Rabu, 06 Februari 2013

PEREMPUAN KORBAN KRIMINALITAS DAN KEKERASAN



Perempuan, adalah salah satu makhluk yang mudah sekali menjadi korban kriminalitas yang sekaligus mengalami kekerasan. Mereka sering dijadikan objek yang terawan dan empuk oleh orang-orang yang jahat dan pandai memanfaatkan kelemahan perempuan. Hal ini dikarenakan adanya paradigma Gender antara laki-laki dan perempuan. Terkadang, isu gender ini membatasi gerak juga mempertegas bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang gampang menjadi sasaran kriminalitas yang merajalela tiap harinya dan tak jarang, perempuan kerap menjadi korban kekerasan.
Sebenarnya apakah gender itu? Kosa kata gender pertama kali diunggah oleh Ann Oakley (1987) untuk membedakan seks (jenis kelamin) secara biologis dan realitas konstruksi social budaya atas seks lelaki dan perempuan. Gender bisa disebut sebagai harapan, kebiasaan, adat dan tradisi yang melekat pada suatu budaya tertentu, yang merupakan pembeda tugas juga peran social antara laki-laki dan perempuan. Berangkat dari fakta perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian gender dikonstruksikan sedemikian rupa melalui adat, tradisi, kebiasaan, pola asuh, pendidikan dan lain sebagainya . Hal ini yang sepertinya jadi dikotomi bahwa antara lelaki dan perempuan haruslah seperti itu.
Padahal ada dampak yang luar biasa dari pembagian itu, karena telah mengantarkan keduanya pada posisi yang tidak setara atau tak seimbang. Karena secara social perempuan ditekankan pada sector domestic, karena fungsi reproduksi dimana perempuan bisa menstruasi hamil, melahirkan, menyusui. Karena fungsi reproduksi perempuan itulah maka ia diharapkan berperan dominan untuk selalu berada di rumah, sebagai pengasuh anak dan mengelola rumah tangga. Berbeda dengan perempuan, lelaki punya reproduksi yang berbeda, maka dibangun suatu paradigma jika ia adalah seorang pelindung dan pencari nafkah buat keluarga dan tentu saja bekerja di luar rumah. Nah, pembagian tugas domestic ini lama kelamaan merugikan kaum perempuan itu sendiri, karena merasa tak mendapat “pengakuan lebih” ketika seorang perempuan mempunyai suatu kekuatan, ingin ekspresikan kelebihannya, kepandaiannya atau ingin lebih berprestasi dan berbuat yang berguna untuk diri sendiri, lingkungan dan keluarga.
Pada beberapa adat dan tradisi pengaturan peran dan tugas yang ketat sedemikian itu akhirnya mengarah pada satu titik, bahwa itulah yang disebut kodrat (given). Bila itu terjadi, maka pelabelan (stereotyping) akan menjadi sesuatu yang tak positif dan sangat merugikan pihak perempuan, karena dianggap kaum lemah, tak punya banyak daya menolak, atau mudah diperdayai dan selanjutnya menjadi kaum bertipikal inferior. Ini yang dikhawatirkan oleh banyak pihak dengan hubungan yang saling berkaitan antara kaum lemah (inferior) akan menjadi sasaran empuk kaum superior (laki-laki) yang sepertinya nampak kuat dalam segala hal dan tak pelak bisa menjadikan perempuan target criminal yang sangat riskan bersinggungan dengan tindak kekerasan.
Untuk itulah pembakuan peran macam ini, yang secara tak bijak menempatkan posisi perempuan pada hal yang ‘rendah’, menjadikan kaum lelaki lebih tinggi derajatnya dalam segi ekonomi, semisal dalam hal upah bekerja, kemudahan memperoleh jenjang lebih tinggi dan keleluasaan menempati jabatan tertentu. Dalam masalah sosialpun berujung pada pemasungan dan penindasan hak-hak perempuan. Hal inilah yang sebenarnya patut disayangkan banyak pihak. Perjuangan gender bukan membuat kesetaraan atas laki-laki sama persis , namun diartikan beri kesempatan perempuan untuk lebih mengapresiasikan potensi yang ada dalam dirinya secara bijak, tanpa ada hambatan atau pemasungan gerak perempuan untuk maju membangun diri, keluarga dan bangsanya. Karena tak dapat dipungkiri jika kaum perempuan dalam banyak bidang mempunyai potensi luar biasa. Mulai dari bidang ilmu, ketrampilan, kedokteran, politik, perniagaan (ekonomi) juga social.
Label (Stereotype) tertentu yang berkaitan dengan peran gender mereka, seperti “lelaki gagah perkasa” dan “perempuan manis, lembut dan manja”, juga seakan dipertegas dengan pencitraan oleh “adat” atau bahkan media, sehingga jadi terkumpul suatu keyakinan bahwa memang itulah kodrat lelaki sebagai makhluk kuat, dan Macho, sedang perempuan sebagai makhluk lemah karena hanya bersifat feminism.
Bila perempuan mulai dijadikan ajang korban kriminalitas karena pelabelan sebagai makhluk lemah tersebut, dan malah mendapat perlakuan tak pantas, sewenang-wenang, baik di rumah, sekolah, dalam masyarakat juga tempat umum. Juga tak jarang kekerasan dari pelaku kriminalitas, saat akan pertahankan diri atau sengaja dilukai agar tak meminta pertolongan atau mempermudah pelaku melakukan aksinya, maka apa yang harus diperbuat oleh pihak perempuan? Dimana ia bisa memperoleh pertolongan atau mengadukan nasibnya? Karena apabila banyak pihak tak peduli pada kondisi demikian, maka yang akan terjadi perempuan yang menjadi korban kriminalitas juga kekerasan akan membuat traumatic seumur hidupnya, drespresi atau stress berkepanjangan.
 
Ada beberapa bentuk kekerasan pada perempuan yakni:
  1. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah tindakan yang sering dialami oleh kaum perempuan dari kaum laki-laki. Dan bentuknya sangat beragam mulai dari ungkapan verbal seperti komentar, gurauan yang jorok/ tak senonoh atau mencolek, meraba, mengelus, memeluk, bahkan hanya sekedar menunjukkan gambar porno atau jorok, serangan dan paksaan yang tak senonoh (indecent assault) seperti memaksa mencium, memeluk, mengancam akan menyulitkan perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual hingga perkosaan.
Pelecehan seksual ini bisa terjadi di tempat kerja, tempat umum bahkan bisa terjadi rumah tangga sekalipun. Bila di tempat kerja, laki-laki yang kebetulan bertindak sebagai pimpinan, majikan boss merasa pihak superior yang bisa dengan mudahnya perlakukan bawahan yakni pihak perempuan dengan sekehendak hati, dan ini ternyata menduduki porsi yang cukup tinggi. Dan yang berikut terjadi di tempat umum, misalnya bus kota, kampus, jalanan bahkan di pasar sekalipun.
  1. Perkosaan
Perkosaan adalah kekerasan yang paling bayak dialami perempuan, setelah pelecehan seksual. Ternyata ada beberapa hal yang tak banyak diketahui berkaitan dengan fenomena perkosaan, misalnya ditinjau dari cara melakukannya perkosaan tak hanya dengan cara pemaksaan, ancaman, bujukan atau janji-janji bisa juga dengan obat-obatan yang membuat tak sadarkan diri. Ini dilakukan bukan semata-mata penetrasi biasa, namun juga biasa melalui sodomi dan oral seks. Ditinjau dari pelaku bisa dilakukan satu orang atau lebih (gang rape), dilakukan oleh orang dikenal atau tidak dikenal, namun sangat disayangkan banyak perkosaan terjadi malah dilakukan oleh orang yang sudah dikenal baik oleh korban. Korbannya bisa dari usia anak-anak (balita) sampai lansia. Adakalanya perkosaan dilakukan oleh anggota keluarga (incest), atau (Marital rape) perkosaan yang dilakukan suami terhadap istri, dan bisa jadi Dating rape yakni perkosaan dilakukan oleh pacar atau teman kencan.
  1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumahtangga sangat dimungkinkan terjadi dalam perkawinan.Hal ini karena adanya keyakinan bahwa hak seorang suami sebagai seorang pemimpin dan kepala keluarga, dalam hal “mendidik” istri dan keluarga agar patuh dan sesuai dengan keinginannya seringkali diposisikan secara berlebihan. Manakala memukul, memperingatkan secara kasar, menghandrik atau perlakukan menyakiti sacara fisik atau psikis sudah menjadi alasan “pembenar” dengan alasan mendidik tadi.
Semua kekerasan pada perempuan yang dilakukan laki-laki yang berbuat criminal dan sekaligus melakukan kekerasan seperti melukai, melakukan pelecehan seksual atau bahkan memerkosa, juga kekerasan yang dilakukan tanpa terlebih dahulu diawali dengan perkara criminal, pada dasarnya semuanya mempunyai dampak buruk dan luar biasa pada perempuan. Secara umum bagi yang mengalami pelecehan, pemerkosaan atau KDRT itu mengalami dampak jangka panjang atau jangka pendek. Mulai dari gangguan fisik, luka organ reproduksi dan bagian tubuh karena perlawanan saat penganiayaan, juga dampak secara psikis, dan ini bisa mulai dari gangguan emosi ringan seperti rasa malu, marah, jengkel, terhina sampai sulit tidur (insomnia) dan kehilangan nafsu makan (lost appetite), hingga sampai presepsi negative terhadap laki-laki atau seks.
Bila penangan kurang tepat dari sekelilingnya atau orang-orangnya dekatnya korban kriminalitas dan kekerasan ini bisa mengalami trauma (luka jiwa) hingga bisa mengalami depresi (stress) dan mulai pada dampak yang lebih tinggi yakni, mimpi buruk agresi, tak mampu mengontrol pemunculan ingatan-ingatan peristiwa mengerikan, gangguan reproduksi, misalnya siklus haid yang tak tentu juga infertilitas, kekacauan ingatan atau sampai mati rasa dan gejala ini dikenal sebagai Dialetika Trauma, yang menyebabkan penderita ingin bunuh diri bahkan hilang ingatan.
Untuk itu diharapkan keluarga dekat dan orang-orang sekitarnya peduli dengan penuh kasih sayang berikan pertolongan yang tepat, bukan sebaliknya malah menyalahkan dan membiarkannya. Hubungi kepolisian untuk mendapatkan kepastian hukum, bawa ke tenaga kesehatan atau rumah sakit untuk sembuhkan luka fisiknya dan dibawa ke konseling, atau psikoterapi untuk sembuhkan trauma dan luka jiwanya. Dampingi terus menerus untuk tunjukkan bahwa korban tidaklah sendiri, untuk proses kesembuhan fisik dan psikis . Bekali para perempuan hal-hal yang sederhana untuk menghindari atau menolong dirinya sendiri saat terjadi tindak criminal atau kekerasan, dengan menambah wawasan tentang bela diri juga hal-hal menangkis kejahatan. Dan pastikan juga para perempuan untuk tidak berpakaian, berperilaku dan membawakan diri yang sekiranya mengundang tindak criminal dan kekerasan pada dirinya. Yang terakhir tentunya hiasi setiap langkah dan perbuatan dengan banyak dzikir dan doa, karena sesungguhnya hanya Dialah Maha Penolong dari kejahatan yang tersembunyi ataupun nyata.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar