Sebenarnya boring nunggu anak keluar dari kelasnya, meski saya tak sendiri karena ditemani seorang lelaki tampan disamping. eits..jangan pikiran enggak-enggak dulu ya, tentu ia adalah bapaknya Fian, bapak dari anak yang kutunggu itu.
Disela-sela jenuh yang melada, karena percakapan seolah sudah saya habiskan diperjalanan tadi, saya menyenggol bapaknya Fian untuk memperhatikan anak perempuan yang sepertinya juga kelas satu SD yang menunggu jemputan pulang. Kulirik jam, sepertinya sudah 40 menit berlalu anak itu sabar dalam penantiannya. Tiba-tiba ia minta hapenya pak Satpam SD untuk dipinjamnya dan.."Halo..mamah dimana neh? luama buanget ndak jemput ki piye? sekarang mamah baru apa? ha? piye dimatikan saja hapenya sana..." katanya lantang.
Saya tersenyum.Bukan main 'kendel' bin beraninya anak itu. Bila dibanding Fian, boro-boro mau pinjem hape-nya pak Satpam untuk beritahu simbok-nya kalau sedang lupa njemput, lha wong bilang sama pak gurunya untuk tidak mau les hari ini saja ndak mau. katanya malu. Padahal yang les cuma dua orang saja, dan pak guru yang baik hati lagi ndak galak itu gurunya sendiri yang mengajar hampir setahun ini.
Ya, Si kecilku itu memang masih les. Karena memang diantara teman-temannya ia agak keteteran. Bukannya mengapa, sebenarnya dia belum siap untuk sekolah SD. Pemahaman sama soal yang diberikan padanya masih membuatnya 'geleng-geleng kepala'. Segi usia yang juga teramat muda, faktor kusekolahkan di SD favorit turut "memperburuk" kondisinya. Permasalahannya ia harus mengejar ketertinggalan degan berlari, bukan sekedar jalan cepat.
Diujung gelisah saya, pernah mau saya les-kan ketempat les "pembuka otak kanak, kiri, tengah-belakang-samping-atas-bawah.." sudah mendaftar dan hampir membayar biayanya, cuma setelah dipikir-pikir, dengan biaya sebegitu besar (bisa diibaratkan bisa untuk beli laptop), namun fasilitasnya tak maksimal. Hanya 2 kali pertemuan bersama orangtua di hotel berbintang, dan 4 kali terapi. Kutanya, "jika hasilnya tak seperti yang diharapkan, apa tidakannya?" jawaban CS-nya taktis, "ya ikut lagi program perawatan lanjutan dengan biaya sekian,.sekian..".
Wah buat saya namanya 'pemerasan', lha ngapain harus ke hotel berbintang segala, kalau membuat biaya kursus itu jadi menjulang tinggi. Dan jika target gak tercapai, ngapain juga sana tak tanggung jawab menyelesaikan target itu, dan malah harus membayar lagi dengan biaya yang tak sedikit.
So, apa nih yang harus saya lakukan untuk Fian? Ya, saya percayakan saja les itu pada gurunya jika disekolah, dan kami bimbing lagi dirumah.Sambil menerangkan dengan bahasa yang mudah dimengertinya.
Sebenarnya, sudah banyak kemajuan pesat dari si kecilku ini. Cuma harus berlari mengejar banyak ketinggalan, padahal ia hanya bisa berjalan dengan cepat dan terengah-engah. Suamiku sampai bilang ,"Lha mau gimana lagi, ndak bisa disamain dengan kakak-kakaknya yang bisa berprestasi di kelas, setiap anak memang beda.."
Ya, emang setiap anak itu beda. Tak bisa disamakan dengan yang lain, juga dalam pemahamannya. Lha wong saat SD dan SMP saja saya sama sekali tak berprestasi. Baru saat di MAN lumayan bisa tersenyum, karena saya bersekolah di tempat yang tepat. InsyaAllah si kecilku Fian ini, masih sangaat bisa berkembang; maklum seperti kabel yang masih banyak yang belum terhubung sempurna.
Bicara tentang cerdas, siapa sih yang tak mau buah hatinya dikategorikan cerdas? seolah-olah bisa menjadikan kunci 'pas' yang bisa masuk ke dunia apa saja. Adapula seorang pendidik yang dengan tega 'menghina' anak didiknya yang masih belum dikategorikan cerdas, status dimasyarakat yang selalu tanya setiap kenaikan kelas,"Rangking berapa?", walaupun memang wajar, bisa terlihat dengan jelas, anak yang pintar selalu mendapat tempat.
lalu, bagaimana dengan anak yang basa-biasa saja, dan merasa sedih saat mau cari sekolah setelah kelulusan? Banyak yang mengira; jika tak sekolah di negeri yang punya NEM tinggi, itu berarti 'warga kelas dua', yang siap-siap dilempar ke sekolah swasta...
Hhiihi padahal sekolah swasta yang notabene berbasic agama sebenarnya punya nilai plus yang sangat tinggi. Sangat sederhana sebenarnya nilai plusnya: bukan lengkap ada lab multimedia, perpustakaan, lab IPA, kesenian dan kegiatan yang jempolan, guru-guru berprestasi dan lainnya,..nilai plus-nya adalah mengajak anak untu berakhlak mulia, cerdas pikir, cerdas hati. Sehingga, tanpa memikirkan berapa nilai NEM anak, dua anak saya langsung kami 'lempar' ke pesantren, lho kok lempar..maaf yang benar 'tempatkan'..
Tapi hidup memang pilihan kok, jika memang mau kesekolah negeri, satu wanti-wanti saya, perhatikan masalah akhlak anak, pergaulan dan ibadahnya. Memang sih, bersekolah di basic agama tak serta merta menjadikan mereka mempunyai akhlak yang baik, kadang bahkan ada yang tetap buruk, hanya berjaga-jaga saja tempatkan anak pada lingkungan yang tepat.
Sebenarnya, lagipula kecerdasan bukanlah yang utama masuk surga. hampir semua ayat, tak ada yang menyebutkan"hai orang-orang yang pandai...atau hai orang-orang yang kaya..", mesti yang ada, "hai orang-orang yang beriman..." atau "hai manusia..". Cerdas, kaya, miskin, kurang pintar, cantik, jelek, besar kecil semuanya hanya ditimbang adalah iman-nya pada Sang Pemberi Hidup. Akan sangat indah jika beriman tapi cerdas dan kaya, sebaliknya bukan jadi orang bangkrut: sudah miskin, jelek, tak cerdas lagi buruk perlakuannya.
Kembali kulirik anak perempuan itu yang masih menunggu jemputannya. Ia mulai bercerita dengan teman lelaki disebelahnya. Membahas mobil Pajero sport, ertiga, merk Toyota, Daihatsu, suzuki dengan fasihnya, lengkap dengan spesifikasinya..sedang di ujung korior, terlihat si hitam manisku datang, tersenyum dan menghambur memelukku.
Sambil menerawang, teringat dulu saat dia berusia tiga setengah tahun ia pernah sangat cerdas, melebihi juara dunia Rubiks kala itu. bagaimana tidak, saat itu sedang getol-getolnya permainan rubiks. Unjuk menjinakkan satu sisi saja, saya bisa seharian, belum tentu bisa. Bahkan Bapaknya Fian saat itu iseng-iseng mencoba rubiks yang tergeletak milik Fani anak sulung kami, beberapa waktu dicobanya akhirnya menyerah diletakkan lagi kelantai. Fian yang saat itu berusia tiga setengah tahun langsung mengambil rubiks tadi, dan menjinakkan empat sisinya dalam waktu kurang dari sepuluh detik! Kami sangat terkejut dan saling berpandangan..saat ia bilang "Pak,..jadi..pak.." sambil menyerahkan hasil rubiks tadi.
Ditengah penasaran, bapaknya mencoba obrak abrik rubiks tadi menjadi cerai berai, dan diserahkan kembali padanya. Kakak-kakaknya ketakutan semua berhambur mendekati saya diruang sebelah, takut karena ada hal aneh terjadi.. Tiba-tiba dibelakang kami dalam hitungan detik Fian datang dengan membawa rubiks tadi dan berkata,"Hore..jadi lagi..."
Usut punya usut ternyata sepertinya yang menggerakan dan membantu menjadikan rubiks tadi memang bukan Fian sendiri, kupikir saat saya membezuk tetangga jauh yang tengah sakit, yang ditengarai banyak jin dirumahnya ikut pulang bersama kami, dan salah satunya ikut membantu Fian tadi. Karena hari berikut Fian di tes, tidak bisa lagi menjinakkan rubiks itu. Hihiihi..meski geli bercampur horor, cerita kepandaian Fian bermain rubiks tak lupa menjadi bumbu cerita lucu kami sampai hari ini..
Meski tak sama dengan perempuan kecil itu, Fian-ku
tetap bidadari kami, ia akan indah pada masa dan waktunya. Suatu hari
kelak, insyaAllah akan buktikan pada kami. Ia akan padukan cerdas hati
dan pikirnya, untuk hal yang baik dan bermanfaat untuk dirinya dan
sekitarnya,..aamiin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar