Ternyata banyak cerita diseputar kita bila dirunut banyak yang
menarik. Walau Cuma sebuah cerita yang sederhana. Tentang kursi
misalnya. Saya ingat saat awal menikah, kami hanya menempati satu
ruangan yang cukup kecil untuk bernaung. Tentu saja itupun masih
kontrak. Herannya saya fine-fine saja, sedikitpun tak menyesali
“kepapa-an” ini. Maklum keluarga baru, semuanya bak surga asal
didekatmu,..suit,..suit,… Sebenarnya yang punya kontrakan, wanita tua
yang sholehah, yang mencintai kami (sudah kelihatan baunya bila
dicintai orang) memberi pinjaman kami satu set kursi kuno. Tapi setelah
kami pikir-pikir satu set kursi itu malah memakan banyak tempat karena
tempat yang sangat kecil. Akhirnya kursinya kami keluarkan, dan membeli
karpet baru tuk sekedar bisa duduk diruang yang kami anggap “ruang
tamu”. Ketika anak pertama lahir, tak masalah dengan ruangan kecil kami,
bila ia sedang rewel, bisa kuhibur diluar ruangan, yang lagi-lagi
berandanya tak terlalu lebar.
Tapi ketika anak
kedua sedang bersemayam didalam perut, saya sudah mulai jengah dengan
ke”sempitan” ini. Kubilang pada suami untuk usahakan tempat yang lebih
lega. Dua anak, dua orangtua tak bisa berbuat banyak untuk mengekplorasi
diri ditempat yang sangat kecil, meski tak sampai membuat sempit hati.
Syukurlah Allah sangat baik, kami diperbolehkan tempati rumah dinas yang
baru saja direnovasi. Ini yang kami sebut “rumah” yang sesungguhnya.
Karena ada banyak ruang, beranda, dapur juga kamar mandi .Dari kontrakan
kami yang pertama, kerumah dinas suami jaraknya tak terlalu jauh,
sekitar 300 meter, karena jumlah barang kami yang sedikit,
pindahannyapun cukup pakai “keseran” semacam gerobak yang didorong
orang. Tak masalah, apalagi si keseran tadi Cuma dua kali bolak balik,
beres. Masalahnya ruang tamu yang lebar, tak terpikir kursi yang
menghiasinya. Namun, lagi-lagi Allah memberi kami senyum. Saat
berkunjung kerumah mertua, sembari kami beritahukan kepindahan kami,
beliau memberi suami amplop, katanya untuk beli satu set kursi tamu,
kata beliau biar simbah kalau berkunjung tak perlu slonjoran, duduk
dibawah. Suamiku dengan sigap menjawab:” Pak, tak usah ,..tak usah
sungkan,..”katanya sambil menerima dengan binar mata yang berseri.
Saat kami pindah rumah lagi (maklum kontraktor, sabar saja deh) ke
rumah dinas yang lain lagi, ternyata kursi yang diberi oleh mertua sudah
mulai rusak. Yah, harap maklum sudah berusia empat tahun dan
kwalitasnyapun tak bagus. “ono rega,..ono rupa” maksudnya ada harga ada
kwalitas, tapi kami tak gundah, ada kursi pengganti dari “peninggalan”
ibu yang pindah rumah. Nah saya ketiban kursi-kursinya, lumayan tuk
ganti kursi yang mulai rusak. Lha kok ndilalah lagi, kami disuruh pindah
lagi, sebelum aba-aba jelas dari pimpinan, saya sudah “mencium baunya”.
Kemudian saya bilang pada suami ”Mas, sepertinya sudah pada titik
nadir dalam urusan kontraktor alias pindah-pindah terus , kita harus
punya rumah,..” . Suamiku mengangguk, tanda seorang suami, ayah yang
bijak, sekuat tenaga mau beri payung yang kuat tuk berteduh buat
keluarganya. Aduh bangga dan terharunya,..
Akhirnya, rumah mungilpun akhirnya terbeli. Syukur tak terhingga,
meski mungil tapi cukup apik ketika kami renovasi jadi dua lantai. Trus
kursinya? Yah tetep kursi lawas-ku, perolehan dari ibu. Namun akhirnya
setelah sekian lama baru kepikiran beli kursi sendiri, tentu dengan
putar otak agar satu set kursi minimalis itu berharga tak semestinya,
alias harga diskon karena ,..seperti biasa harga pertemanan. Solusinya
cari teman yang jual kursi. Tak terkira, bahagia diriku, setelah sekian
lama berumahtangga, baru kali ini punya kursi sendiri ! Kursi yang
nyaman tuk diduduki karena tak kredit, Kursi tempat tamu datang dan
utarakan maksud hatinya, kursi tempat kami berkumpul untuk bersama baca
Al Qur’an seusai shalat maghrib dan subuh,..bukan kursi untuk duduk dan
merencanakan keburukan, membuat ghibah atau berbuat aneh-aneh lainnya.
Ada apa dengan kursi? Kenapa orang se Indonesia baru suka meributkan si
Kursi ini? Woow jebulnya satu buah kursi anggota DPR seharga sebelas
sampai dua belas kali lipat dari harga kursi satu set kami,..sungguh
berlebihan! Belum lagi renovasi ruang rapatnya, sampai 20 milyar?
Langsung pendapat bersliweran,yang hampir semuanya bernada “min0r”.
Semuanya nyata di mark up seperti temannya make up ya,.mosok harga
pengadaan kalender 1,3 milyar, obat kuat 250 juta lebih, renovasi parkir
sepeda motor, bisa ratusan sampai milyaran. Memang obat kuat untuk
siapa, biar apa?, kalender segitu itu mau dicetak berapa juta buah?, lha
sing mau parkir sepeda motor itu siapa saja? Piye? Hampir semua tamu
dan anggota DPR naik mobil ber AC yang kinclong. Tukang kebun, juru
parkir atau siapa, dengan jumlah sebegitu fantastis? Kami pun terbahak
melihat seorang ibu yang berapi-api menerangkan setiap sudut ruang
pertemuan baru itu, dalam hati,..ckck,..hebat berapa banyak orang
Indonesia yang berpikiran se”hebat” itu,..
Saya teringat dengan seorang pemimpin umat yang sangat rendah hati.
Beliau memilih tidur beralaskan daun kurma kering, hingga ketika bangun,
terlihat “tanda mata” dipipinya dari alas tidurnya. Bahkan saya ragu
apakah beliau punya satu set kursi? Ya Nabi-ku Muhammad saw, tak pernah
berpikir sesuatu yang bersifat “hedonism” tuk rencanakan sesuatu yang
terbaik buat umatnya. Ditengah kesederhanaannya, beliau hasilkan sesuatu
yang hebat, luarbiasa untuk seluruh umat didunia. Bisakah pemimpin kita
yang duduk dikursi empuk bin mahal itu langsung bisa “encer” memproses
segala sesuatu yang berhubungan dengan memikirkan kebutuan masalah
masyarakat? Atau malah jadi semacam pemeo, semakin empuk kursi, semakin
ngantuk, ketiduran hingga amnesia tuk pikirkan kesejahteraan rakyat?
Dan lampu diruangan rapat itu bak lampu disko, yang bisa disetel sesuai
kebutuhan. Sangat terang, sedang atau redup mendayu-ndayu. Apakah mampu
menerangi hati Wakil kita yang duduk disitu agar tak suka dengan uang
panas, menjauhi suap dan hal-hal tak amanah lainnya?. Bisakah mereka
rendah hati dan bijak diri bak Umar bin Abdul Aziz, pemimpin dinasti
Umayyah yang sangat saya banggakan. Kisah yang inspiratif dari sebuah
lampu. Beliau meniup lampu minyaknya, diruang kerjanya pada malam hari
(karena beliau pekerja keras), saat anak kandungnya menjumpainya untuk
urusan keluarga. Anak lelaki yang kebingungan karena berbicara dalam
kegelapan dengan ayahnya itu, kemudian baru paham saat ayahnya berkata :
“Nak, kita berbicara masalah keluarga, sedang lampu yang berminyak itu
milik rakyat. Tak sepantasnya kita pergunakan milik rakyat hanya untuk
urusan pribadi,..Subhanallah,..tercekat saya dengan pernyataan Umar itu.
Kubayangkan dengan mata berbinar seolah memohon para wakil rakyat itu
mengerti, kalau kursi, ruang rapat yang megah, mobilnya, dan apapun yang
menempel pada atributnya adalah milik rakyat. Bila sudah diberi yang
terbaik, apa yang bisa mereka lakukan untuk rakyat? Ah,.daripada mikirin
kursi mereka, mending duduk dikursiku sendiri yang tak terlalu empuk,
sambil pandangi dari kejauhan di televisi, act apa yang akan mereka
suguhkan hari ini, untuk esok,..sambil masih bingung dan penuh tanda
Tanya, obat kuat itu untuk apa ya,..mungkin ada yang tahu?
Sukoharjo, 21 Januari 2012
Salam hangat yang paliiiing anget
Dari bu Candra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar