Seringkali kita ragu-ragu saat ingin
menjalankan shalat dengan memakai kerudung yang kita pakai dan hanya memakai
kaos kaki, jadi tidak menggunakan mukena. Saat kerudung terjulur tidak terlalu
panjang, hingga punggung tangan muslimah itu terlihat saat shalat., apakah
shalatnya itu sah, karena auratnya terlihat?
Para ulama mayoritas bersepakat dengan dalil jami’u badaniha illa al-wajha
wal kaffaini (seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan),
menyatakan jika batas-batas aurat seorang wanita adalah seluruh tubuhnya
kecuali memang wajah dan dua telapak tangan. Nah dari sini timbul pertanyaan,
yang dimaksud telapak tangan itu apakah telapak tangan sebelah dalam atau luar?
Titik terang dalam perbedaan cara
pandang mengenai maksud ‘telapak tangan’ ini menjadi jelas, saat memang ada
perbedaan istilah “telapak tangan”. Jika dalam bahasa Indonesia kata ‘al
kaffaini’ diterjemahkan sebagai ‘telapak tangan’, sebenarnya bukan terjemahan
yang tepat, karena sebenarnya yang dimaksud dengan al kaffaini adalah telapak
tangan yang mencakup bagian dalam (bathinul kaff) juga bagian luar atau
punggung tangan (zhahirul-kaff).
Jika
menerjemahkan hanya bagian dalam saja maka kurang tepat karena ‘al kaffaini’
ini mencakup bagian dalam dan luar telapak tangan, hingga batas mulainya aurat
adalah pada pergelangan tangannya saja
(ar-risghu).
Dari sinilah sahabat ummi bisa
disimpulkan jika shalat dengan terlihat punggung tangannya, ini bukan termasuk
terlihat auratnya, karena punggung tangan bukan termasuk aurat, dan ini boleh
untuk dilihat. Hal ini bisa diqiyaskan dengan hal demikian, saat wanita akan
dilamar diperbolehkan untuk dilihat wajah dan kedua telapak tangannya, hal ini
juga termasuk punggung tangan, sebab memang punggung tangan bukan termasuk
aurat.
Beberapa pendapat ulama mengenai
batasan aurat wanita dalam shalat:
a. Mazhab Hanafiyah
Mazhab ini mengatakan jika aurat wanita
ini menyangkut seluruh tubuhnya kecuali bagian dalam telapak tangan dan bagian
luar telapak kaki, maka shalat dengan terlihat bagian dalam tapak tangan
hukumnya boleh, sebagaimana bolehnya terlihat kedua telapak kaki bagian luar
hingga batas mata kaki.
b. Mazhab Malikiyah
Ulama ini membagi aurat menjadi dua
yakni mughalladzah (berat/besar) dan mukhaffafah (ringan atau kecil). Aurat
yang dianggap termasuk besar batasnya antara pusat dan lutut, sedang yang
ringan termasuk seluruh tubuh kecuali wajah dan dan kedua telapak tangan luar
dan dalam.
Mengapa ulama Malikiyah membagi aurat
dalam dua kategori? Hal ini dikaitkan dengan hukum batalnya shalat jika terbuka
masing-masing jenis aurat ini. Apabila yang terbuka aurat yang sifatnya berat,
maka shalatnya batal dan harus diulangi lagi dari awal, jika seandainya dia
mampu menutupinya tapi ia membiarkan saja.
Bagaimana jika yang terbuka aurat yang
sifatnya ringan atau kecil? Maka shalatnya tidak tidak batal, meskipun membiarkannya hukumnya
menjadi haram atau makruh. Hukumnya jika aurat yang ini terbuka maka tidak
harus mengulang shalat, hukumnya sebatas mustahab (dianjurkan) untuk mengulangi
shalat seandainya waktunya masih tersisa.
c. Mazhab Asy-Syafi’i
Batas aurat wanita menurut mazhab ini
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik dibagian
dalam dan luar. Maka saat shalat terlihat wajah dan kedua telapak tangan dalam
ataupun punggung tangan hukumnya adalah boleh, karena menurut mazhab ini bukan
merupakan aurat.
d. Mazhab Hanbali
Ulama pada mazhab ini memiliki
pemikiran yang berbeda jika batas aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali
hanya wajahnya saja. Sedang mengenai kedua telapak tangan baik itu bagian dalam
atau punggung tangan, pada mazhab ini merupakan aurat dan wajib ditutup, jika
terlihat maka shalatnya tidak sah.
Demikian sahabat Ummi,
perdebatan mengenai apakah punggung tangan yang terlihat itu dapat membatalkan
shalat atau tidak, atau membuat shalatnya sah atau tidak, tergantung kemantapan
masing-masing pribadi dalam menyikapinya. Beberapa ulama dan mazhab sudah
berpendapat, maka lakukan apa yang diyakini dan janganlah bertaqlid buta, yakni
mengikuti tanpa tahu dasarnya. Dan janganlah langsung ‘menghakimi’ keyakinan
seseorang yang berbeda keyakinan mengenai hal ini, karena hanya Allah sajalah
yang paling mengetahui mana yang paling benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar