“Buku terbaru apa yang terbit lagi,
nduk?” Tanya ibu saya suatu hari. Kupandangi wajah keriputnya. Sisa-sisa
kecantikannya masih tergambar dengan jelas. Entah kenapa ibu selalu mempunyai
semacam sinyal jika ada buku terbaruku yang akan terbit. Beliau akan sangat
sumringah menerimanya. Saya tidak tahu jika sebenarnya ibu selalu saja
menceritakan pada kerabat, tetangga kami dulu (sebelum beliau pindah ke
rumahnya kakak perempuanku) dan teman-temannya dengan mata penuh binar dan
kebanggan meluap tentang apa yang saya kerjakan beberapa tahun terakhir.
Padahal apalah saya,..
Sebagai anak ke enam dari tujuh
bersaudara, dimana hanya dua orang saja wanitanya dan sisanya saudara kandung
laki-laki, tentu penuh warna perjalanan kehidupanku. Untuk tetap eksis
menjalani sekolah sampai sarjana, sepertinya ‘penuh perjuangan’. Bagaimana
tidak, saya menjadi yatim sejak usia 7 tahun. Ayah meninggal saat beliau
berusia 43 tahun,. Alhamdulillah-nya, ibu menjadi seorang guru pada sebuah sekolah
menengah pertama negeri di kotaku, Yogyakarta. Meski tersaruk, bayangkan 7
anak, hampir semuanya menyelesaikan kuliahnya.
Foto bersejarah saat adik bungsu lahir, dalam formasi lengkap
Ibu seorang yang tangguh. Menggiring
7 anak dengan karakter berbeda, apalagi saat belum ada yang lulus kuliah,
beliau sudah akan pensiun. Semua anak hampir berpandangan, menyelesaikan
sekolah dengan apa? Entahlah dengan hutang sana-sini, mencukupi kebutuhan
sehari-hari dan uang SPP kami, apalagi sebagai single parent. Hanya Allah yang sepertinya membantu kami, ini
rahasiaNya, Dia membantu kami dari arah yang tak disangka-sangka, entah depan,
belakang, bawah dan tentu dari arah atas…
Satu kata yang sebenarnya bisa
kuungkap dari seorang ibu. Tak pernah marah, sabarnya tak terhingga, sangat
jauh dari sifat saya yang sering naik darah dan begitu emosional, yang ternyata
sifat ini menurun dari ayah saya. Hanya saja, saya dan ibu kadang dan bahkan
sering berbeda pendapat tentang sesuatu,..hmm bahkan banyak hal!
Ternyata, ada sifat pertahanan diri
saya ini terbentuk semenjak ayah wafat,
dan ini tidak saya sadari. Begitu ingin menyembunyikan kesedihan, tak bisa urai
dengan siapapun juga termasuk keluarga dan ibu semenjak kecil. Ibu yang ingin
tetap menghidupi kami dengan cara apapun asalkan halal hingga kami bertujuh tak
kelaparan. Hanya saja terkadang persinggungan dengan teman-teman atau koleganya
yang kerjanya bak seperti makelar yang menjual tanah, rumah bahkan kadang
benda-benda antic masalalu, membuat saya tidak terlalu suka. Buat saya,
sambilan seperti itu tidak bermanfaat, menghabiskan banyak waktu dan tidak
membuahkan hasil apapun, bahkan kadang tekor karena sering terkena tipu
temannya. Dan anehnya, beliau tak pernah gentar dan surut semangat dengan upaya
mencari tambahan rezeki dengan jalan seperti ini, mungkin sudah menjadi
hobinya, mungkin. Dan inilah membuat saya sering silang pendapat dengannya.
Hidup memang berjalan. Tak
seharusnya disesali jalan hidup seperti apa yang kadang tak kuingini. Sejak
kecil memang kami hidup dengan ‘cara’ kami masing-masing untuk bertahan. Hampir
semua kakak-kakakku dan adikku lulus sarjana dengan perjuangan yang penuh
warna, kebanyakan dari mereka bekerja
sambil kuliah, sepertinya cara lain untuk mengharap uang turun langsung dari
langit memang tak pernah terjadi. Kami seolah paham, memang berbeda dengan
anak-anak lain dengan keluarga utuh dan kecukupan. Merengek pada ibu untuk
biaya ini –itu tentu sudah tak mungkin kami lakukan, sudah cukup ‘derita’ ibu
mengasuh dan membesarkan kami semua.
Dan akhirnya, hampir semua dari kami
‘jadi’. Kebanyakan memang menjadi dosen disebuah universitas negeri, jika bukan
dari kami, pastilah dari pasangan kami. Lalu saya? Hanya bekerja sebentar pada
sebuah lembaga pendidikan computer, kemudian tak tahan melihat anak pertama
saya yang kala itu masih bayi, tiap hari dititipkan pada tetangga, maklum di
Kota Solo, saya dan suami memang bak ‘anak tiri’, tak ada saudara. Maka dengan
kesadaran penuh, saya menyatakan saat itu berhenti bekerja diluar rumah, dan
focus mengasuh anak-anak yang akhirnya berjumlah 3, dan biarlah suami yang menghidupi kami, sebagai seorang Dosen di PTN di kota Solo.
Meski sempat merasa tidak berguna,
tidak merasa keren dan tak mempunyai penghasilan sendiri, namun tetap niat
tetap kuat bulat untuk tak bergeser dan beranjak dari rumah untuk membantu
mencari rezeki. Lalu apa tanggapan ibu?
Sama sekali tidak pernah mengusik
keputusan saya sebagai seorang lulusan perguruan tinggi negeri yang hanya menjadi
ibu rumah tangga saja. Bahkan hanya sekedar bertanya, “Kenapa tidak mencoba
pekerjaan lain? “ atau hanya mengingatkan posisi saya, “Ndak malu menjadi sarjana pengangguran saja?”
Ibu tetap tersenyum, walau mungkin
dalam hatinya menginginkan saya mengembangkan potensi yang ada. Beliau menerima
saya dan cucu-cucunya bak ‘keluarga istimewa’ saat mengunjunginya di Yogya. Dan
hebatnya, dari dulu sampai sekarang selalu menghargai sekecil apapun prestasi
yang kami dapatkan, entah hanya ikutan lomba antar RT, RW, Kecamatan, tentu
tingkat provinsi. Ohya sampai lupa, kami sebenarnya adalah keluarga seniman.
Ada tiga dari keluargaku yang menjadi pengajar di Universitas dalam bidang
Seni, entah desain grafis, desain interior,
atau seni patung. Bukan Cuma itu, keluarga besar kami, seperti Pakde dan
ponakan-ponakan dari keturunan nenek
saya, bekerja pada bidang yang sama, bisa melukis dan perupa. Yang membanggakan
pakde pernah menerima penghargaan tertinggi dari pemerintah atas dedikasinya
merancang ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk pertama kalinya!
Maka jangan heran di buffet ruang tamu keluarga, berjejer
puluhan piala dari ratusan lomba melukis dari keluarga kami. Tapi jangan salah,
hampir tak ada satupun piala saya. Kok bisa? Ha ha ha sayang sekali bakat itu
hampir sama sekali tidak menyentuh saya. Mungkin sedari kecil ketertarikanku
dalam bidang lain, berpuisi, ikut kelompok paduan suara dan menari dan
membaca-baca karya sastra. Ibu tidak pernah kecewa denganku, sekecil apapun
upaya yang kulakukan selalu beliau dukung. “Ayo Candra, kamu pasti bisa!”,
sambil memelukku ketika saya akan pentas entah ditelevisi local maupun dalam
sebuah acara kecil-kecilan.
Peluk, cium dan dorongan yang begitu
kuat dari Ibu saya selalu mengalir sampai kini. Tidak pernah mengumpat,
membanding-bandingkan dengan kakak-kakak lainnya, meski ‘miskin’ prestasi,
selalu yang dikatakan,”kau-lah anak kesayangan ibu..”, padahal tiap anak
mungkin kalimat itu selalu mengalir dibibirnya.
Hingga pada satu titik tak terduga
dari sebuah penantian panjangku mengenali potensi diri yang tertutup rapat
sejak berpuluh tahun. Ya, menulis. Walau saat awal kutunjukan hasil menulisku
membuat beliau berbinar-binar ceria, namun keceriaannya tak berkurang saat
lebih dari sepuluh buku hasil karya saya kusodorkan pada beliau. “Tahu tidak,
temanmu masa remajamu Dewi, juga Mbak Nunik saudara sepupumu , kemudian Gurumu
saat SMP, Bu Veronika, teman-temanmu yang lain
selalu menanyakan kamu, setelah kuberitahu jika sekarang kamu menjadi
penulis..” Wajah bangganya tak bisa disembunyikan dari seorang Ibu.
Aku dan Ibuku tersayang, ternyata kami 'manis' semua..
Saya tersenyum. Entahlah, membuat
seorang ibu berbangga dan berbahagia itu sebenarnya sederhana. Bukan sodoran
harta yang melimpah untuknya. Sikap baik, sopan menghargainya sebagai seorang
Ibu dan melejitkan potensi positif akan menyejukkan hatinya. Sebuah buku yang
berjudul “Kisah Ibu Hebat Sepanjang Hayat”, beberapa waktu sudah kutulis.
Berharap sungguh buku itu terbit tidak terlalu lama lagi. Semoga buku itu hadir
pada saat yang tepat, dan masih diberi kesempatan dibaca oleh wanita-wanita yang kukasihi, karena memang kupersembahkan untuk ibu-ibu hebat sepanjang
hayat, terutama ibu saya, Ibu Marsilah Sudewo dan ibu mertua, Siti Muthmainah…
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera http://abdulcholik.com/2014/11/03/kontes-unggulan-hati-ibu-seluas-samudera/
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
nggih sami2 pakde
BalasHapus