Tinggal selangkah lagi Indonesia
akan memiliki pemimpin baru. Pesta Demokrasi sudah ditabuh. Semua kader,
simpatisan, Calon Legislatif, Para petinggi negeri ini sudah bersiap-siap keluarkan
semua jurus saktinya. Seperti biasa; penuh janji bombastis, terkadang tidak
realistis, kurang menggigit, terlalu normatif, jauh dari inovatif dan satu lagi
mulai halalkan segala cara agar menang.
Psywar, perang urat syaraf dimedia
masa sudah tidak terbendung lagi, terkadang malah bersikap tidak apresiatif,
menggulung lawan dengan data-data palsu atau bersikap melebih-lebihkan, hingga
membuat masyarakat awam muak, apalagi lewat facebook, twiteer yang penggunanya
berupaya mempengaruhi pengguna lain dengan cara-cara kurang santun.
Lalu, sebagian besar masyarakat dalam berbagai
kelas bertanya seragam; masih adakah calon pemimpin negeri yang bisa dipercaya
untuk menggiring negara besar ini nan multidimensional, multicultural dan multi
kepentingan ini ketempat yang lebih baik? Negara yang bermoral dan bermartabat
tinggi, sukses memberdayakan seluruh asset didalamnya hanya untuk kesejahteraan
rakyat tanpa tergesek oleh berbagai kepentingan pribadi atau golongan?
Pemimpin yang bisa kembalikan lagi kejayaaan seperti masa
lalu, jaman kerajaan Majapahit, atau paling tidak pernah mendapat julukan
sebagai macan Asia, bukan macan ompong seperti sekarang ini setelah bombardir
stigma buruk dan minim prestasi.
Dicari:
Pemimpin bukan Pemimpi
Sebenarnya
hakekat seorang pemimpin itu seperti apa? Apakah dia hanya seorang ala kadarnya
yang mendapat dukungan dari banyak pihak? Mempunyai dana yang banyak hingga
bisa membeli ‘suara’, atau ia hanya sekedar seorang dihormati oleh kelompoknya,
padahal kapasitas untuk memimpin kurang memadai?
Menurut Young (Kartono, 2003),
memberikan pengertian kepemimpinan sebagai suatu bentuk dominasi yang didasari
kemampuan pribadi yang akhirnya sanggup dalam mengajak atau mendorong orang lain untuk berbuat sesuatu yang
berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat
bagi situasi khusus.
Dari pendapat ini bisa disimpulkan
jika kepimpinan itu merupakan kemampuan dalam hal mempengaruhi orang lain
mengenai tingkah laku bawahan atau kelompoknya, dan ia memiliki keahlian khusus
dalam berbagai bidang yang diinginkan oleh kelompoknya untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok.
Terlepas dari semua itu sebenarnya
kemampuan memimpin itu bak sebuah seni seperi yang ungkap oleh Terry (Kartono,
2003) untuk bekerjasama dan membimbing orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Kalimat ‘seni’ tentu akan mempunyai presepsi luas menurut penulis,
dimana ia tidak kaku untuk meluapkan semua ide-idenya agar terealisai secara
berkelas, mempunyai cita rasa tinggi, penuh humanis tak otoriter namun mengena
pada semua kalangan. Apalagi seorang pemimpin yang berkenan untuk membimbing orang
lain dalam mencapai tujuannya.
Berbagai gagasan muncul untuk
mencari sosok pemimpin negeri katulistiwa ini, salah satunya muncul dari rektor
Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid. Ia ingin di Indonesia
akhirnya ada seorang pemimpin yang memiliki akseptabilitas dan kapasitas
memadai, mempunyai pengalaman birokrasi yang baik dan jujur, tegas, berani,
cepat mengambil keputusan dan tidak tersandera oleh persoalan masa lalu,
memiliki sifat-sifat negarawan, mengayomo semua kalangan dan miliki kemampuan
prima dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang tiada habisnya.
Beberapa kali ganti pemimpin di
negeri ini secara umum kurang memuaskan banyak pihak, seusai mereka menjalankan
jabatannya. Meninggalkan banyak Pekerjaan Rumah, kemiskinan, kesemrawutan
birokasi dan politik, hutang dan
masalah-masalah yang hampir tak pernah diselesaikan secara tuntas. Hingga bisa
dikatakan bangsa ini menjadi krisis kepemimpinan nasional.
Adanya krisis kepemimpinan ini
dikhawatirkan bisa memunculkan chaos yang lebih besar, dan ini akan diprediksi
akan meningkatkan golput dalam setiap event pemilu legislative, pemilihan
presiden atau Pilkada. Meski ini tidak bisa menjadi acuan secara mutlak, namun
tanda-tanda kearah itu mulai nampak menguat.
Keinginan untuk mendapatkan pemimpin
yang tak sekedar pandai bermimpi terlalu
mendesak untuk saat ini. Paling tidak seorang pemimpin yang transformasional,
punyai kepribadian matang, kharismatik, inspiratif, partisipatif tak cenderung pada satu partai saja saat ia
berkuasa, cerdas, tegas, jauh dari nepotisme dan money politics, dan tentu pemimpin yang dikenal rakyatnya.
Kapabilitas Gajahmada yang Kredibel
sebagai Pemimpin
Setelah sekian lama mencari
tokoh yang komplit dan mendekati
sempurna memimpin sebuah Negara kecil yang akhirnya menjadi luas dan menyatukan
seluruh nusantara dan merupakan tokoh
dalam negeri yang sangat erat dengan segala filosofinya, maka saya menjatuhkan
pilihan pada tokoh panutan di negeri ini pada sosok Gajah Mada. Tokoh yang sering dilupakan saat generasi sekarang sibuk
mengais-ngais contoh panutan, padahal ia figur yang mendekati sempurna.
Paling
mudah diingat: dia sosok yang tinggi, besar dan kuat. Hingga tak heran rakyat
sudah merasa nyaman dengan fisiknya, seolah
akan menghadang musuh yang akan mengintai dan merusak wilayahnya, memberi pengayoman dan perlindungan.
“Saya baru akan berhenti berpuasa makan buah palapa,
jikalau nusantara sudah takluk dibawah kekuasaan Majapahit” katanya lantang. Dan itu memang dibuktikannya. Ia bahkan
disejajarkan dengan para filusuf Yunani Kuno macam Aristoteles, Plato dan
Socrates saat pemikirannya yang berbau filsafat mencoba ditengahkannya. Dan
Semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah sumbangsihnya dalam persatukan nusantara
pada masyarakat yang multi etnis, multikultural dan multi kepentingan.
Satu pesan moral sang legenda perubahan ini yang patut
dicermati, bahwa jika hidup dalam suatu perkumpulan, hanya ada dua pilihan.
Jika bukan merupakan pemimpin, maka ia sejatinya seorang yang dipimpin. Pemimimpin
yang ideal menurutnya harus memiliki
kapabilitas kemampuan dan pengetahuan (soul sebagai seorang pemimpin) untuk
memimpin, dan berani untuk mengorbankan dirinya secara komplit, waktu, tenaga,
pikiran bahkan jiwanya untuk tujuan
bersama yang dicapai, bukan sebaliknya mengorbankan anak buah, rakyatnya
demi sebuah kepentingan dan tujuan pribadi atau golongannya, dan ia dapat
diterima oleh semua kalangan.
Sedang menjadi rakyat atau anggota harus loyal dan
pemimpinnya, ia harus momosisikan diri untuk patuh dan taat dan ikhlas
dipimpin. Ia pun harus rela berkorban juga kerja keras ntuk berjuang
bersama-sama pemimpinnya untuk mewujudkan negeri yang sejahtera, dan ini sering
disebut Setya Bela Bakti Prabu.
Ternyata, ada beberapa pemikiran dari Gajah Mada lain,
yang bisa menjadi semacam masterpiece untuk pemimpin harapan yang sangat layak untuk
disimak, dan ditiru karena kenegarawan, kecerdasannya, loyalitasnya, totalitasnya juga daya juangnya serta
kemampuan dalam mengelola hati memang terbukti sukses membawa perubahan yang
cukup signifikan bahkan drastis dalam menyejahterakan masyarakatnya.
Purwadi dalam bukunya, ‘Misteri Gajah Mada’ yang
diterbitkan pada tahun 2009, atau novel sejarah dari Langit Khrena Harjadi
menelaah ternyata paling tidak ada 18
prinsip-prinsip kepemimpinan ideal berdimensi moral, marjinal dan spiritual yang
memang harus diterapkan jika sebuah negara ingin menjadi wilayah yang makmur,
aman, sentosa dan menjadi daerah yang penuh martabat karena disegani oleh
bangsa lain. Ilmu kepermimpin itu adalah:
- Mantriwira , yakni merupakan sikap berani dalam penegakan HAM
(hak asasi manusia), kebenaran dan keadilan. Sikap ini sepertinya normatif
belaka, namun sayang pemimpin negeri ini hampir dikatakan sukar sekali
menerapkan hal ini, apalagi pelanggaran itu dilakukan oleh kroni-kroninya.
- Sarjawa upasama, adalah sikap jauh dari arogan dan berupaya menjadi
pemimpin yang rendah hati. Pemimpin yang bersikap tidak bersahabat dengan
rakyat, dilayani bak raja, bukan menjadi ‘abdi masyarakat’, bersikap
otoriter, akan sangat dibenci oleh rakyatnya.
- Sumantri, yakni sikap jujur, tegas, bersih dan miliki wibawa.
- Tan sutrisna atau tidak pilih kasih. Semua rakyat memiliki
kesempatan yang sama, kedudukan yang sama, meski mereka kaum papa sekalipun,
seharusnya tidak disingkirkan atau disisihkan saat harus berhadapan dengan
kaum bangsawan, atau pembesar.
- Nagara
gineng pratijna merupakan sikap pemimpin yang penting saat ini karena
ia harus mengutamakan kepentingan negera diatas semua kepentingan, yakni
kepentingan pribadi, atau golongan.
- Masihi samasta bhuwana yakni sikap yang dicintai seluruh rakyatnya,
dihormati dan dibutuhkan.
- Natangguan yakni legimitasi dan kepercayaan dari masyarakat.
Besar kecil legitimasi seorang pemimpin ini sangat menetukan nasib
bangsanya. Apakah akan berjalan eefektif, hanya pengulangan
program-program lalu yang basi . Pemimpinan seharusnya kreatif dalam
meramu program yang masuk akal, cerdas dan benar-benar bisa dilaksanakan
oleh seluruh elemen bangsa.
- Satya Bhakti Prabu adalah sikap yang setia pada negara. Setia bukan
hanya berarti ia tetap berkutat dan berdiam dinegaranya, namun lebih pada
dimensi yang luas.
- Wagmiwag,
slogan ‘diam adalah emas’ sangat dihindari untuk seorang pemimpin.
Kemampuan berbicara bahkan menduduki porsi utama.
- Dhirotsaha merupakan sikap tekun bekerja. Seorang pemimpin diharapkan mampu
bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya membentuk negara yang hebat.
- Dibyacitta merupakan sikap lapang dada dan mau menerima pendapat
oranglain.
- Nayaken musuh adalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki
seorang pemimpin yang mampu mengangani musuh dari dalam dan luar dirinya.
Yakni hawa nafsu dan agresi dari negara lain yang akan porak porandakan
negara ini.
- Ambek
paramartha adalah sikap seorang pemimpin yang mampu bermain dalam
skala prioritas.
- Waspada purwartha merupakan sikap waspada dan selalu intropeksi saat
melakukan perbaikan.
- Wijaya, berjiwa tenang, diharapkan pemimpin itu mau mententramkan segenap jiwa
rakyatnya, bijaksana, tidak panik saat ada persoalan besar negara harus
diselesaikan dengan cepat.
- Prasaja, adalah sikap pemimpin yang sangat disukai rakyat, yakni sikap yang
bersahaja, tidak foya-foya. Ia akan mengajari rakyatnya untuk tidak
bersikap hedonisme, menghambur-hamburkan uang rakyat untuk keperluan
pribadi yang tak bermanfaat.
- Prajna, pemimpin diharapkan punya ilmu pengetahuan tinggi dalam bidang ilmu
umum agama, sosial, tahu tentang militer dan kemasyarakatan.
- Handayani hanyakra purawa, seorang pemimpin harus
bisa memberi semangat bagi kaum mudanya untuk berkarya lebih baik dan
hebat lagi dari pada kaum sebelumnya.
Masih ada beberapa lagi wacana dari sang Gajah Mada
mengenai pemimpin harapan negara itu. Ia menyampaikan ini bukan hanya sekedar
pepesan kosong,namun dibuktikan dengan langkah nyata dan sukses!
Ayo
bangkitlah Indonesia, dulu kita bisa, berarti kita sekarang juga mampu.
Rapatkan barisan bulatkan niat dan tekad, memilihlah dengan hati bersih dan
cerdas. Memilih karena memang harus memilih, bukan karena tak ada pilihan. Dan
kami semua menunggu Pemimpin harapan yang sanggup berreinkarnasi bak Maha Patih
Gajah Mada..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar