Buat saya, kehidupan pernikahan adalah segalanya, seperti bernafas, tanpa suami dan anak-anak--maka saya akan "mati".
Sebegitunya?
Memang iya. saya selalu menempatkan kehidupan dalam zona nyaman.
hmm..bukankah itu membosankan?
Bahkan tidak, Karena untuk menuju zona nyaman, selalu berkutat dengan ketidaknyamanan.
Menghalau yang tak nyaman-nyaman dan kemudian mendekatkan pada yang nyaman--itu merupakan tantangan setiap hari yang harus ditaklukan.
Begitu pula dalam hubungan suami istri.
Naik-turun, tapi tak setajam roller coster. jika sedang masa-masa harmonis sangat---begitu melenakan. Namun jika sampai pada titik turuun--woww setengah mati menjaganya agar bisa naik kembali, dan itu tantangan menuju ke zona nyaman, sungguh berwarna..
Sebagai pendengar dan pemberi solusi curhatan ibu-ibu yang sedang 'bermasalah' dengan pasangannya, sebagian besar dari mereka berpikir tentang "cerai". jika ingin melanjutkan pernikahan yang terbata-bata, mereka (ibu-ibu) itu dengan banyak keluhan dari 'a-aa' kembali.
Seriuskah mereka untuk melanjutkan pernikahan?
adapula yang tiap hari kerjanya memata-matai suami--menuliskan dengan tinta merah setiap kesalahan suami, dan kemudian melaporkan kepada saya.
haduh! ini untuk apa coba!
Seorang sahabat yang kebetulan seorang single parrent bertutur, pada dasarnya wanita dituntut tegas untuk menentukan jalan kehidupan perkawinannya:
jika masih komitmen ingin melanjutkan perkawinan----tak usah kasak-kusuk menggelar aib pasangan, fokus untuk perbaiki keadaan, tak ada gading yang tak retak, dan stop banyak umbar kesedihan sana-sini.
Nah, jika tak kuat dan anggap kehidupan pernikahan menjadi mudharat untuknya---pikirkan menepi dan tidak takut mengambil keputusan penting dan besar, dan segera memulai kehidupan baru.
Butuh keberanian, bukan suka digantung dan menggantung.
Sulit? itu memang salah satu konsekwensi terbesar dari sebuah perkawinan..
melanjutkan, atau mengakhiri pernikahan bukan hal yang main-main..semuanya serius, bagi para istri untuk komitmen dengan pilihannya.
Lha para suami?
saat ini saya baru nyasar pada ibu-ibu yang hobi curhat ke diriku.
Tak ada sesuatu yang tak mungkin jika dengan niat tinggi untuk perbaiki sesuatu. dengan melanjutkan atau mengakhiri pernikahan, semuanya dengan konsekuensi yang sama-sama tak mudah untuk menanggungnya.
Jangan suka menggantung dan digantung dan jangan membongkar aib keluarga di medsos atau orang lain secara berlebihan..
So, jadilah orang yang bisa menjadikan penentu bagi kehidupanmu sendiri..
Guratan Pena Ungu
Senin, 29 Februari 2016
Rabu, 21 Oktober 2015
BENARKAH ADA ONANI YANG DIBOLEHKAH DALAM ISLAM?
Ada salah satu pertanyaan yang
menggelitik dari seorang teman mengenai onani. Walau terkesan sangat privacy,
namun sebenarnya hukum fikih onani itu sudah ketahui oleh banyak sahabat Ummi
belum? Dan apakah benar ada onani yang diperbolehkan dalam Islam?
Memang tak semua yang ada disekitar
kita, yang menjadi ‘milik’ kita adalah bebas digunakan, karena merasa sudah
menjadi haknya. Ternyata tak semuanya demikian. Messki kita punya uang banyak,
tak lantas kita boleh menggunakan uang itu tanpa aturan, misalnya untuk
berzina, menyogok atau bahkan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Islam
memiliki aturan-aturan yang harus dipahami dan ditaati atas beberapa
kepemilikan seseorang atas sesuatu.
Semua hal didunia ini tanpa kecuali
mempunyai pertangungjawaban di akherat
kelak.
Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Kedua kaki seorang
hamba pada hari kiamat tidak akan bergerak, hingga dia ditanya tentang umurnya,
untuk apa dia habiskan. Tentang ilmunya, untuk apa dia amalkan. Tentang
hartanya, dari mana dia peroleh dan kemana dia belanjakan. Dan tentang
badannya, untuk apa dia gunakan. (HR. Turmudzi 2417, ad-Darimi 554, dan
dishahihkan al-Albani).
Dari sini bisa disimpulkan, tak
harta, tak badan, tak ilmu, semuanya dimintai pertanggungjawaban tanpa kecuali.
Seperti hal juga saat kita memiliki anak, suami, atau istri bukan berarti kita
bebas memperlakukan mereka sekehendak hati, begitu pula dalam urusan berjima
atau urusan ranjang. Ada aturan-aturan dalam fikih Islam yang tak begitu saja
boleh dilanggar. Tak sembarang perlakukan, tak sembarang gaya boleh dilakukan.
Jika seorang suami ingin melakukan
onani sendiri atau dengan bantuan oranglain selain istri atau (zaman dahulu
adalah budaknya), maka hal itu tidak diperkenankan, walaupun sang suami sudah
minta izin terlebih dahulu kepada istrinya. Karena hal tersebut karena bukan
istri untuk meluluskan perkara itu, namun sudah ada aturan dalam hal ini dalam
Islam:
Dalil pokok yang melarang onani adalah firman Allah,
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka Sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka
Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Mukminun: 5 – 7).
Islam sudah
mengatur bagaimana seorang lelaki seharusnya menyalurkan syahwatnya. Karena
selain dari itu, berarti termasuk orang-orang yang melampoi batas. Namun ada
beberapa permasalahan yang cukup penting, saat istri haid dan suami ingin
melepaskan syahwatnya bagaimana harus berperilaku?
Ternyata
jawabannya suami boleh melakukan onani yang halal bukan dengan oranglain selain
istrinya atau melakukannya sendiri namun dengan tubuh istrinya selain melalui
dubur dan mulut. Potongan ayat Al
Mukminun diatas yang menjadi dasar hal ini adalah:
”Dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki”
Selain itu saat haid boleh suami
istri berinteraksi dalam bentuk cumbu atau bermesraan selain daerah bawah pusar
sampai lutut. Hal ini ada kesepakatan ulama dengan dalil:
“Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu
denganku”. (HR. Ahmad 25563, Turmudzi 132 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
Imam Ahmad, dan beberapa ulama hanafiyah,
malikiyah dan syafiiyah berpendapat bahwa itu dibolehkan. Dan pendapat inilah
yang dikuatkan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/205).
Lalu, bagaimana jika suami ingin
melakukan onani saat istri haid dengan menggunakan tangan istri? Hal ini bisa
dijawab dengan. Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ketika para sahabat menanyakan tentang istri mereka pada saat haid. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lakukanlah segala
sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah.” (HR. Muslim 302).
Menurut
beberapa ulama, kata ‘nikah’ itu berarti hubungan intim ini dalau Aunul ma’bud,
1/302.
Untuk
itu sahabat Ummi, pengetahuan mengenai onani ini bukan hal sepele bagi yang
belum paham. Pada saat darurat, dimana istri sedang haid, maka mendekati istri
untuk mencumbunya diperbolehkan, bahkan ada ulama yang menafsirkan ‘bisa
menggunakan tangan istri’ untuk membantu mencapai klimaks-nya. Namun jika para
suami berkenan untuk ‘menunda’ keinginannya itu lebih baik. Penafsiran yang
berbeda, tidak perlu ditanggapi dengan gegap gempita. Setiap orang mempunyai
pegangan dengan dalil masing-masing yang shahih, dan mari pergunakan
dalil-dalil dan pendapat para ulama dengan sebijaksananya.
Referensi: berbagai sumber
SEBAIKNYA QURBAN DAHULU ATAU AKIKAH?
Sahabat ummi, beberapa orang mulai
bertanya-tanya jika Idhul Qurban mulai mendekat. Apakah Qurban dulu yang
didahulukan, atau akikah untuk anaknya? Sebenarnya pertanyaan ini juga harus
dipilah-pilah, apakah akikah itu untuk anak yang lahir sebelum Idhul Qurban
datang, atau akikah anak yang sebenarnya usianya sudah bertahun-tahun, atau
bahkan ingin akikah untuk diri sendiri?
Sebenarnya sahabat Ummi, akikah
dengan qurban hukumnya sama-sama kuat, yakni sunnah muakkad (yang sangat
ditekankan), demikian mayoritas ulama berpendapat. Hal ini terdapat dalam
riwayat Muslim dari sahabat Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW bersabda,
“Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian
hendak berkurban maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”
Berdasarkan keterangan hadis diatas,
berarti memang hukum qurban bukanlah wajib, namun sunnah yang sangat ditekankan
bagi yang mampu melaksanakannya. Lalu, apa yang seharusnya didahulukan oleh
seorang muslim, berqurban terlebih dahulu atau akikah? bagaimana jika seseorang
ingin melaksanakan keduanya, yakni akikah dan qurbannya sekaligus? Jika memang
mapu dilaksanakan itu lebih baik.
Semisal anak yang lahir seminggu
sebelum hari raya Qurban itu lelaki, maka akikahnya di sunahkan 2 ekor kambing,
ditambah satu ekor kambing untuk qurban, berarti ada tiga kambing. Akan tetapi
jika tak mampu tiga, hanya bisa dua saja, maka satu untuk qurban dan satunya
lagi untuk akikah, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah untuk putranya. Namun
jika suatu hari nanti ada rezeki lebih maka bisa memotong lagi satu kambing
yang diniatkan untuk akikah.
Ada beberapa orang yang ingin tahu
apakah akikah dan qurban itu sejatinya bisa digabungkan? Ulama berbeda pendapat
mengenai hal ini, ada yang menganggapnya sah, ada pula yang menganggapnya hal
ini tidak bisa digabungkan.
-
Pendapat jika qurban tak bisa digabungkan
dengan akikah adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Imam Ahmad.
Mereka mengatakan jika akikah dan Qurban adalah dua ibadah yang berdiri
sendiri, hingga dalam pelaksanaannya tak bisa digabungkan, sehingga tak bisa
saling menggantikan.
Hal ini seperti pendapat al-Haitami mengatakan, jika
Dzahir pendapat ulama Syafi’iyah apabila seseorang meniatkan satu kambing untuk qurban sekaligus
untuk akikah maka tidak bisa mendapatkan salah satunya. Dan yang inilah
pendapat yang lebih kuat, karena masing-masing merupakan ibadah tersendiri
(Tuhfatul Muhtaj 9/371).
Namun bagaimana jika daging qurban itu untuk hidangan
akikah, sah-kah hukumnya? Al-Hathab mwngatakan, jika Abu Bakr al-Fihri
menyatakan jika niat kurban adan akikah digabung, maka tidak sah, karena tujuan
dari qurban dan akikah adalah sama-sama mengalirkan darah bukan dagingnya,
sementara dua tujuan adalam mengalirkan darah tak bisa diwakilkan dengan satu
binatang. namun jika niat qurban lalu dagingnya untuk
wamilah, hal ini dimungkinkan karena tujuan qurban adalah mengalirkan darah
sedang walimah hanya membutuhkan daging saja, atau makanan. (Mawahibul Jalil,
3/259).
-
Mazhab Maliki membolehkan
menggabungkan antara qurban dengan akikah dan ini merupakan mazhab Hanafi,
salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat beberapa tabi’in seperti Hasan
al-Bashri, Muhammad bin Sirrin dan Qatadah.
Al-Buhuti menyatakan jika akikah adan qurban waktunya bersamaan,
hewannya bisa diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah, berdasarkan
keterangan dari Imam Ahmad (Kasyaful Qana’, 3/30)
Sahabat
Ummi, jika demikian, maka Anda bisa mengambil kesimpulan mana yang diyakini
mempunyai pendapat yang kuat. Jika Anak akan diakikahi sudah besar, semisal
sudah diatas 5 tahun, karena saat sunnah akikah orangtuanya belum mempunyai
dana untuk itu, maka jika ingin akikah waktunya dekat dengan Idhul Qurban,
bagaimana menyikapinya? Lebih afdhol berqurban terlebih dahulu, akikah bisa
dilakukan lain hari saat ada rezeki dari Allah.
Referensi: berbagai sumber.
BOLEHKAH WANITA MENCABUT ATAU MENIPISKAN BULU ALIS MATA UNTUK HIASAN DIHADAPAN SUAMINYA?
Sahabat Ummi, dalam perkara berhias,
semakin hari selalu ada saja yang ingin dipercantik wanita. Mulai dari ujung
rambut sampai ujung kuku. Namun tak semua aktivitas berhias para wanita
diperbolehkan dalam Islam, alias haram. Salah satunya adalah mencabut bulu alis
atau menipiskan bulu alis.
Mengapa para wanita tak pernah puas
dengan pemberian Allah ini? Dengan mencabut atau menipiskan, malah terkadang
menjadi malapetaka sendiri jika wanita mengetahuinya. Selain tidak
diperbolehkan, dalam segi kesehatanpun bisa mengalami masalah.
Lalu sebenarnya apa hukum para
wanita yang mencabut bulu alis dan membuangnya serta merta diganti dengan bulu
alis buatan yang berwarna? Hukumnya adalah haram karena termasuk mengubah
ciptaan Allah.
Khalid al Husain menyebutkan ketidak
bolehan ini termasuk digunting atau dicukur alis mata ini karena termasuk
‘namsh’ (mencabut bulu) yang dilaknat Rasulullah bagi yang melakukannya dan
termasuk perbuatan dosa. Ingat ya sahabat Ummi, hal ini adalah perbuatan yang
terlaknat.
Bagaimana dengan mencabut bulu
tangan, betis atau kumis dan jenggot bagi wanita, karena ada pula sebagian
kecil wanita yang tumbuh bulu di atas bibirnya? Jawabannya adalah boleh.
Salah satu kajian kedokteran
menyebutkan mencabut atau menghilangkan bulu alis dan kemudian menggambarnya
dengan pensil atau make up kulit bisa menimbulkan dampak yang buruk, karena
bahan-bahan itu bisa berbahaya bagi kulit alis.
Lalu, jika hanya mewarnai bulu alis
mata, bagaimana hukumnya? Syaikh Ibnu Jibrin melarangnya, namun Syaikh Ibnu
Mani’ membolehkannya. Apabila wanita hanya ingin merapikannya, dengan memotong
sedikit yang menganggu? Maka jawabannya boleh.
Pertanyaan yang cukup menggelitik
menyebutkan, jika wanita ingin menipiskan bulu alisas karena merasa terlalu
tebal hanya sebagai hiasan untuk suaminya, bukan niatan memamerkan untuk orang
lain apakah hal tersebut diperkenankan? Ternyata jawabannya tidak boleh, karena
hal itu tetap dianggap namsh dan Rasulullah melaknatnya.
Maka berhati-hatinya para wanita
saat ingin memutuskan berhias, walaupun hanya untuk kepentingan suami saja,
fikih wanita memang harus dipahami agar wanita yang ingin cantik malah tersesat
dalam lembah dosa.
Referensi:
-Khalid
al-Husain, Fikih Wanita, Darul Haq, Jakarta, 2011
-Candra
Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghirah, Jakarta, 2013
BOLEHKAH MINTA CERAI SAAT SUAMI TAK MENAFKAHI ISTRI?
Sahabat Ummi,
ada curhatan seorang teman mengenai masalah rumahtangga adiknya yang seolah
diujung tanduk . Sang suami bukan tipikal seorang lelaki yang tahan banting
menghadapi kehidupan terutama untuk kewajibannya memberi nafkah kepada anak
istrinya, padahal hal tersebut merupakan
hal yang paling urgent dalam kehidupan sehari-hari.
Memang seperti
ini menjadi dilema para istri, apalagi dlam pernikahan mereka sudah ada buah
hati dan ini merupakan hal yang terberat untuk memutuskan akan diteruskan tidak
ikatan pernikahan mereka. Dan sedihnya, hal ini bukan hanya kisah tunggal,
maksudnya banyak sami-suami berbuat serupa.
Pertanggungjawaban untuk memberi nafkah yang
selayaknya tak terlalu digubris, para suami yang ‘tak menyenangkan’ ini malah
asyek dengan hobinya yang tak ketahuan juntrungnya, bersikap loyo tak
bersemangat mengejar rezeki Allah yang baik, bahkan lelaki pemalas ini malah
banyak ongkang-ongkang dengan teman-temannya. Hal ini juga diperparah dengan
menggantungkan istri, saat istrinya punya pekerjaan. Dunia yang terbalik.
Selayaknya
rumahtangga dibangun atas dasar pemenuhan hak-hak dan kewajiban suami-istri
agar menjadi rumahtangga yang sakinah mawaddah warohmah dan inilah yang
menjadikan idaman setiap keluarga. Dan ingat memberi nafkah lahir batin itu
bukan hanya sekedarnya tapi sudah menjadi kewajiban suami, sementara istri
punya kewajiban untuk taat kepada suami.
Allah Ta’ala berfirman, “...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS Al Baqarah: 233). Rasulullah saw juga bersabda, “Kewajiban kalian (suami) atas mereka (istri) memberikan makanan dan pakaian dengan baik.”
Nah apabila suami ‘ingkar’ untuk
memberikan kewajibannya dengan baik pada keluarganya, maka apa yang mesti
dilakukan? Bolehkan istri menuntut bercerai pada suaminya kepengadilan Agama. Jawabannya
boleh. Gugatan ke Pengadilan Agama disebut tafriq qadha’i (perceraian
melalui pengadilan agama). Hal ini sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq
yang dibacakan atau diikrarkan oleh suami saat akad nikah berlangsung.
Dalam ucapan ikrar itu terdapat
poin-poin yang harus dipahami oleh suami istri saat menjalani kehidupan
berumahtangga yakni apabila seorang suami:
- Meninggalkan istri selama dua
tahun berturut-turut.
- Atau tidak memberi nafkah wajib
kepadanya selama tiga bulan lamanya.
- Atau menyakiti badan/jasmani
istri.
- Atau membiarkan (tidak
memedulikan) istri selama enam bulan.
Jika
suami melakukan salah satu dari keempat poin tersebut dan istri tidak ridha,
maka istri dapat
mengadukannya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduannya bisa dibenarkan
serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri membayar uang
pengganti atau ‘iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan
dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya. Begitulah bunyi shighat
ta’liq. Dan ini bukan hanya saja tertera di buku nikah, namun bisa menjadi
acuan bagi istri untuk bisa mencari keadilannya jika suami tidak memberikan nafkah yang seharusnya ia
terima selama 3 bulan berturut-turut atau bahkan bertahun-tahun.
Maka untuk para suami,
jangan lalaikan kewajiban pokok untuk menafkahi anak istri dan memberikannya
secara patut, jangan pelit pada mereka jika sebenarnya bisa memberikan uang
lebih dari yang diberi saat keadaan sangat membutuhkan. Kehidupan rumahtangga
yang beragam ini jangan dijadikan duri dalam daging yang membuat istri selalu
tertekan untuk membicarakan atau melakukan suatu upaya hukum ke pengadilan
Agama, saat suami sudah tidak memperdulikan lagi keadaan istri dan keluarga.
Referensi: berbagai sumber
MENGATASI ALZHEIMER DENGAN CARA ISLAM
Sahabat
Ummi, penyakit alzheimer yang biasa disebut orang dengan kepikunan, secara
medis tak bisa disebuhkan, karena meski bukan penyakit menular, penyakit ini
merupakan sejenis sindrom dengan apoptosisi sel-sel otak pada saat hampir
bersamaan, hingga otak tampak tampak mengerut dan mengecil. Syndrom ini
biasanya dialami oleh orang-orang tua, bisa juga dialami usia produktif meski
jumlahnya hanya sedikit. Penyakit ini bisa menyerang biasanya pada usia 65
tahun keatas, meski banyak pula yang menjangkiti diawal usia 50 tahun.
Meski
dianggap gejala alamiah, namun sejatinya manusia dapat memperkecil resiko
penyakit ini memang salah satu usaha untuk memperbaiki diri agar Alzheimer tak
mudah menyerang diusia yang masih produktif. Lalu apa cirri-ciri dari penyakit
ini?
1. Penderita
biasanya mengalami gangguan daya ingat. Seperti lupa akan janji, lupa
menanyakan sesuatu atau menceritakan sesuatu yang berulang kali dan lain
sebagainya.
2. Biasanya
sulit untuk focus. Walaupun pekerjaan sederhana sekalipun, jadi menjadi berat
karena lupa cara mengoperasikannya, melakukannya, lupa bumbu misalnya sedang
masak, tak bisa menghitung walau hitungan sederhana.
3. Sulit
mengerjakan pekerjaan yang sederhana dan familier. Seperti bingung caranya
mengemudi dan kesulitan saat atur keuangan
4. Disorentasi.
Seringkali orang tua lupa jalan untuk kembali kerumah, hingga kerap ‘hilang’.
Bahkan untuk waktu seperti hari, tanggal, jam sering kebingungan.
5. Sulit
memahami visuospasial. Yakni yang berhubungan dengan jarak, membedakan warna, tak
mengenali wajah sendiri dicermin, sampai jika haruas menuang air digelas tak
bisa tepat.
6. Gangguan
berkomunikasi, yakni kesulitan menemukan kata tepat, atau bingung untuk
melanjutkan kata-kata saat bercakap-cakap.
7. Menaruh
barang tidak pada tempatnya. Terkadang saking takut dicuri misalnya jadi lupa
menaruh barang.
8. Salah
membuat keputusan. Misalnya tak bisa memperhitungkan saat bertransaksi, tak
bisa berpakaian dengan seraso dan tidak bisa merawat diri dengan baik.
9. Menarik
diri dari pergaulan. Hal ini karena tak banyak kegiatan yang dilakukan, hingga
tak bersemangat untuk melakukan aktivitas atau hobi dan tidak bersemangat
berkumpul dengan teman-teman atau komunitasnya.
10. Perubahan
terhadap perilaku juga kepribadian. Tak heran jika orang yang mengalami gejala
Alzheimer bisa mempunyai sifat yang mudah marah, padahal dulunya lemah lembut,
mudah curiga, padahal ia oarng yang sangat percaya. Juga merasa depresi
berkepanjangan, kecewa seta mudah putus asa.
Alzheimer
jangan hanya dimaklumi sebagai suatu penyakit pikun yang bisa menderita orang
tua dimana saja berada. Namun beri bantuan, jalan keluar atau solusi agar tidak
menambah tingkat keparahan penyakit ini. Karena biasanya orang yang menderita
gejala ini mudah sekali emosi yang tak terkendali, berperilaku aneh, tidak
seperti dirinya dahulu atau melakukan hal-hal yang menyebalkan dimata
oaring-orang yang didekatnya.
Dalam
Islam, ada beberapa hal yang bisa digunakan sebagai penangkal atau paling tidak
mengurangi percepatan penyakait Alzheimer, atau bahkan InsyaAllah tak pernah
menyerang sampai ajal menjemput. Hal itu bisa dilakukan dengan apa?
1. Banyak
berdzikir, hati akan tenang. Kebanyakan orang-orang yang mengidap Alzheimer
karena awalnya dari stress yang berkepanjangan. Ketakutan atau kekhawatiran
tentang sesuatu, misalnya pensiun,takut ditinggal ananak-anak yang menikah,
atau khawatir tak mendapat kasih sayang cukup dari pasangan. Stress itu akibat
hati tak tenang. Maka Islam mengajar setiap saat, setiap keadaan selalu
sertakan asma Allah dan itu akan membantu terjauh dari kepikunan.
2. Banyak
sedekah. Dengan empati pada fakir miskin, perhatian tak terfokus pada satu
tempat yang menjadikan depresi. Sedekah membantu orang-orang berpikiran jernih,
ikhlas dan merasa bahagia bisa membantu orang. Dengan sedekah akan banyak doa
dari orang yang dibantu, InsyaAllah penyakit ini tak menghampiri.
3. Belajar
untuk ikhlas. Susah memang, tapi jika itu dilakukan sejak lama tak menunggu
tua, akan lebih mudah menjalaninya.
4. Banyak
membaca Al Qur’an. Satu huruf dari ayat-ayatNya adalah obat penyembuh dari
banyak penyakit hati.
5. Senang
untuk mendengarkan atau ikut kajian. Dengan sosialisasi secara positif,
menambah ilmu akan membuat hati menjadi ‘penuh’ dan tidak merasa sendirian.
6. Menambah
ilmu dengan senang membaca, atau mencari ilmu di internet, toko buku atau
perpustakaan. Orang yang senang membaca akan terus menerus menggerakan otak
berpikir.
7. Banyak
melakukan ibadah dalam berbagai kondisi. Seperti shalat lima waktu, shalat
sunnah, puasa sunah dan banyak lainnya.
Alzheimer
bukan harga mati untuk orang-orang yang beranjak tua. Jika mungkin dihindari
atau diperkecil tingkat keparahannya mengapa tidak. Dengan mendekatkan diri
banyak kepada Islam, insyaAllah kehidupan ini akan jauh lebih baik.
BENARKAH SHOHIBUL QURBAN MENDAPAT BAGIAN SEPERTIGA?
Sahabat Ummi, berapa orang masih bertanya-tanya mengenai
seberapa besar bagian shohibul Qurban, atau orang yang menyerahkan hewan
qurbannya? Ada beberapa shohibul qurban bercerita pada suatu daerah atau
tempat, mereka diberi bagian sama dengan masyarakat lain, semisal dalam suatu
tempat, para shohibul qurban diberi satu kilo gram daging qurban, maka mereka
pun dapat bagian yang sama. Dikarenakan hal ini merrupakan kesepakatan mereka
bersama atau keputusan panitia qurban. Apakah benar demikian?
Syaikh Abu Malik dalam Sahih Fiqh Sunnah memberikan
keterangan, jika sebagia ulama menyatakan jika shohibul qurban disunnahkan
bersedekah dengan sepertiga hewan qurbannya, memberi makan dengan sepertiganya,
dan sepertiganya lagi dimakan oleh keluarganya. Namun apakah ada riwayat yang
kuat yang menyebutkan demikian? Ternyata beberapa ulama menyebutkan jika
riwayat ini adalah sebenarnya riwayat lemah. Lalu, seharaus bagaimana shihibul
qurban bersikap?
Ada beberapa ulama menegaskan jika mengenai hal ini
sebaiknya keputusan dikembalikan lagi pada orang yang berqurban apakah akan
mengambil bagian sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, atau akan
menyedekahkan semuanya, atau hanya mengambil sedikit. Akan tetapi untuk panitia
qurban, janganlah menggunakan pemikiran sendiri untuk membagi sama rata antara shohibul
qurban dan penerima qurban, hal ini didasarkan dari fatwa Al Lajnah Ad Da-imah
(Komisi Fatwa di Saudi Arabia) yang mengatakan jika, “Hasil sembelihan qurban dianjurkan
dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin
untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada
kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada
tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara
muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”
Bagaimana cara pembagiannya, sepertiga atau
kurang dari itu? Lebih lanjut Al Lajnah Ad Da-imah ini ini mengatakan jika
hasil sembelihan itu boleh pembagiaannya itu lebih atau kurang adari sepertiga.
Dan hasil sembelihan qurban itu lebih utama sepertiganya dimakan aoleh shohibul
qurbanm sepertiganya dihadiahkan pada kerabat dan tetangga dan sepertiganya
untuk fakir miskin. Namun jika lebih atau kurang dari sepertiga atau diserahkan
pada sebagian orang lainnya misalnya untuk fakir miskin semuanya, maka hal
tetap diperbolehkan, dan dalam masalah ini ada kelonggaran.
Jika ingin menyedekahkan semuanya, bagi shohibul qurban
tentu tak mengapa, dan tentu pahalanya melimpah
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan
dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua
daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta
untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak
diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal
(sebagai upah). (HR> Bukhari dan Muslim)
Dari sini bisa diambil kesimpulan, memang jika ingin
menyedekahkan seluruh hasil qurban
kepada fakir miskin, tak mengapa itu juga baik adan dicatat sebagai amal
perbuatan baik, namun jika dibagi sepertiga bagian untuk fakir miskin,
sepertiga bagian untuk tetangga dan kerabat dan sepertiganya lagi memang bagian
untuk shohibul qurban. Semuanya untuk ukuwah, meningkatkan keimanan dan tali
persaudaraan, dan belajar berqurban untuk kepentingan agama.
Referensi : berbagai
sumber
Langganan:
Postingan (Atom)