemberian-Nya.
Allah
swt. Mahalembut terhadap semua hamba-Nya. Salah satu bukti kelembutan-Nya
adalah ditempatkannya seorang hamba pada berbagai ujian. Kemudian memasukkan ke
dalam hati seorang hamba rasa gembira
dan rida terhadap ketetapan-Nya serta yakin terhadap pahala dan balasan di
sisi-Nya.
Menanti
kebahagiaan memang harus selalu ditananamkan. Apa yang kita lakukan saat sabar
bukanlah suatu yang sia-sia. Ada tujuan akhir dan itu suatu yang pasti, yakni
pahala Allah dan insya Allah merasakan nikmatnya surga.
4.
Anggap
ringan ujian Allah
Caranya
tentu dengan berupaya tidak selalu memandang ujian yang menimpanya sebagai
ujian berat yang ditimpakan Allah kepadanya. Selalu pasang mata bahwa kejadian
di sekitar, dibelahan dunia yang lain, atau bahkan orang-orang terdahulu pada
masa Rasulullah saw., jauh lebih berat berlipat-lipat kali dari yang dialami.
Rasulullah
saw. pernah mengalami masa sedih yang berkepanjangan. Satu per satu penopang
jiwanya yang selalu membela di garis terdepan pada masa awal dakwah telah
pergi. Khadijah, istri yang sangat dicintainya. Abu Thalib, paman yang sangat
disayanginya. Belum lagi tekanan kaum musyirikin yang selalu tak henti.
Terlebih umat Rasulullah saw. yang kala itu masih sedikit.
Penderitaan
tersebut membuat Allah menurunkan beberapa surah untuk menghiburnya, di antaranya
surah Al-Insyiraah, Adh-Dhuhaa, dan juga surah Yaasiin. Semua surah tersebut
turun sebagai penguat Rasulullah saw. dan umatnya untuk tidak putus asa dengan
segala sesuatu yang menimpa mereka. Keyakinan dan ketakwaan tinggi dari kaum
muslimin saat itu sangat teruji. Bagaimana tidak, segala sesuatu masih absurd, belum tampak masa depan Agama
samawi ini akan menolong mereka di akhirat kelak.
Keteguhan
hati Rasulullah saw. dan umatnya kala itu, Allah hadiahi dengan berbagai kabar
gembira. Kemenangan demi kemenangan Islam yang diraih dalam jangka waktu lama,
semakin meneguhkan keimanan umat Islam bahwa mereka punya tujuan pasti untuk
cita-cita kehidupan menuju akhirat dan jannah-Nya.
Ujian
kita sekarang ini jadi terlihat kecil dibanding umat terdahulu. Untuk itu,
mengapa kita harus berkeluh kesah dan terpuruk dalam watu yang lama? Sedang
Rasulullah saw. dan umatnya dengan ujian seberat itu, mereka berdiri tegak dan
selalu siap menghadapi derita dengan mengubahnya menjadi kekuatan untuk hidup
yang lebih baik lagi.
Referensi:
Al-Mishri
Mahmud. 2010. Selamat Tinggal Kesedihan. Solo:
Pustaka Arafah.
Candra
Nila Murti Dewojati, Ayat-ayat Tolak Derita, GPU, Jakarta 2013
Tulisan ini sudah saya share di Ummi Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar