Beberapa
hari ini heboh pemberitaan rencana Pemerintah Kota (PemKot) Lhokseumawe
Nanggroe Aceh Darussalam yang membahas mengenai hal tak lazim; menyoal para
pembonceng motor untuk wanita dengan posisi duduk mengangkang! Sontak pro
kontra langsung datang bertubi-tubi, maklum pembahasan tak biasa, selalu
mengandung ekses luas dkalanan masyarakat.
Pejabat
Lhokseumawe beranggapan posisi duduk mengangkang bagi wanita saat membonceng
tidak sesuai dengan budaya Aceh yang sangat sarat dengan aturan syari’at Islam.
Namun saat dikonfirmasi pejabat MUI Jakarta, dikatakan bahwa Islam tidak
merujuk secara gamblang aturan duduk saat berkendara. Bila pakaian bagi muslimah
sudah terpenuhi syari’at Islam, hal itu sudahlah cukup saat ia akan berpergian.
Posisi duduk, tak pernah
di sebutkan dalam Islam hukumnya. Jika sudah demikian hukum yang berlaku adalah
maslahah, jika yang dilakukan tak menimbulkan dosa, tak salahi peraturan agama, membuat nyaman
pengendara dan pembonceng dan tentu saja aman. Dan itulah jalan pemikiran atau
sikap yang diambil.
Atas nama estetika dan
norma budaya, apakah harus mengorbankan bentuk lain? Yakni kenyamanan
pengendara dan pembonceng, dan yang perlu digaris bawahi dengan memakai tinta
tebal adalah factor keselamatan. Bahkan Jusri Pulubuhu seorang Training
Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) mengatakan, duduk
menyamping tidak aman dan menjadi tidak ergonomis bagi penumpang, juga bagi
pengendara akan sangat kerepotan jika melakukan maneuver atau berbelok, karena
kesembangan menjadi berkurang.
Bahkan Jalopnik, media
otomotif internasionalpun ikut beri ulasan mengenai peraturan yang sekarang
sudah hampir pasti disosialisasikan oleh Walikota Lhokseumawe dalam waktu dekat
ini. Jalopnik mempertanyakan apakah
membonceng menyamping dapat memenuhi aspek keselamatan di jalan raya, dan
bahkan menyebutkan membonceng yang demikian adalah posisi terburuk bagi dunia
pengendara di dunia.
Terlepas dari pendapat
para pakar dan ulama dan pro kontra dikalangan masyarakat, pernahkah beri
angket pada para wanita posisi mana yang paling nyaman saat membonceng, dan
bertanya pada banyak para pengemudi posisi yang bagaimana paling nyaman, dan
aman karena pada dasarnya jawaban pengemudi dan pembonceng memiliki dasar
tersendiri.
Bagi penulis, beberapa
tahun ini mencoba duduk mengangkang saat dibonceng, jangan salah, saya
menggunakan gaun gamis dalam berpakaian sehari-hari. Mengapa saya memutuskan
hal demikian dalam beberapa tahun terakhir ini bukan dalam berapa puluh tahun
yang lalu? Berikut alasannya:
1.
Berpuluh tahun lalu, tak lazim wanita
berkerudung memakai baju longdress
untuk duduk mengangkang. Mengapa? Karena pada dasarnya mereka (kami) tak berpikiran untuk menggunakan
celana panjang dibalik baju muslimah kami. Walau memakai double ‘rangkapan’
kebanyakan memakainya yang berbentuk
‘rok’ juga. Jadi kebayang kalau kami duduk mengangkang tentulah aurat akan
terbuka.
2.
Saat muslimah berbaju gamis mulai dengan trend
memakai celana panjang sebagai rangkapan gaunnya, maka mulailah banyak dari
muslimah duduk mengangkang. Mengapa? Selain nyaman karena seimbang kakinya,
berat badan wanita yang semakin melambung membuat mereka berpikir dua kali
untuk mengambil langkah duduk menyamping, Karena kaki sering kesemutan
bahkan kram. Pinggang terasa sakit
apalagi jika perjalanan itu jarak jauh.
3.
Penulis sudah tiga kali gaun muslimahnya
terkena musibah yakni masuk dalam jeruji roda sepeda motor karena duduk
menyamping ini, dan pernah terjatuh pula. Dan pernah harus merelakan daster
kesayangan karena ada pembonceng wanita mengalami musibah dekat rumah, yang
sampai (maaf) hampir terbuka semua bajunya gara-gara gaunnya masuk ke jeruji
roda secara ekstrim, karena cara duduk menyamping itu.
Masih kurangkah fakta yang
membuat para pembuat keputusan masih tetap saja meneruskan peraturan melarang
pembonceng duduk mengangkang? Tak sayangkah pada para istri, anak perempuannya
dan wanita? Risau bila mereka duduk dengan pasangan yang bukan muhrimnya? Ini
bukan lagi urusan keselamatan jalan raya, namun para pendidik, ulama, umara
terutama orangtuanya untuk membatasi anak-anak perempuan lajang mereka untuk
tidak dibonceng yang bukan muhrimnya, dan bukan malah membahayakan dan membuat
tak nyaman pasangan-pasangan yang sudah menjadi muhrimnya.
Andai seluruh PemKot menerapkan hal itu tanpa
memperhatikan aspek sayang wanita, mungkin saya akan ikutan demo saja, karena
teringat sudah masa-masa pahit saat robek baju, terjatuh dari sepeda motor dan
sering kaki di’tabrakan’ becak, karena posisi
kaki menyamping saya yang memang banyak menyita jalan. Dan bukankah Aisyah,
istri Rasulullah naik kuda dengan posisi mengangkang? Jadi apalagi yang menjadi persoalan mengenai duduk
mengangkang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar