Saya teringat, beberapa masa kebelakang, saat masih
mengerjakan soal ujian ilmu falak. Bagi yang terlalu pandai matematika
mengerjakan materi menghitung kapan hari besar Islam berlangsung, tahun
depan, dua puluh tahu bahkan seratus tahun kemudian, akan merasa sangat
kesulitan. Namun bagi yang jago, angka-angka itu dilahapnya dengan
mudah, dan “hap”, jadilah hitungan benar dan manis; apakah menghitung
awal puasa tahun depan, depannya lagi bahkan jauh kebelakang, atau hari
raya lebaran dan hari-hari besar Islam lainnya.
Tak
terbayang, jika tukang hitung hisab awal puasa dan akhir Ramadhan, orang
yang tak jago seperti saya, karena taruhannya bukan Cuma ‘salah’ dan
bisa segera dihapus, namun lebih dari itu; jerumuskan umat dan
dipertanggungjawabkan dihadapanNya. Makanya Ahli hisab, adalah orang
yang cerdas, bijak, terlepas dari kepentingan golongan atau mahzab,
seorang hamba yang sangat mencintaiNya.
Ahli
menginceng bulan? Wow itu suatu rahmat. Si “Hilal”, bulan muda ini
adalah yang si tampan yang dicari oleh ahli rukyat, dimanapun didunia
ini. Semua berkeruyuk, berkumpul untuk pastikan kedatangannya, bahkan
saking inginnya beberapa orang atas hadirnya, beberapa orang
mengibaratkan kalau si ‘Hilal’ adalah bak seorang perempuan cantik,
Zaenab. Saking inginnya bertemu Zaenab, hanya melihat sekelebat
selendangnya saja, mengira ia telah datang. Itu perumpaan begitu sangat
inginnya, seorang muslim menghadapi puasa, hingga bulan yang ‘semu’,
bisa terlihat nyata. Dan ahli rukyat ini memang diharapkan benar-benar
prefect, tak boleh ditunggangi aspirasi golongan, kelompok tertentu,
yang harus dipas-pas-kan hari ini dan itu awal puasa. Disumpah? Tentu
saja. Hisab dan pe-rukyat sama-sama disumpah untuk lakukan pekerjaan
terbaiknya atas nama..Allah tentu saja.
Lalu, mana
yang benar saat ngikuti puasa hari ini atau hari itu? Menghitung cara
hisab, rukyah, kedua-duanya atau bagaimana nih? Bingung,..hihihi sam-ma.
Apalagi mendengar langsung dari telivisi sidang isbath, yang
masing-masing kelompok boleh ajukan pendapatnya. “Semriwing” rasanya
saat awal puasa tak sama. Apalagi dengerin pendapat dosenku masa lalu
yang lumayan diskriditkan perbedaan, saat ajukan pendapatnya disidang
itu,..duh pak dosenku, telingaku rada memerah je,..hihiih Lalu? Ya
bingung sedikit,..trus menanti aba-aba dari sang imam, tentukan sikap
dan bismillah,…
Puasa hari yang satu dan satunya lagi
tak masalah lagi. Ternyata memang cara hitung yang dibenarkan oleh Islam
sudah ditempuh semuanya, disumpah atas namaNya. Trus pripun nih yang
salah mana? Yang salah sudah sangat jelas: yang tidak menjalankan puasa
sebulan penuh dengan alasan yang tak jelas, tak sholat 5 waktu, tak
zakat walau mampu, juga tak haji walau uangnya melimpah (nunggu
panggilan,..walau sing manggil kencengpun pura-pura gak dengar).
Dalam Islam berbeda itu rahmat. Jangankan berbeda madzab, golongan,
Allah saja ciptakan bentuk manusia dengan jutaan bentuk wajah, warna
rambut, kelakuan, jalan pemikiran. Warna laut saja beraneka warna,
bunga, warna langit, macam musim dan lain sebagainya. Hampir tak ada
yang sama,sesimetris,sebanding. Semuanya itu rahmatNya. Untuk siapa?
Tentu untuk kaum bijak, cerdas nan mau berpikir jernih. Sikapi perbedaan
dengan hati terbuka dan tak terluka, itu memberi rahmat pada semua
orang. Karena ia sebagai makhluk yang telah ‘naik kelas’, pandai
mengelola hatinya, pancarkan kebesaran diri, rangkul perbedaan untuk
bila tak mungkin dipersamakan, biarkan begitu. Allah saja tak ‘marah’
dengan perbedaan, selagi masih dijalurNya, ada ilmu dan dasarnya.
Mengapa manusia selalu ributkan yang berbeda itu.
Ada
kisah (selalu bu Candra begitu ya,..) masa lalu tentang perbedaan itu.
Saat memutuskan nasib tawanan, dua kubu besar berbeda cara pikirnya.
Kubu Abu bakar yang terkenal lemah lembut, saat diberi waktu nyatakan
pendapatnya oleh Rasulullah, ia mengatakan biarkan tawanan bebas, dan
keluarganya mengambil tawanan itu dengan uang jaminan. Dan uang itu
diharapkan untuk perjuangan Islam yang masih belum kuat dari segi dana.
Saat ditanya Umar bin Khattab yang terkenal tegas, keras dan kuat, ia
mengatakan tawanan dibunuh semua saja, karena sudah ingkar, mungkar pada
dakwah Rasulullah dan petunjuk Allah. Apalagi mereka gemar intimidasi
orang muslim, secara fisik dan mental, bahkan mengancam jiwa Rasulullah
dan membunuhi kaum muslimin.
“Mana, tawanan dari
kalangan keluargaku, aku akan eksekusi dengan tanganku sendiri,..”Kata
Umar dengan lantang. Ia memang dikenal tak kompromi dengan sikap dan
pemikiran tegasnya, dan ini juga didukung oleh banyak orang pendapatnya.
Rasulullah kemudian menengahi perbedaan itu. Bagaimana caranya? Beliau
adalah pribadi yang santun, lembut namun tegas. Segala ucapannya bukan
asal bunyi, namun ada dasarnya.
Lalu, Rasul saat akan
putuskan, Beliau terlebih dulu memuji kedua sahabatnya tersebut. Sangat
arif, tak ada berat sebelah, tak terlihat keberpihakan. Apalagi
bersikap “minor”. Karena Rasul tahu kedua sahabat ini bukan “asbun”,
asal bunyi. Mereka berpendapat dengan pemikiran dan karakter
masing-masing. Pada akhirnya pendapat Abu Bakar yang diambil dengan
alasan kemanusiaan dan butuh dana perjuangan Islam. Umarpun, legawa tak
banyak protes, karena tahu sang Rasul adalah orang terbijak yang pernah
hadir dimuka bumi. Tak seperti pada kita hujan interupsi saat pendapat
oranglain tak sama dengan kita, kalau perlu ngotot. Debat kusir bin
gontok-gontokan diluar sidang. Sikap Umar ternyata buahkan hasil. Karena
pada akhirnya Rasul dapat “teguran” dari Allah atas keputusannya,
karena meski Umat Islam dalam keadaan kekurangan biaya jihad fi
sabililah, namun tegakkan harga diri terhadap musuh Allah itu sangat
diperlukan, karena sebenarnya pendapat Umarlah seharusnya dipakai.
Sama-sama menyesal salah ambil keputusan? Tentu tidak, karena belum ada
rambu-rambu yang jelas mengenai hal tawanan perang. Itu menunjukan
Rasulullah masih seorang hamba, yang ada salah dan khilaf saat
berijtihad, namun segi perbaikan selalu dilakukan. Tak malu akui salah,
kemudian mohon maaf dan langsung jalani yang terbenar.
Islam, sebenarnya tak menyukai debat walau dia dalam keadaan yang
benar. Kenapa demikian? Karena dikhawatirkan jauh dari kata maslahah.
Hampir dipastikan banyak pihak yang merasa tak puas dengan perdebatan
saat merasa “kalah” bersikap tak legawa, akan menyimpan perasaan tak
suka, marah, benci bahkan lebih dari itu, menebar permusuhan. Orang yang
menghindari perdebatan, walau benar dalam Islam mendapatkan bonus
“pahala”. Hingga sayapun heran saat di telivisi ada acara yang bertajuk
“Debat”. Padahal jelas-jelas dalam Islam ada ayat anjuran tak berdebat,
walau benar. Bila berdiskusi, bertukar pikiran atau bermusyawarah itu
memang oke-oke saja. Mungkin karena saya bak Abu Bakar yang lembut
(maunya), bila ada acara debat ditelivisi, hampir dipastikan tak bisa
kutonton lama (karena penasaran dengan nara sumbernya), selalu kuganti
saluran, karena tak tega telinga saya mendengarkan orang berdebat,
karena seperti melihat orang yang akan berkelahi atau ter’bantai’
lawannya yang pandai berkoar.
Usahakan bila bertukar
pikiran sudah mengarah dalam perdebatan itu seperti debatnya Asy
Syafi’i, karena beliau selalu perhatikan etika dan tak bermaksud
menjatuhkan pribadi pendebat lawannya. Yusuf bin Abdul A’la seorang
faqih asal mesir sampai hormat dan tak merasa sakit hati saat
‘dikalahkan’ oleh beliau. Bahkan Yusuf terkagum-kagum, saat Asy Syafi.i
menemui lagi setelah acara perdebatan itu, sesaat seusai berpisah
dengannya, katanya;” Ia menggandeng tanganku dan berucap, lebih baik
kita berteman, walau tak sepakat dalam satu masalah..”.
Ya berteman, walau tak sependapat, tetap bersahabat walau tak sepakat
dalam satu masalah, alangkah indahnya kalimat itu. Sejenak saya menghela
nafas, saat melihat orang yang berbeda dengan saya dalam cara
berpakaian. Diseputar saya, lumayan beragam, ada yang berjilbab jilkies,
jilbab menjulur besar, tak berhijab, berpakaian mini, sampai yang
memakai cadar. Itulah kita, memang berbeda. Yang tak berhijab ‘dipaksa
pakai’ ya tak mau, yang jilkies dipaksa pake jilbab besar dan berjubah
ya ogah, yang cadaran disuruh buka, ya tentu tak berkenan. Yang
berjilbab ‘besar’ disuruh cadaran ya ogah. Kita memang punya cara
pandang berbeda-beda tentang sesuatu, bila ‘dipaksa’ menuruti satu
pihak, satu golongan ya tak mau, karena merasa punya alasan dan ‘dalil’
tersendiri, pun dengan mau pilih puasa yang mana, mahzab apa, asalkan
tak bertentangan dengan kaidah hukum Islam yang ada, sebenarnya tak
masalah.
Untuk itu bila kita memang harus berbeda, tak
sependapat, sampaikan dengan cara yang baik dan santun. Ingatlah,
surga-neraka tak sebatas ibadah ritual semata, namun juga meliputi semua
perilaku didunia. Bila bisa sampaikan dengan tak menyakiti, kenapa
tidak. Bila kata-kata bermanfaat, maka ucapkanlah, bila tidak; diamlah!
(meski teman bilang, diampun salah ya,..hihiihih). Proses ‘menahan diri’
memang tak sepenuhnya mudah, namun seringkali kita harus belajar
melakukannya. Memang untukku berbeda itu kadang menyesakkan, tapi
sebenarnya Indah! Karena sangat mewarnai kehidupan, hingga tak
membosankan. Belajar sikapi segalanya dengan bijak, karena semua orang
tahu, tak bisa kita memaksa melati menjadi ungu, hujan datang di musim
panas, ataupun air laut berwarna kuning..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar