Amanat perempuan harus
terakomodasi 30 persen dalam kepengurusan dan rekrutmen kader partai politik
dalam undang-undang no.2 tahun 2011 pasal 29 ayat 1a tentang politik, memang
sudah menggelitikkan para perempuan untuk terjun ke ranah panas politik 2014
mendatang. Posisi tawar menawar perempuan yang potensial dalam segala bidangpun
mulai riuh terlihat. Para kader partai yang
didominasi laki-laki inipun mulai gencar mencari kader dari perempuan sebagai ‘penggenap’ kuota, tanpa
terlalu perhatikan kualitas terbaik mereka.
Mengapa
perempuan harus didorong-dorong untuk berpolitik? Ternyata ada beberapa sebab
yang menghalangi mereka tak tertarik dengan politik, meski isyarat dan lenggak
lenggok perempuan dalam kancah politik tahun 2009 lalu sudah terlihat ramai.
Namun ternyata hanya terpenuhi 18 persen
saja para perempuan duduk pada Dewan Perwakilan Rakyat dari 560 orang,
sangat-sangat jauh kuota 30 persen. Padahal seperti diketahui separuh lebih
penduduk Indonesia adalah perempuan. Maka perlu perhatian ekstra perempuan
terwakilkan suaranya dalam berpolitik.
Undang-undang
yang berpihak pada kaum perempuan dan anak-anak, ternyata masih sangat-sangat
minim. Keberpihakan hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial pada wanita dan anak masih jauh dari perhatian yang
maksimal, padahal mereka adalah pihak yang rentan dan rapuh dalam banyak hal.
Alasan
apa sebenarnya yang paling spesifik membuat kaum perempuan enggan berpolitik
dibanding dengan laki-laki? Kebanyakan genderlah yang menjadi masalah utama.
Cengkraman kuat dalam pola pikir jika seorang perempuan yang sebatas pada
lingkup mengurus rumah, anak dan lingkungan saja tanpa mau berjibaku dengan
para lelaki mengerahkan daya mengurus dan memikirkan dengan keras untuk kesejahteraan
dan mengelola negara. Dan hal itu merupakan pekerjaan berat bagi kaum
perempuan. Karena rata-rata mereka sadar panasnya suhu politik bisa
menyengat hingga melengkapi keengganan
mereka dalam mendekat ke ranah politik. Karena mengira yang kuatlah untuk
menanggung beban seberat itu, dan hal yang demikian itu paling cocok untuk
pekerjaan lelaki.
Selain
itu ternyata kebanyakan para perempuan menganggap jika nilai-nilai budaya
bahkan agama merupakan hambatan terbesar buat mereka untuk berpolitik. Hal ini
dikutip dari pernyataan Sri Wahyuni Ketua LSM daerah Anambas (Kepri). Disana
menciptakan atau sudah terbiasa dengan kultur jika kaum laki-lakilah yang
berhak dan terbiasa untuk memimpin, bukan sebaliknya. Dan pendapat kelompok
demikian sukses mendikotomi pemikiran para perempuan untuk kritis menyuarakan
aspirasi meraka dan nyaman terbelenggu dengan nilai-nilai budaya negative yang
mereka anut.
Namun
hal ini juga diperparah dengan anggota legistalif dikalangan perempuan yang
sudah terpilih untuk tidak aktif menggalang, mengarahkan dan berdialog bahkan
berusaha dengan aktif untuk berpihak secara kritis terhadap masalah-masalah
perempuan. Mereka malah nyaman dengan planning atau draf yang di sampaikan oleh
kaum laki-laki, tanpa banyak berusaha kreatif untuk temukan celah yang terbaik
untuk perempuan.
Anggota
DPR dari kalangan perempuan yang demikian itu jadi pertanyaan besar dari
masyarakat. Jika mereka hanya mengikuti alur yang berlaku, tanpa banyak
menghasilkan undang-undang untuk membela hak kaum wanita dan anak-anak, lalu
apa gunanya membangkitkan dan mengejar 30 persen kuota jika tak banyak
berubahan yang membangun untuk kaum perempuan?
Menurut
hemat saya, angka dan kouta itu tak terlalu penting. Kapabilitas dan kualitas
para perempuan yang terjun ke ranah politiklah yang perlu dikejar, diperbaiki,
diusahakan dan ditingkatkan. Belajar dari sejarah, tak perlu banyak orang yang
tak berkualitas memimpin negeri ini, cukup beri satu, dua atau tiga saja
pemimpin yang berkualitas, amanah, mau bekerja keras dan tulus ikhlas merubah
negeri kearah kesejahteraan yang lebih baiklah yang diutamakan.
Untuk
itu perempuan perlu diberi pengetahuan yang mumpuni sesuai dengan bidangnya,
tak hanya sekedar berani untuk tampil dan merasakan panasnya kursi anggota
dewan. Lantang menyuarakan kebenaran, mau bekerja blusukan, turun kebawah atau apapun namanya untuk benar-benar
mendengar aspirasi kaumnya dan kemudian membuat draf yang bisa dijadikan
undang-undang untuk perbaikan perempuan itu sendiri.
Permasalahan
klasik yang belum bisa ditemukan jalan keluarnya sejak dahulu, yakni TKI yang
menyumbang devisa cukup tinggi, tak pernah mendapatkan penyelesaian serius dari
pemerintah. Terus saja ada masalah dengan mereka. Dari persoalan gaji,
kesehatan, keselamatan dan keadilan belum juga tersentuh dengan baik. Belum
lagi banyak sekali para TKI perempuan yang bermasalah hukum hampir tak pernah
mendapat perhatian serius dari anggota DPR perempuan kita. Ratusan TKI di Timur
tengah yang terlantar dipinggir jalan, di bawah jembatan dan itu sangat
menyolok mata, dan sudah ditangkap kamera dan dipublishpun seolah menjadi hal
yang biasa saja. Sangat miris.
Kesehatan
reproduksi, dimana ibu hamil dan melahirkan di Indonesia mempunyai angka cukup
tinggi dalam hal kematian, begitu pula bayi yang baru dilahirkan, menjadi
sebuah ironi. Mengapa hal demikian kurang dapat sorotan optimal dari kaum
perempuan yang duduk di kursi DPR. Belum lagi masalah pelecehan kaum wanita,
bullying yang dilakukan kepala keluarga
kepD iatri dan anak-anak, keselamatan para wanita terhadap kehormatannya
ditempat umum, pemerkosaan, pencabulan dilakukan oleh orang terdekat dan
orang-orang yang tak dikenal, sampai perdagangan manusia untuk transaksi
seksual sungguh sudah sangat memprihatinkan.
Belum
lagi kemiskinan yang didera kaum wanita karena pendidikannya tidak tinggi
hingga membuat mereka banyak yang berpikir pendek untuk melakukan pekerjaan
rendah dengan gaji yang tak memadai, sehingga mereka mudah sekali terjerumus hal-hal yang negative. Pekerjaan
rumah yang sangat banyak bagi calon legislative perempuan yang ingin maju tahun
2014 mendatang perlu mendapat perhatian serius.
Kemampuan
wanita untuk lantang menyuarakan, membuat prestasi yang berarti dikancah
politik itulah yang seharusnya mulai dikejar. Hal yang terbaik dilakukan
sepertinya menyeleksi kaum perempuan
sebelum duduk dikursi dewan, atau saat berjuang dipartainya masing-masing untuk
didbekali ilmu yang mumpuni, attitude
yang memadai, loyalitas bukan hanya kepada partai yang mengusungnya, namun
lebih kepada memperjuangkan hak-hak perempuan dengan lebih serius. Kecerdasan
untuk mengelola pikir dan jiwa perlu juga diasah. Tunjukkan jika wanita bisa
berbuat nyata untuk kaumnya pada khususnya dan negeri ini pada umumnya, bukan
hanya sekedar gincu pemanis dalam
politik dan kejar target kuota 30 persen itu.
Termuat dalam majalah Potret Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar