Dahlan Iskan Marah besar,
ditendangnya kursi pada loket pintu Tol. Gubrak!!!. ”Kenapa loket ini tak ada yang jaga? Tahu
tidak dari sejak subuh, pengguna tol sudah berpacu dengan waktu. Mereka
mengantri mengular, buka Cuma banyaknya volume kendaraan, tapi diperparah
dengan ketidakdisiplinan petugas loket. Saya saja sebagai Mentri sudah disiplin
untuk segera pergi kekantor..”
Mentri BUMN itu benar-benar murka.
Jasa Marga sebagai salah satu bidang jahahannya, telah torehkan ‘perih’ didadanya.
Sedang Ia berkali-kali sebagai tameng untuk jawab pertanyaan rakyat ketika
tarif tol akan naik, begitu naik tak diimbangi servis yang sempurna Seperti ia mendesah, saat amanah diusung, saat
itu juga sebenarnya beban berat telah disangga. Ia sangat paham.
Sebenarnya, saya bukan penggemarnya
menteri yang low profile ini. Soalnya berjibun pejabat; polanya sama, banyak
tak amanah, bikin bête, pekerjaan yang tak benar, tak melayani rakyat, malah
sebaliknya suka banget dilayani. Namun beberapa saat yang lalu banyak
‘tingkahnya’ memaksa untuk dilirik. Naik ojek, ketika jalanan ibulota macet.
Tiba-tiba ada diatas kereta api, Bus Trans-Jakarta, bikin kelimpungan para
pejabat setempat yang sungguh tak siap dengan kedatangannya mendadak.
Suatu hari suami cerita, saat hari
Jum’at ada serombongan staf dari kementrian Hukum dan HAM bertandang ke
Pesantren. Karena tak ada konfirmasi, mereka di sambut ala kadarnya oleh ustadz
yang kebetulan tidak liburan, dan terkaget-kaget ada yang mendadak ahadir dipesantren.
Suamiku yang cuma melongok pondok ditarik-tarik suruh menemani bicara ustadz
yang saat itu kebetulan juga sedang tengok pondok. Salah sendiri, jum’at
datang, saat pesantren libur dan tak ada konfirmasi, alhasil cuma air dalam
kemasan disuguhkan kepada tamu yang sebenarnya penting itu. Saat ada kesempatan
suami langsung ngibrit pulang, “Lha aku disuruh ngapain, soalnya cuma ban
serep, daripada cuma bengong aja”.
Sebenarnya suamiku mungkin agak
menyesal, karena tak sabar ada satu “kejutan” satu lagi saat ia pulang dan
memutuskan shalat jum’at dirumah. Soalnya saat masuk Shalat jum’at ada tamu
penting yang datang diam-diam. Tanpa pengawalan, hanya dengan asistennya.
Berwudhu bersama santri, shalat khusuk diantara mereka. Tak ada sesuatu yang
istimewa. Ia didaulat naik mimbar, beri tausiyah seusai shalat jum’at, karena
direktur pesantren dibisiki, ternyata ada tamu ikut shalat, dan dia bukan wali
santri. Ia seorang mentri. Ya, ia adalah Dahlan Iskan. Ia bisa menjelma dimana
saja, dipelosok negeri ini. Saya mungkin akan pingsan saat ia tiba-tiba membeli
permen diwarung mungilku. He..he.. khayalan yang ngawur saja.
Saya bayangkan dia bak Umar bin
Abdul Aziz, salah seorang khalifah daulah Abbasiyah yang begitu saya kagumi.
Dua setengah tahun berkuasa. Bersihkan kotoran negerinya. Ia ubah “sampah” jadi
berlian. Mencoba ciptakan surga sungguhnya saat negara berada diujung tanduk.
Dua-setengah-tahun: Ayo siapa yang bilang tak mungkin ubah negara yang kacau
balau? Umar bisa buktikan! Ia adah seorang yang zuhud tak gila kuasa dan harta.
Sebagian besar harta milik keluarganya diberikan pada negara. Ia bisa menangis
dengan keras-keras, ketika melihat rakyatnya menderita. Ia sangat berani
bersebrangan dengan pejabat atau lawan politnya yang kontra, apalagi kalau ia
anggap benar. Semua bidang diperbaikinya, social,politik, budaya, ilmu,
militer, kesehatan dan semua hal asal itu untuk sejahtera rakyat. Ada seorang
ulama yang sampai bilang, “Seorang penggembala berkata padaku, ini negara siapa
gerangan? Sampai srigalapun tak berani makan kambing-kambing itu, karena saking
damai dan tentram negeri ini. Dan petugas zakatpun kebingungan mencari para
fakir miskin, karena semuanya jadi muzaki. Semua rakyat sejahtera.
Apa
Umar dengan mudahnya mengubah negerinya dengan waktu singkat dengan sim
salabim? Oh tidak, dengan seluruh jiwa raganya. Ia ingin persembahkan
jabatannya hanya untuk Illahi yang janjikan surga padanya, bila jadi pemimpin
yang amanah. Ia sangat takut dengan neraka, bahkan bisa pingsan dalam shalatnya
ketika harus membaca surat Alqur’an yang berhubungan dengan neraka. Ia sangat
berhati-hati jaga negerinya, amanahnya, seperti berhati-hati agar tak masuk ke
ranah jahanam.
Terus,..terus,..bagaimana
dengan negeri yang semakin tak tentu arah ini? Jangan bilang lagi belum cukup
waktu untuk memimpin jadikan negeri ini sentosa. Umar hanya diberi waktu
dua-setengah-tahun, dibawah ancaman pembunuhan padanya yang selalu mengintai,
saat itu. Bila semua pemimpin takut neraka. Menjadikan jabatan sebagi amanah
untuk merengkuh surga, dengan niat untuk perbaiki rakyatnya, tentu bukan hal
mustahil era Umar akan kembali terjadi. Saya salut sama Dahlan Iskan sudah
memulainya, tanpa kamera, tanpa banyak ucap, ia banyak keliling untuk mencoba
perbaiki dengan apa yang bisa dilakukan. Mungkin sesuatu yang sederhana, namun
semoga bisa jadi kontribusi tuk perbaiki negeri ini. Paling tidak, sikapnya bak
oase ditengah gurun gersang negeri ini.
Akhirnya,
ada satu kisah yang bisa jadikan inspirasi. Saat sang Bibi Umar datang untuk
minta tambahan uang belanjanya yang sudah ditetapkan negara, saat Umar sedang
makan dirumah dengan makanan yang sangat sederhana, seperti yang dimakan rakyat
jelata. “Sebentar ya bibi”, kata umar sambil mengambil uang sekeping dirham
perak yang kemudian dibakarnya diatas bara api. Lalu dibungkusnya dengan kain,
dan diberi pada bibinya.
“Panas….”,
teriak bibinya sambil membuang uang itu, dan mengelus tangannya yang melempuh.
Dengan santun Umar berkata,”Seperti itulah gambaran bila uang negara yang tak
digunakan tidak pada tempatnya. Itu hanya panas api didunia. Saya tidak mau
mengajak keluargaku dan kerabatku untuk merasakan api neraka, gara-gara saya
selewengkan uang negara..” Semoga yang disana bisa ter “tampar” dengan ucapan
Umar,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar