Subuh tadi, mobil Esemka Solo sampai didepan Tugu Proklamasi
Jakarta. Tujuan rombongan 7 mobil ini jelas: uji kelayakan emisi untuk
jadi nominator mobil nasional, yang akhirnya bisa dipatenkan dan
dipasarkan ke masyarakat luas. Menarik! Itu kata awal yang saya tangkap.
Menarik, karena mobil itu jadi konsumsi pembicaraan umum beberapa pekan
yang lalu. Menarik karena mobil berplat AD 1 itu dikendarai wakil
Walikota, Rudy dan Pakar telematika Roy Surya.Menarik pula karena saya
domisili di kota ini (kalu ini tak menarik ya).
Sebenarnya, mobil ini biasa saja secara prejengan. Maklum orang Jawa
kalau bicara bentuk, wajah pasti yang teringat adalah “prejengan”. Saat
saya berkesempatan melihat dan menyentuh mobil itu yang setiap hari Ahad
dipajang didepan rumah dinas pak wali. Masyarakat bisa bertanya
langsung pada sales-nya, kalau pas ada. Kebetulan pak Joko Wi, Walikota
Solo, sukarela jadi sales mobil itu, atau sekedar test drive.
Mubeng-mubeng sebentar dihalaman rumah dinas pak wali yang megah dan
artistic. Mungkin saya nilai tujuh saja, maaf kalau pelit, memang
kenyataannya begitu.
Tapi yang menjadi mobil Esemka
ini terasa istimewa, selain buatan anak-anak SMK 2 Solo, mobil ini yang
promosi habis adalah pak Walikota yang paling terkenal diseluruh
Indonesia. Kadang Ia sosok yang kontroversi, karena beberapa kali harus
‘bertengkar” dengan atasannya. Ia adalah sosok yang tegas, namun penuh
perhitungan. Pendekatan dengan rakyatnya memakai “hati”.Saya ingat betul
saat penertiban PKL diwilayah solo yang adem ayem jauh dari demo,
kekerasan atau protes masyarakat. Karena resepnya apa? Para pedagang
diajak diskusi dengan makan sego kucing dan wedhang jahe, lesehan.
Budaya Jawa yang sangat disuka. Bincang hangat, sambil dengankan
perkataan warga dan pimpinan, sambil makan-makan gratis lagi. Solusi
yang indah, semua nyaman, tenang dan damai. Tak terbayang itu ditempat
lain, saling teriak, pukul, tangis, hujat dan terlihat nelangsa bila
sudah pakai kekerasan.
Pak Joko Wi ini, juga tak segan
berseteru dengan pimpinannya saat ia merasa benar. Teringat saat cagar
alam, Jejak masa lampau yang menjadi situs sejarah akan dijadikan hotel,
yang sudah direkomendasi atasan. Pak Walikota ini meradang langsung
bilang tak setuju, dan akrirnya ramai benar di media masa.
Pun. Ketika mobil Esemka ini jadi mobil dinas Walikota dan wakilnya,
ini sebuah langkah berani. Karena mobil yang sebenarnya terlihat
sederhana dan “murah” menjadi kendaraan pejabat si Solo. Semua orang
ramai memperbincangkan dan memuji langkahnya. Apa yang dikatakan oleh
atasannya setelah wartawan menanyainya (seneng betul wartawan “ngadu”
dua tokoh ini karena tahu mereka saling berseteru)? “Mobil elik ngono
dienggo,..” (mobil jelek gitu dipakai,..) katanya,..qiqiiqi kamipun
terbahak mendengarnya.
Sayapun tak habis pikir saat
watawan yang hobi kroscek (males bilang “ngadu” lagi) sama pak gurbernur
propinsi sebelah yang sepertinya jengah saat Pak Joko Wi ini dijagokan
entah sama siapa menjadi gubernur di Propinsi di wilayah situ. Katanya
dengan bahasa bebas saya; “lha kalau cuma buat mobil aja sipiiil,
keciil. SMK tempatku bisa lebih hebat, karena bisa membuat pesawat
terbang,.. itu lho SMK mana ya wilayah timur selatan utara atau mana
saja, wis pokoke intine lebih hebatlah,.” Plok.,..plok plok,,, pokoke
wartawan sukses beratlah kalau suruh urusan begitu. Heiran seperti kisah
telenovela, orang-orang creative, innovative kok banyak “musuh”nya
ya..mirip brambang bawang,..eh kisah Bawang merah. Bawang putih,..
Pernah beberapa kali saya buat status tentang jenang (bubur) gratisan,
yang dibagikan pada masyarakat Solo tepat hari Ultah kota ini ke 267.
Sepuluh ribu bungkus, habis tanpa sisa saya tak dibagi. Lucunya acara
Ultah itu diawali upacara di Lapangan Sriwedari dengan bahasa
Jawa,..hehehe saya saja tak mudeng semua artinya saat nonton live
ditelevisi. Sebuah trobosan unik, karena semua persertanya pakai adat
jawa. Hampir tiap bulan ada karnaval meriah dipusat kota yang asri. Pak
Joko Wi ini pembawa perubahan dasyat kota ini.
Namun
“tak ada gading yang tak retak”. Apapun dibalik kehebatan atau sukses
seseorang tentu masih juga ada suatu yang terselip. Ah,.kenapa iya harus
di”jamasi”, dimandikan mobil itu dengan air tujuh rupa dan kembang
setaman sebelum berangkat ke Jakarta. Semoga hanya simbolik saja, tak
ada maksud untuk syirik. Bagaimanapun saya memandang ini sebagai
masyarakat pinggir pesantren. Jika tak hati-hati menyikapi sesuatu, yang
terjadi hal yang tak berkah. Akulturasi, interelasi budaya dan agama
memang menjadi bias, kadang terkesan dicampur adukan, meski mau tak mau
suka tak suka itu bisa terjadi dimasa lampau dan kini. Semoga hal
terbaik, juga terbijak bisa dilakukan oleh semua saja. Tapi yang pasti,
Esemku dan ESEMKA sama-sama maniiis, tak percaya, buktikan sendiri saat
saya berkesempatan berfoto dengannya,…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar