Sahabat
ummi, beberapa orang bertanya mengenai nifas, dikarenakan sebenarnya
pengetahuan mereka mengenai hal ini yang dihubungan dengan fikih Islam memang
terbatas. Apa sebenarnya nifas itu?
Nifas menurut Syaikh ibnu Utsaimin adalah Darah nifas adalah darah yang
keluar dari rahim setelah kondisi melahirkan, atau sesudahnya bisa juga sebelumnya sekitar dua hari atau tiga hari
sebelum melahirkan yang keluar disertai rasa sakit.
Lalu,
bagaimana hukumnya wanita dalam kondisi nifas? Jika darah nifas berhenti
sebelum 40 hari (setelah melahirkan), dan setelah itu tidak keluar lagi.
Hukumnya kapan saja darah nifas itu berhenti, maka ia wajib mandi, shalat dan
berpuasa .
Namun,
apabila terseling, sebelum 40 hari terhenti dan keluar lagi sebelum 40 hari,
maka hukumnya saat wanita melihat terhentinya darah nifas, maka ia wajib mandi,
shalat dan puasa. Namun jika sempurna 40 hari masa nifasnya, maka selama hari
itu tidak wajib puasa, shalat dan hal ini dilakukan setelah mandi besar sesaat
darah nifas berhenti.
Nifas
yang terseling ini terkadang membuat wanita ragu, apakah dihukumi sebagai darah
haid, atau darah istihadah? Hal ini bisa dipahami sebagai berikut:
-
Pertama,
apabila
keluarnya itu bertepatan dengan masa kebiasaan haid (tanggal yang teratur),
maka saat darah itu keluar, ia tidak boleh puasa dan shalat.
-
Kedua,
jika
masa keluarnya tidak bertepatan dengan kebiasaan haid setelah 40 hari itu, maka
bukan dihukumi sebagai darah haid (tapi istihadah), dan wanita yang
mengalaminyawajib mandi serta tetap jalankan shalat dan puasa.
Ada
pertanyaan menggelitik, saat wanita dalam kondisi bedah Caesar, hukum nifasnya
bagaimana? Dan inilah jawabannya:
Menurut
keterangan Al-Lajnah as-Daimah, hukum bagi wanita seusai bedah Caesar, maka
hukumnya sama dengan wanita yang
mengalami nifas karena persalinan normal. Jika melihat keluarnya darah dari
kemaluannya, maka ia meninggalkan shalat dan puasa sampai suci. Apabila tak
melihat lagi keluarnya darah, maka ia harus mandi, shalat dan puasa seperti
halnya wanita-wanita suci lainnya.
Keraguan wanita akam muncul setelah
mengetahui darah yang keluar berubah dari merah kekuning-kuningan atau bahkan
cokelat. Bagaimana fikih wanita menghukumi ini?
Menurut
Syaikh Ibnu Utsaimin, tidak ada
ketentuan mengenai warna darah wanita setelah nifas, apakah merah, kuning atau
keruh, jika masih keluar pada waktu 40 hari, maka tetap dihukumi darah nifas,
sebelum benar-benar bersih. Sedang darah yang keluar setelahnya, jika darah
biasa tak diselingi dengan berhenti maka darah itu darah nifas, jika selainnya
maka dihukumi darah istihadhah.
Al-Lajnah
ad-Da’imah menyatakan bila ragu dengan
cairan (lendir) yang keluar saat masa nifas, karena perubahan warnanya, hingga
tanda-tanda suci tak bisa dilihat dengan jelas, maka hukum cairan itu diikutkan
pada ketentuan darah nifas, sehingga wanita dalam keadaan itu tidak wajib mandi
sehingga terlihat keadaan suci yang jelas.
Lalu,
adakah sebenarnya batas minimal mengenai darah nifas ini? Syaikh Ibnu Baz
mengatakan tidak ada batasan minimal (ayat-ayat yang menyebutkan demikian) dari
wanita yang suci dari masa nifas. Ada
yang 10 hari setelah melahirkan, atau malah kurang dari itu, ataupun lebih dari
itu, maka jika ia sudah kedapat bersih dan suci, maka diberlakukan kepadanya
ketentuan hukum wanita dalam keadaan suci.
Kemudian
ada pertanyaan yang menggelitik, sebenarnya bolehkah wanita dalam keadaan nifas
itu ditalak oleh suaminya? Ternyata Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab sebagai berikut:
“Mentalak
Hukumnya tidak boleh, bahkan talak itu hukumnya terasuk talak bid’ah,
sebagaimana mentalak wanita yang sedang haid.”
Demikianlah sahabat Ummi, semoga
yang disampaikan menjadi sebuah ilmu fikih wanita, hingga tak ragu-ragu
memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah (shalat, puasa, membaca Al
Qur’an atau talak dan sebagainya) saat wanita dalam keadaan nifas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar