Pada siang yang berangin ini, saya menjemput si bungsu di
TK-nya. Saat ku genjot sepedaku terdengar sayup-sayup adzan Dzuhur.
Didepan TK ada penjual wedhang Asle, itu lho sejenis minuman hangat yang
bersantan yang berisi ketan putih, agar-agar dan roti. Kata orang
minuman ini khas Solo. Maksud hati membelinya untuk sekedar
menghangatkan badan dan hati, di siang yang berhias angin kencang. Namun
niatan kutunda sementara, setelah menjemput anak beres dulu. Namun apa
yang terjadi, setelah anak “kudapatkan”?..
Penjual wedhang Asle “raib” meninggalkan dagangannya. Sebelahnya penjual
bakso ikut-ikutan “hilang”, disusul tukang sol sepatu, penjual mie
ayam, tukang tambal ban,juga penjual ayam bakar. Toko yang menjual
alat-alat tulispun terlihat tutup. Yang tertinggal penjaga counter pulsa
dan Tukang rujak es cream. Saya langsung paham. Niat disaat yang tak
tepat, saat sholat dzuhur
.
Ditengah masghul, Saya
tetap bersyukur. Bersyukur hidup ditengah lingkungan yang agamis.
Dimana masjid tak pernah sepi dari jamaah, walau “kegalauan” tengah
disitir banyak ulama, karena banyak dibangun mesjid megah, tapi minus
jamaah. Dikampung kami ada tiga masjid cukup megah, yang Alhamdulillah
bila saat sholat tiba, sangat banyak sandal para jamahpun berjejer
dengan rapinya diberanda masjid, masjid yang makmur
.
Jamaah masjid didominasi laki-laki dalam berbagai profesi. Kebanyakan
mereka yang bekerja diseputar kampung, ada penjual yang saya sebutkan
tadi juga ada beberapa ustadz. Memang citra agamis tak terbentuk begitu
saja. Ini karena “pengaruh” pesantren yang begitu dominan. Ohya bukan
sembarang pesantren lho,karena pesantren yang ditakuti oleh Amerika.
Atau mau lihat suasana “ketika cinta bertasbih” yang pemerannya
bercadar? Nah dikampungku ini banyak yang dijumpai yang demikian, tak
usah jauh-jauh pergi ke Kairo.
Yang menjadi
catatan saya adalah, mereka dengan ‘suka cita’ , ikhlas diri
meninggalkan jualan mereka. Meski dengan berbagai resiko. Resiko paling
awal kehilangan beberapa pelanggan yang ingin membeli pada saat itu
juga. Resiko yang kedua tentu bisa ditebak, kehilangan beberapa barang
dagangan yang tak dijaga itu, diembat oleh beberapa oknum yang tak
bertanggung jawab yang tak takut dosa.
Saya
jadi teringat, kisah seorang jamaah pada masa Nabi Muhammad saw, yang
seusai sholat dimasjid celingukan mencari untanya yang raib entah
kemana. Ia mengadukan pada Nabi tentang kehilangan miliknya yang
sekaligus tunggangannya yang sangat berharga. Ia merasa dengan sholat
berjamah dimasjid, menghadap keharibaanNya adalah salah satu yang bukti
ketertundukan, kepasrahannya kepada Illahi akan menolongnya membantu
segalanya, terutama menjaga miliknya.
Nabipun
tersenyum. Bagaimana mungkin menyuruhNya sebagai penjaga unta?
Sangat-sangat menunjukkan pribadi yang ngawur. Hingga Beliau bersabda
agar bila sedang beribadah ke masjid, jangan lupa untuk “mengikat unta”.
Maksudnya tentu menjaga barang-barangnya dan ditempatkan pada posisi
yang aman. Sepeda motor. Sepeda onthel sebaiknya dikunci. Sepatu
ditempatkan pada rak atau dimasukkan kresek dan dibawa kedalam masjid.
Bila itu jualan makanan, ya sebaiknya ditutup yang rapat. Bila khawatir
dengan sandal bagus yang mudah diambil manusia yang tak bertanggung
jawab, ada baiknya pakai sandai yang tak terlalu bagus, atau beda warna
sekalian,.tak apa yang penting perlindungan terhadap miliknya sendiri
itu perlu.
Tentu antisipasi macam ini bukan
sekedar isapan jempol belaka, terbukti belum lama penjual buah-buahan,
tetanggaku, harus rela kehilangan empat buah duriannya sekaligus, saat
ditinggal berjamaah. Ngawur sungguh sang pengambilnya. Satu durian yang
hanya laba sekitar dua sampai tiga ribu rupiah, maka Ia harus kehilangan
sekitar 80 ribu lebih. Meski merasa kasihan, tapi disini terdapat
pelajaran yang sangat berharga, yakni bila benda-benda ditinggal
berjamaah tak disimpan atau diantisipasi keamanannya dengan baik, ya
harus lega, lila, ikhlas lahir batin bila harus berpindah tangan pada
jiwa-jiwa yang berhobi penyolongan (emang sebutannya apa ya, bukan
kleptomania lagi lha wong sing dibawa banyak, besar berduri lagi)..
Hari ini saat saya berkesempatan membeli wedhang Asle lagi (dan kali
ini berjalan dengan sukses, soalnya hari jum’at, si bungsu pulangnya
pagi), saya utarakan niat saya kemarin yang tak berhasil membawa pulang
wedhang Asle yang hangat karena kebentur saat dzuhur. Penjual yang sudah
kukenal dengan baik itu tersenyum; “Berarti kali ini rezeki saya dong
bu,..”. Jawaban yang bersahaja, tak menunjuk penyesalannya karena
kehilangan pelanggan kemarin, karena nyatanya Allah menggantinya dengan
hari ini. Sebuah ketertudukan yang tak sia-sia. Berani tinggalkan
jual-beli untuk cintanya yang tak tertepi pada GustiNya. Memang ia tak
harus gembok gerobak wedhang Aslenya, karena hampir “mustahil” seseorang
mengambil dan mendorong gerobaknya (nganeh-anehi dan kurang kerjaan).
Namun saran Nabi memang harus kita patuhi untuk tetap “mengikat unta”
disaat meninggalkan jual beli waktu jamaah tiba,..
Sukoharjo, 30 Januari 2012
Sulitnya buat tulisan sederhana ini,
“tangan dan pikiranku kali ini kompak : tumpul"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar