Sabtu, 22 November 2014

ENGKAULAH IBU HEBAT SEPANJANG HAYAT


            “Buku terbaru apa yang terbit lagi, nduk?” Tanya ibu saya suatu hari. Kupandangi wajah keriputnya. Sisa-sisa kecantikannya masih tergambar dengan jelas. Entah kenapa ibu selalu mempunyai semacam sinyal jika ada buku terbaruku yang akan terbit. Beliau akan sangat sumringah menerimanya. Saya tidak tahu jika sebenarnya ibu selalu saja menceritakan pada kerabat, tetangga kami dulu (sebelum beliau pindah ke rumahnya kakak perempuanku) dan teman-temannya dengan mata penuh binar dan kebanggan meluap tentang apa yang saya kerjakan beberapa tahun terakhir. Padahal apalah saya,..

            Sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara, dimana hanya dua orang saja wanitanya dan sisanya saudara kandung laki-laki, tentu penuh warna perjalanan kehidupanku. Untuk tetap eksis menjalani sekolah sampai sarjana, sepertinya ‘penuh perjuangan’. Bagaimana tidak, saya menjadi yatim sejak usia 7 tahun. Ayah meninggal saat beliau berusia 43 tahun,. Alhamdulillah-nya, ibu menjadi seorang guru pada sebuah sekolah menengah pertama negeri di kotaku, Yogyakarta. Meski tersaruk, bayangkan 7 anak, hampir semuanya menyelesaikan kuliahnya.


Foto bersejarah saat adik bungsu lahir, dalam formasi lengkap

            Ibu seorang yang tangguh. Menggiring 7 anak dengan karakter berbeda, apalagi saat belum ada yang lulus kuliah, beliau sudah akan pensiun. Semua anak hampir berpandangan, menyelesaikan sekolah dengan apa? Entahlah dengan hutang sana-sini, mencukupi kebutuhan sehari-hari dan uang SPP kami, apalagi sebagai single parent. Hanya Allah yang sepertinya membantu kami, ini rahasiaNya, Dia membantu kami dari arah yang tak disangka-sangka, entah depan, belakang, bawah dan tentu dari arah atas…

            Satu kata yang sebenarnya bisa kuungkap dari seorang ibu. Tak pernah marah, sabarnya tak terhingga, sangat jauh dari sifat saya yang sering naik darah dan begitu emosional, yang ternyata sifat ini menurun dari ayah saya. Hanya saja, saya dan ibu kadang dan bahkan sering berbeda pendapat tentang sesuatu,..hmm bahkan banyak hal!

            Ternyata, ada sifat pertahanan diri saya ini  terbentuk semenjak ayah wafat, dan ini tidak saya sadari. Begitu ingin menyembunyikan kesedihan, tak bisa urai dengan siapapun juga termasuk keluarga dan ibu semenjak kecil. Ibu yang ingin tetap menghidupi kami dengan cara apapun asalkan halal hingga kami bertujuh tak kelaparan. Hanya saja terkadang persinggungan dengan teman-teman atau koleganya yang kerjanya bak seperti makelar yang menjual tanah, rumah bahkan kadang benda-benda antic masalalu, membuat saya tidak terlalu suka. Buat saya, sambilan seperti itu tidak bermanfaat, menghabiskan banyak waktu dan tidak membuahkan hasil apapun, bahkan kadang tekor karena sering terkena tipu temannya. Dan anehnya, beliau tak pernah gentar dan surut semangat dengan upaya mencari tambahan rezeki dengan jalan seperti ini, mungkin sudah menjadi hobinya, mungkin. Dan inilah membuat saya sering silang pendapat dengannya.

            Hidup memang berjalan. Tak seharusnya disesali jalan hidup seperti apa yang kadang tak kuingini. Sejak kecil memang kami hidup dengan ‘cara’ kami masing-masing untuk bertahan. Hampir semua kakak-kakakku dan adikku lulus sarjana dengan perjuangan yang penuh warna, kebanyakan dari  mereka bekerja sambil kuliah, sepertinya cara lain untuk mengharap uang turun langsung dari langit memang tak pernah terjadi. Kami seolah paham, memang berbeda dengan anak-anak lain dengan keluarga utuh dan kecukupan. Merengek pada ibu untuk biaya ini –itu tentu sudah tak mungkin kami lakukan, sudah cukup ‘derita’ ibu mengasuh dan membesarkan kami semua.

            Dan akhirnya, hampir semua dari kami ‘jadi’. Kebanyakan memang menjadi dosen disebuah universitas negeri, jika bukan dari kami, pastilah dari pasangan kami. Lalu saya? Hanya bekerja sebentar pada sebuah lembaga pendidikan computer, kemudian tak tahan melihat anak pertama saya yang kala itu masih bayi, tiap hari dititipkan pada tetangga, maklum di Kota Solo, saya dan suami memang bak ‘anak tiri’, tak ada saudara. Maka dengan kesadaran penuh, saya menyatakan saat itu berhenti bekerja diluar rumah, dan focus mengasuh anak-anak yang akhirnya berjumlah 3, dan biarlah suami yang menghidupi kami, sebagai seorang Dosen di PTN di kota Solo.

            Meski sempat merasa tidak berguna, tidak merasa keren dan tak mempunyai penghasilan sendiri, namun tetap niat tetap kuat bulat untuk tak bergeser dan beranjak dari rumah untuk membantu mencari rezeki. Lalu apa tanggapan ibu?
            Sama sekali tidak pernah mengusik keputusan saya sebagai seorang lulusan perguruan tinggi negeri yang hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Bahkan hanya sekedar bertanya, “Kenapa tidak mencoba pekerjaan lain? “ atau hanya mengingatkan posisi saya, “Ndak malu menjadi sarjana pengangguran saja?”
            Ibu tetap tersenyum, walau mungkin dalam hatinya menginginkan saya mengembangkan potensi yang ada. Beliau menerima saya dan cucu-cucunya bak ‘keluarga istimewa’ saat mengunjunginya di Yogya. Dan hebatnya, dari dulu sampai sekarang selalu menghargai sekecil apapun prestasi yang kami dapatkan, entah hanya ikutan lomba antar RT, RW, Kecamatan, tentu tingkat provinsi. Ohya sampai lupa, kami sebenarnya adalah keluarga seniman. Ada tiga dari keluargaku yang menjadi pengajar di Universitas dalam bidang Seni, entah desain grafis, desain interior,  atau seni patung. Bukan Cuma itu, keluarga besar kami, seperti Pakde dan ponakan-ponakan dari  keturunan nenek saya, bekerja pada bidang yang sama, bisa melukis dan perupa. Yang membanggakan pakde pernah menerima penghargaan tertinggi dari pemerintah atas dedikasinya merancang ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk pertama kalinya!
            Maka jangan heran di buffet ruang tamu keluarga, berjejer puluhan piala dari ratusan lomba melukis dari keluarga kami. Tapi jangan salah, hampir tak ada satupun piala saya. Kok bisa? Ha ha ha sayang sekali bakat itu hampir sama sekali tidak menyentuh saya. Mungkin sedari kecil ketertarikanku dalam bidang lain, berpuisi, ikut kelompok paduan suara dan menari dan membaca-baca karya sastra. Ibu tidak pernah kecewa denganku, sekecil apapun upaya yang kulakukan selalu beliau dukung. “Ayo Candra, kamu pasti bisa!”, sambil memelukku ketika saya akan pentas entah ditelevisi local maupun dalam sebuah acara kecil-kecilan.

            Peluk, cium dan dorongan yang begitu kuat dari Ibu saya selalu mengalir sampai kini. Tidak pernah mengumpat, membanding-bandingkan dengan kakak-kakak lainnya, meski ‘miskin’ prestasi, selalu yang dikatakan,”kau-lah anak kesayangan ibu..”, padahal tiap anak mungkin kalimat itu selalu mengalir dibibirnya.

            Hingga pada satu titik tak terduga dari sebuah penantian panjangku mengenali potensi diri yang tertutup rapat sejak berpuluh tahun. Ya, menulis. Walau saat awal kutunjukan hasil menulisku membuat beliau berbinar-binar ceria, namun keceriaannya tak berkurang saat lebih dari sepuluh buku hasil karya saya kusodorkan pada beliau. “Tahu tidak, temanmu masa remajamu Dewi, juga Mbak Nunik saudara sepupumu , kemudian Gurumu saat SMP, Bu Veronika, teman-temanmu yang lain  selalu menanyakan kamu, setelah kuberitahu jika sekarang kamu menjadi penulis..” Wajah bangganya tak bisa disembunyikan dari seorang Ibu.

Aku dan Ibuku tersayang, ternyata kami 'manis' semua..

            Saya tersenyum. Entahlah, membuat seorang ibu berbangga dan berbahagia itu sebenarnya sederhana. Bukan sodoran harta yang melimpah untuknya. Sikap baik, sopan menghargainya sebagai seorang Ibu dan melejitkan potensi positif akan menyejukkan hatinya. Sebuah buku yang berjudul “Kisah Ibu Hebat Sepanjang Hayat”, beberapa waktu sudah kutulis. Berharap sungguh buku itu terbit tidak terlalu lama lagi. Semoga buku itu hadir pada saat yang tepat, dan masih diberi kesempatan dibaca oleh wanita-wanita yang kukasihi, karena memang kupersembahkan untuk ibu-ibu hebat sepanjang hayat, terutama ibu saya, Ibu Marsilah Sudewo dan ibu mertua, Siti Muthmainah…
           
 Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera http://abdulcholik.com/2014/11/03/kontes-unggulan-hati-ibu-seluas-samudera/







2 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus